Sabtu, 09 Agustus 2008

Menjawab Syubhat

MENJAWAB SYUBHAT
(Sebuah Jawaban Untuk Orang-Orang Yang Mengaku Pengikut Salafiy)

Salah satu sifat yang dikhawatirkan oleh Nabi Muhammad SAW terjadi pada ummatnya adalah sifat ghuluw (ekstrem) dan tatharruf (menjauh dari kebenaran), yang merupakan sifat yang sangat dilarang oleh syari’ah, sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad SAW berikut ini: “Takutlah kalian terhadap sikap ekstrem dalam beragama, karena sesungguhnya yang telah mencelakakan ummat sebelum kalian adalah sikap ekstrem dalam beragama. ” HR An-Nasa’i, X/83; Ibnu Majah, IX/134; Al-Baihaqi, V/127; Al-Hakim, IV/256; At-Thabrani, X/301; Ibnu Habban, XVI/243.
Bentuk dari sikap ghuluw tersebut adalah vonis baru "bid’ah" yang tidak dikenal dalam referensi utama kaum muslimin, yaitu vonis hizbiyyah atau lebih ekstrim lagi adalah tuduhan sebagai "khawarij". Herannya lagi, bahwa vonis ini dilontarkan oleh sebagian orang yang "mengaku " sebagai pemegang panji-panji Ahlus Sunnah dan pengikut Salafus Shalih, inna liLLAHi wa inna ilayhi raji’un..
Di berbagai forum dan tulisan - sebagian mereka ( sebagian orang yang mengklaim pengikut salafy ) — dengan getolnya melemparkan vonis tersebut kepada sesama saudara mereka muslim, para pejuang Syari'at dan As-Sunnah dan penegak kalimat Tauhid, hanya karena mereka yang disebut terakhir ini ingin mengembalikan sejarah masa lalu yang telah dimanipulasi rezim penguasa setempat, yaitu menegakkan ad-Daulah al-Islamiyah. Kemudian mereka sematkanlah berbagai label seperti hizbiyyun, ahlul-hawa’ (para pengikut hawa nafsu), ahlul bid’ah, khawarij. Mereka kemudian mencari-mencari dalil untuk membenarkan klaim mereka tersebut, dan memvonis berbagai kelompok kaum muslimin sesama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, lalu mereka menemukan ayat yang “kelihatannya” bisa dipakai untuk mendukung klaim mereka itu dan dengan itu mereka berusaha membodohi orang-orang yang bodoh, membingungkan orang yang bingung dan menakut-nakuti orang yang penakut.
Ada beberapa masalah yang menjadi topik pembahasan yang sering dilontarkan "mereka" yang mengklaim pengikut sunnah (salafy) untuk memojokkan umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Yaitu ;

TUDUHAN "HIZBIYAH" KEPADA MUSLIMIN YANG BERJUANG UNTUK MENEGAKKAN SYARI'AT ALLAH DALAM SEBUAH WADAH YANG BENAR.

Ayat yang mereka dengung-dengungkan dan mereka anggap melarang membuat kelompok, jama’ah itu menurut mereka yaitu ayat: Kullu hizbin bima ladayhim farihun.. (Setiap kelompok/jama’ah merasa bangga/bergembira dengan apa yang ada pada kelompok masing-masing). Kemudian ayat: Innalladzina farraqu dinahum wa kanu syiya’an lasta minhum fi syai’in.. (Sesungguhnya orang yang memecah-belah agama mereka sehingga mereka menjadi berkelompok-kelompok lepas tanggung jawabmu atas mereka wahai Muhammad..). Yang menjadi pertanyaan adalah BAGAIMANA MAKNA HIZBIYYAH YANG DILARANG OLEH SYARIAT, DAN APAKAH ORANG YANG AKAN MENEGAKKAN PEMERINTAHAN ISLAM DI SEBUAH WILAYAH DAPAT DI SEBUT HIZBIYAH ?

Marilah membuka berbagai rujukan kitab-kitab tafsir karangan Imam Salafus Shalih secara inshaf (obyektif) dan wasith (adil), jauh dari sifat ghuluw wa tatharruf dan jauh dari kepentingan apapun, kecuali ikhlas mencari keridhaan ALLAH SWT semata. Potongan ayat tersebut terdapat di 3 tempat, potongan yang pertama yaitu di QS Al-Mu’minun, 23/53 dan di QS Ar-Rum, 30/32; lengkapnya adalah sbb: “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. 23/53). “Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (30/32). Sementara potongan yang kedua pada QS Al-An’am, 6/159. Lengkapnya adalah sebagai berikut : “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat.” (QS. 6/159).

Makna ayat dalam QS Al-Mu’minun, 23/53 menurut kitab-kitab tafsir adalah sbb: Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya [Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an, XIX/41}, bahwa maknanya: “Maka berpecah-belahlah kaum yang diperintahkan oleh ALLAH SWT dari ummat Nabi Isa ‘alayhis salam untuk bersatu atas agama yang satu… Dan setiap firqah tersebut beragama dengan kitab yang berbeda satu dengan yang lain, sebagaimana orang Yahudi memegang kitab Taurat dan mendustakan hukum-hukum dalam kitab Injil dan Al-Qur’an, demikian pula orang-orang Nasrani yang berpegang menurut sangkaan mereka pada kitab Injil dan mendustakan kitab Al-Qur’an.” Dan ini diperkuat oleh makna “ummatan-wahidah” pada ayat sebelumnya, yaitu maknanya menurut Imam At-Thabari: “Innal ummah alladzi fi hadzal maudhu’: Ad-Din wal Millah” (makna ummat dalam konteks ayat ini adalah ummat dalam masalah agama) [Ibid. Imam Thabari menyandarkan tafsirnya ini dari atsar yang shahih sbb : “Telah menceritakan pada kami Al-Qasim, telah menceritakan pada kami Al-Husain, telah menceritakan pada saya Hajjaj dari Ibnu Juraij makna ayat tersebut seperti di atas.” ]. Jelas bahwa makna “HIZB” dalam ayat tersebut menurut Imam At-Thabari adalah HIZB dalam Ad-Din wal Millah (perbedaan & kelompok-kelompok yang berbeda dalam aqidah), lalu dimanakah letak larangannya jika HIZB tersebut tidak berbeda dalam Ad-Din wal Millah?

Imam Ibnul Jauzy dalam tafsirnya [[Zadul Masir, IV/415 ] menyatakan bahwa ada 2 pendapat tentang tafsir ayat ini, yaitu pendapat pertama: Mereka adalah Ahli Kitab (Yahudi & Nasrani) dari Mujahid; dan pendapat kedua: Mereka adalah Ahli Kitab & kaum Musyrikin Arab dari Ibnu Sa’ib. Demikian pula pendapat Imam Al-Mawardi dalam tafsirnya [An-Naktu wal ‘Uyun, III/141 ], nampak bagi kita semua bahwa larangan tersebut amat jelas yaitu larangan berbeda-berbeda dalam aqidah, atau berbeda dalam kitab suci persis sebagaimana perbedaan Yahudi dan Nasrani atau musyrikin, sama sekali tidak ada larangan yang berkaitan dengan larangan membentuk organisasi, atau jama’ah atau pemerintahan dalam suatu wilayah tertentu.

Berkata Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya [ [Ma’alimut Tanzil, V/420 ], bahwa makna “kullu hizbin bima ladayhim farihun = bima ‘indahum minad din” (dari apa-apa yang ada disisi mereka dari agama), dalam hal ini beliau mengkaitkan dengan tafsir ayat sebelumnya bahwa makna “fataqaththa’u amrahum = dinahum”, lalu makna “baynahum = berpecah-belah, maka mereka berpecah-belah menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Demikianlah pendapat para Imam Salafus Shalih mengenai masalah ini, yaitu bahwa HIZB yang dilarang adalah HIZB yang berbeda dalam aqidah dan agama (Ad-Din wal Millah) dan SAMA
SEKALI BUKAN HIZB DALAM DAKWAH DAN PERJUANGAN.

HUJJAH KEDUA

Kita telah mengetahui tafsir yang dikemukakan oleh para Imam Salafus Shalih atas QS Al-Mu’minun, 23/53 (yang juga sama dengan Ar-Rum, 30/32) tersebut pada kajian yang lalu, maka demikianlah pula tafsir atas QS Al-An’am, 6/159. Lengkapnya ayatnya adalah sebagai berikut : “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat.” (QS. 6/159)
Makna ayat dalam QS Al-An’am, 6/159 menurut kitab-kitab tafsir adalah sebagai berikut : Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya [ Jami’ul Bayan, XX/100 ] bahwa makna ‘farraqu-dinahum’ dalam ayat tersebut adalah bahwa agama ALLAH SWT ini adalah satu yaitu agama Ibrahim –semoga salam ALLAH baginya-, lalu berpecah-belahlah Yahudi & Nasrani sehingga mereka menjadi agama yang berbeda-berbeda, adapula yang menjadi Majusi sehingga mereka menjauh dari agama yang haq [ Ibid, XII/268 ]. Demikianlah tafsir yang benar mengenai masalah ini.

HUJJAH KETIGA

Oleh sebab itu maka hendaklah berhati-hati dalam berucap dan berfatwa, karena tidak semua orang bisa dibodohi oleh berbagai fatwa yang kelihatan seolah-olah benar dan memvonis tetapi sesungguhnya rapuh dan sangat menyesatkan. Memperjuangkan addaulah al-Islamiyah di suatu wilayah, hal tersebut sama sekali tidak ada larangannya apalagi hal tersebut telah ada sebelumnya tetapi dikarenakan pengkhianatan maka terjadi kekalahan (belum bisa melaksanakan secara utuh) namun bukan berarti tidak ada, bahkan keberadaan addaulah al-islamiyah sebagai wadah berlakunya syari'at Islam adalah berkedudukan wajib berdasarkan kaidah ushul: " Maa laa yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib ". Oleh karena itu, kami berkeyakinan bahwa tidak mungkin bisa mengikuti jejak salaf yang sebenarnya apabila diri dan raga kita masih terkungkung dan rela diatur oleh daulah (Negara ) yang tidak berlandasan Syari'at Allah. Kalau anda mau jujur dan mau melihat sejarah dengan seksama, bahwa para ulama salaf ash-Sholeh yang hidup di tiga qurun terbaik (Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'ut-Tabi'in) semuanya hidup dan berada di wilayah Daulah Islam walau ada di antar khalifah / penguasa tersebut berlaku zholim. Sangat ironis sekali mengaku beriman dan mengikuti manhaj salaf ash-Sholeh hanya membatasi diri pada pengkajian kitab-kitab salaf sementara membiarkan dirinya hidup di bawah kekuasaan hukum jahiliyah, dan menjadi kaki tangan Negara Kafir Amerika untuk menghalangi dan menebarkan tuduhan yang tidak beralasan kepada Mujahidin yang hari ini ikhlas untuk memperjuangkan tegaknya syari'at Allah.

Maka mencap orang yang akan menegakkan daulah (negara) Islam dalam suatu wilayah sebagai hizbiyyun berdasarkan paparan di atas oleh karenanya adalah sesat & menyesatkan, dan perbuatan ini dalam istilah para Ahli Ilmu dinamakan sebagai tingkat kejahilan ketiga yaitu Al-Jahlu Al-Murakkab (diantara 6 tingkat kejahilan seseorang Tholabul ‘Ilmi). Dan orang-orang seperti ini perlu membaca & mempelajari secara mendalam tentang siyasatus-syar’iyyah dan sirah nabawiyah, karena serampangan memfatwakan masalah ini akan sangat berbahaya bagi umat, karena semua hal yang berkaitan dengan realitas di masa sekarang akan menjadi bid’ah semua. Dan jika mereka konsisten, maka kedudukan Raja secara turun-temurun juga adalah bid’ah apalagi didapatkannya lewat kudeta dan lainnya, karena tidak ditemukan dalam khairal qurun, diamnya sebagian shahabat tidak bisa dijadikan hujah untuk masalah ini, karena mereka diam bukan berarti ridha tetapi berdasarkan fiqh muwazanah pada saat itu. Maka sebagian mereka yang membrontak dan membuat tanzhim pun tidak dihukumi ahli bid’ah, maka siapakah yang berani menyatakan para sahabat sekualitas Al-Husein bin Ali, Muawiyah bin Abi Sufyan, AbduLLAH Ibnu Zubair, dll sebagai ahli bid’ah karena mereka membuat tanzhim, membuat pasukan perang & kemudian memberontak? Qul haatuu burhaanakum in kuntum shaadiqiin!

Bagaimana Status Pemerintahan yang tidak berhukum dengan hukum Allah, apakah bisa dikatagorikan kafir, walau penguasa(pemimpin) tersebut masih sholat, zakat, haji, shaum Ramadhan dan melaksanakan syariah Islam lainnya,?

Perlu diingat bahwa seluruh para rosul itu inti ajarannya adalah tauhid. Tauhid itu adalah syarat pokok diterimanya semua amalan dan ibadah. Semua amalan dan ibadah akan menjadi sah dan diterima Allah Ta’ala kalau memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam. Adapun diantara dalil untuk syarat yang pertama adalah: Allah berfirman: “Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan cukup dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nur: 39)

Demikian pula halnya para penguasa yang telah kufur kepada Alloh (dengan sadar menolak melaksanakan syari'at Allah) yang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin saat ini. Semua amalannya tidak akan diterima di sisi Allah sampai mereka bertaubat (melaksanakan syari'at Allah). Karena mereka telah murtad dari Islam maka seluruh amalan dan ibadahnya tidak sah. Ibnu Qudamah berkata: ”Sesungguhnya kemurtadan itu membatalkan wudlu dan tayammum, dan ini adalah pendapat Al-Auza’I dan Abu Tsaur. Sedangkan yang dimaksudkan dengan kemurtadan itu adalah melakukan amalan yang mengeluarkan dari Islam, baik itu berupa perkataan, keyakinan maupun keragu-raguan yang dapat mengeluarkannya dari Islam. Oleh karena itu jika ia kembali kepada agama yang benar, maka ia tidak syah sholatnya hingga ia berwudlu jika sebelum murtad ia telah berwudlu.” Al-Mughni ma’asy Syarhil Kabir I/168. Beliau juga berkata: “Dan kemurtadan itu membatalkan adzan jika terjadi ketika ia adzan.” Al-Mughni ma’asy Syarhil Kabir I/438. Beliau juga berkata: Kami tidak melihat ada perselisihan dikalangan ulama’ pada masalah orang yang murtad ketika berpuasa itu maka puasanya batal dan ia harus mengqodlo’nya jika ia kembali kepada Islam, sama saja apakah ia kembali kepada Islam pada hari itu juga atau setelah berlalu.” Al-Mughni ma’asy Syarhil Kabir III/52

Maka jelaslah bahwasanya orang yang tidak boleh dibunuh ataupun diperangi itu adalah orang yang masih sholat sedangkan tauhidnya benar dan ia tidak melakukan perbuatan kekufuran yang mengeluarkan ia dari Islam. Karena kalau ia telah murtad maka semua amalan dan ibadahnya itu tidak syah dan tidak ada manfaatnya.”

Para ulama’ telah berijma’ atas wajibnya memerangi kelompok manapun yang mempunyai kekuatan dan tidak mau melaksanakan suatu bagian dari syari’at Islam yang sudah jelas dan mutawatir. Baik yang tidak dilaksanakan itu sedikit maupun banyak. Jika mereka masih mengakui atas wajibnya syari’at tersebut maka mereka wajib diperangi sampai mereka melaksanakan apa yang mereka tinggalkan.

Adapun jika mereka itu tidak mau melaksanakan karena menentang, maka dengan demikian mereka jelas-jelas telah menolak sehingga mereka menjadi murtad. Dan mereka diperangi sampai mereka kembali kepada Islam. Dan memerangi dua kelompok tersebut adalah wajib hukumnya secara ijma’.

Rosululloh bersabda: “ Saya diperintahkan untuk mememrangi manusia sampai mengucapkan Lailaha Illallah, maka barang siapa yang mengucapkannya harat dan jiwanya terjaga dariku kecuali memang karena haknya dan hisabnya terserah kepada Allah.” (Shohihul Bukhori, Kitabuz zakah, bab I, no.1399, II/110 dan Shohih Muslim, Kitabul Iman, no.33, hal.52).
Orang-orang kafir yang masuk Islam jika mereka tidak melaksanakan syari’at Islam mereka diperangi. Oleh karena itu kelompok manapun yang mengaku Islam dan mengucapkan syahadatain namun tidak melaksanakan sebagian dari syari’at yang sudah jelas dan mutawatir, mereka wajib diperangi sebagaimana kesepakatan kaum muslimin sampai agama itu seluruhnya milik Alloh.

Ibnu Rojab Al-Hambali ketika menjelaskan hadits diatas mengatakan:”Dan suatu yang sudah maklum secara jelas bahwasanya Nabi saw., menerima siapa saja yang datang ingin masuk Islam hanya dengan syahadatain, dan dengan demikian darahnya menjadi terjaga dan ia menjadi orang Islam. Rosululloh telah mengingkari Usamah bin Zaid karena ia membunuh orang yang telah mengucapkan laa ilaaha illalloh sedangkan pedang telah diangkat, maka rosululloh sangat mengingkari perbuatannya itu.

Maka sesungguhnya hanya dengan dua kalimat syahadat itu darah menjadi terjaga dan menjadi Islam. Apabila seseorang masuk Islam jika ia melaksanakan sholat dan menunaikan zakat dan melaksanakan syari’at-syari’at Islam, maka ia mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana kaum muslimin yang lain. Namun jika ia tidak melaksanakan bagian dari rukun-rukun ini jika mereka suatu jamaah yang mempunyai kekuatan, mereka diperangi.
Dalam shihih Muslim disebutkan dari Abu Huroiroh ra. Bahwasanya Nabi saw. Pada saat perang badar memanggil Ali dan menyerahkan bendera kepadanya.lalu beliau bersabda:”Berjalanlah dan janganlah menoleh sampai Alloh memberikan kemenangan kepadamu, maka Ali berjalan sedikit lalu berhenti dan berkata:”Wahai Rosululloh, untuk apa kuperangi orang-orang itu?” Beliau menjawab:”Perangilah mereka sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada ilah kecuali Alloh dan bahwasanya Muhammad itu utusan Alloh. Jika mereka melakukan hal tersebut maka darah dan harta mereka telah terjaga darimu kecuali yang menjadi haknya dan hisab mereka terserah kepada Alloh.”(Muslim, Fadlo’ilush Shohabah 34, Musnad Imam Ahmad IV/439)

Maka hanya dengan menerima syahadatain harta dan nyawa itu menjadi terjaga, kecuali memang yang sudah menjadi haknya. Dan diantara haknya adalah tidak melaksanakan sholat dan zakat setelah masuk Islam sebagaiman yang difahami oleh para sahabat ra. Dan diantara dalil yang menunjukkan atas wajibnya memerangi kelompok yang tidak mau melaksanakan sholat dan zakat adalah firman Alloh: “Jika mereka bertaubat, melaksanakan sholat dan menunaikan zakat, maka biarkanlah mereka.” (At-Taubah:5). “Jika mereka bertaubat, melaksanakan sholay dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara kalian dalam agama.” (At-Taubah:11). “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu seluruhnya hanyalah untuk Alloh.” (Al-Antal:39). “Dan mereka tidaklah diperintahkan kecuali hanya untuk beribadah kepada Alloh dengan memurnikan agama hanya untuk-Nyadengan lurus, melaksanakan sholat dan menunaikan zakat dan itula agama yang lurus.”(Al-Bayyinah:5)
Disebutkan dalam hadits bahwasanya Nabi saw. jika mau menyerang sebuah kaum, beliau tidak menyerangnya kecuali setelah datang waktu subuh, jika beliau mendengar adzan beliau urungkan dan jika tidak beliau menyergap mereka. Padahal masih mengandung kemungkinan mereka itu orang Islam. Dan beliau memberi wasiyat kepada pasukan-pasukan yang hendak diberangkatkan:”Jika kalian mendengar adzan atau melihat masjid maka janganlah kalian membunuh seorangpun. Dan beliau pernah mengutus ‘Uyaynah bin Hisn kepada sebuah kaum dari Banil Ambar lalu beliau menyergap mereka karena beliau tidak mendengar adzan, kemudian mereka mengaku telah masuk Islam sebelum itu. Dan Rosululloh pernah mengirim surat kepada penduduk ‘Ammaan yang berbunyi; ”Dari Muhammad kepada penduduk ‘Amman. Salam sejahtera kepada kalian, amma ba’du. Bersaksilah kalian bahwasanya tidak ada ilah kecuali Alloh dan aku adalah utusan Alloh, tunaikanlah zakat dan dirikanlah masjid, kalau tidak, aku akan menyerang kalian.” Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar, Ath-Thobroni dan yang lain.

Ini semuanya menunjukkan bahwasanya orang-orang yang masuk Islam itu diuji atas keislamannya, apakah mereka mau menegakkan sholat dan menunaikan zakat, kalau tidak maka tidak ada halangan untuk memerangi mereka. Dan dalam masalah ini telah terjadi diskusi antara Abu Bakar dan Umar ra.sebagaimana yang tersebut dalam kitab Shohihain dari Abu Huroiroh ra. beliau berkata:” Ketika Rosululloh saw. telah wafat, Abu Bakar menjadi kholifah dan orang-orang Arab kembali kafir, Umar berkata kepada Abu Bakar:”Bagaimana kau bisa perangi mereka padahal Rosululloh pernah bersabda:” “ Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mengucapkan Lailaha Illallah, maka barang siapa yang mengucapkannya harta dan jiwanya terjaga dariku kecuali memang karena haknya dan hisabnya terserah kepada Allah.” Maka Abu Bakar mengatakan;”Demi Alloh aku akan memerangi orang-orang yang memisahkan antar sholat dan zakat. Sesungguhnya zakat itu adalah hak harta, demi Alloh jika mereka tidak mau membayar zakat unta atau kambing yang pernah mereka bayarkan kepada Rosululloh, aku pasti akan perangi mereka.” Lalu Umar berkata:”Demi Alloh, aku melihat bahwasanya Alloh telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi mereka, maka aku tahu bahwasanya hal itu adalah benar.” Abu Bakar memerangi mereka dengan berdasarkan sabda Rosul: ”kecuali haknya.” Hal ini menunjukkan bahwasanya memerangi orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat adalah boleh. Dan diantara haknya adalah menunaikan hak kewajiban harta.

Dan Umar ra. Menyangka bahwasanya hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja bisa mencegah seseorang untuk masuk neraka di akherat kelak karena berpegang dengan keumuman lafadz yang tersebut dalam hadits, padahal tidak demikian. Lalu Umar sepakat dengan pendapat Abu Bakar ra. (Jami’ul ‘Ulum, hal. 80-81)
Dan hukum orang yang meninggalkan seluruh hukum Islam adalah diperangi sebagaimana mereka juga diperangi jika mereka meninggalkan sholat dan zakat. Ibnu Syihab meriwayatkan dari Handzolah bin Ali bin Al-Asqo’, bahwasanya Abu Bakar ra. Mengutus Kholid ibnul Walid ra. Dan memerintahkannya untuk memerangi manusia jika mereka meninggalkan lima perkara. Maka barangsiapa meninggalkan salah satu dari lima perkara tersebut perangilah mereka sebagaimana halnya jika mereka meninggalkan lima perkara semuanya. Yaitu; dua kalimat syahadat, sholat, Zakat dan Shoum romadlon.

Dan Sa’id bin Jubar berkata bahwasanya Umar ibnul Khothob mengatakan: ”Seandainya orang-orang itu tidak melaksanakan haji, pasti akan kuperangi sebagaimana mereka juga akan aku perangi jika mereka tidak melaksanakan sholat dan zakat.” Inilah pembahasan tentang memerangi kelompok yang tidak mau melaksanakan bagian dari kewajiban-kewajiban tersebut.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 82)

An-Nawawi berkata:”Dalam hadits tersebut menunjukkan atas wajibnya memerangi orang-orang yang tidak mau melaksanakan zakat atau sholat atau kewajiban Islam yang lain, baik banyak maupun sedikit, dasarnya adalah perkataan beliau (Abu Bakar) :”Jika mereka tidak mau membayarkan zakat unta atau kambing.”

Imam Malik berkata:”Menurut kami, setiap orang yang tidak mau melaksanakan suatu kewajiban dari kewajiban Alloh, dan kaum muslimin tidak bisa memaksanya, maka kaum muslimin wajib memeranginya sampai bisa memaksanya untuk melaksanakannya.” (Muslim bisyarhin Nawawi I/212)

Asy-Syaukani berkata:”Dan orang yang meninggalkan rukun-rukun Islam atau sebagiannya, apabila ia terus dalam keadaan demikian, maka hukumnya wajib memeranginya sesuai dengan kemampuan. Dan begitu pulalah seharusnya hukumnya menurut syari’ah bagi setiap orang yang melakukan sesuatu yang diharamkan atau meninggalkan kewajiban.” (Ar-Roudlotun Niddiyah I/184, cet. Darut Turots)

Ibnu Taimiyah berkata:”Dan kelompok manapun yang mengaku Islam dan tidak mau melaksanakan bagian dari syari’at yang telah jelas dan mutawatir, maka hukumnya wajib untuk memerangi mereka sebagaimana kesepakatan kaum muslimin, sehingga agama itu selurunya hanya milik Alloh. Sebagimana Abu Bakar dan seluruh sahabat ra. memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Dan telah disebutkan dalam hadits dari Rosululloh saw. dari banyak jalan bahwasanya beliau memerintahkan untuk memerangi khowarij (kelompok yang memerangi pemerintahan Islam yang sah). Dalam kitab Shohihain disebutkan sebuah riwayat dari Ali bin Abi Tholib ra. Beliau berkata bahwasanya Rosululloh saw. Bersabda: “Akan keluar pada masa akhir zaman orang-orang yang masih muda umurnya, bodoh pemikirannya. Mereka berkata dengan sebaik-baik perkataan manusia. Iman mereka tidak melebihi kerongkongan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari busurnya. Maka bunuhlah mereka dimana saja kalian menjumpai mereka karena orang yang membunuh mereka akan mendapat pahala pada hari qiyamat.”

Dan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ul Ummah, bahwasanya orang yang keluar dari syari’at Islam itu diperangi meskipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan para ulama’ berselisih pendapat tentang kelompok yang meninggalkan sunnah yang rutin, seperti dua roka’at sholat fajar, apakah mereka boleh diperangi?, menjadi dua pendapat (antara boleh dan tidak). Adapun tentang kelompok yang meninggalkan kewajiban dan hal-hal yang haram yang sudah jelas dan terkenal, maka mereka diperangi dengan tidak ada perselisihan sampai mereka mau menjalankannya kembali, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, shoum romadlon dan naik haji serta meninggalkan hal-hal yang haram seperti menikahi saudara perempuan, makan makanan yang menjijikkan dan mendlolimi harta dan nyawa kaum muslimin. Dan memerangi mereka ini hukumnya wajib untuk memulainya setelah sampai dakwah Nabi saw. tentang apa-apa yang menjadi penyebab mereka diperangi. Dan jika mereka menyerang lebih dulu maka kewajiban lebih ditekankan lagi sebagaimana yang telah kami bahas pada masalah para mumtani’in seperti penyerang dan begal. Dan kewajiban jihad terhadap orang kafir dan orang-orang yang tidak mau melaksanakan sebagian dari syari’at Islam, sebagaimana orang-orang yang tidak mau membayar zakat, khowarij dan orang-orang semacam mereka baik secara offensiv maupun defensiv. Jika ofensiv maka hukumnya adalah fardlu kifayah, jika sebagian telah melaksanakannya maka yang lain tidak terkena kewajiban lagi, dan mereka yang melaksanakan mendapatkan keutamaan sebagaimana firman Alloh : Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai 'uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, ( Qs. An-Nisa :95 )

Namun jika musuh mau menyerang kaum muslimin, maka jihad hukumnya wajib bagi mereka yang menjadi sasaran dan yang tidak menjadi sasaran untuk membantu mereka, sebagaimana firman Alloh: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. ( Qs. Al-Anfal :72)

Dan sebagaiman Rosululloh juga memerintahkan untuk menolong orang muslim baik ia seorang yang digaji pemerintah (daulah Islam) untuk berperang maupun bukan. Ini adalah wajib sesuai dengan kemungkinan bagi setiap orang dengan hartanya, nyawanya, banyak, sedikit, berjalan maupun berkendaraan ………..(As-Siyasah As-Sar’iyah 125-129)
Kewajiban pemerintah Islam adalah memerintahkan untuk melaksanakan sholat wajib bagi semua orang yang mampu dan menghukum orang yang meninggalkannya sebagaimana ijma’ umat islam atas hal itu.

Dan jika yang tidak mau melaksanakan itu sebuah kelompok, mereka diperangi karena meninggalkan sholat. Begitu pula jika meninggalkan zakat, shoum dan yang lainnya serta menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan secara jelas dan ijma’. Maka setiap kelompok yang tidak mau melaksanakan suatu syari’at dari syari’at Islam yang sudah jelas dan mutawatir harus diperangi sehingga agama itu seluruhnya hanya milik Alloh, hal ini adalah merupaka kesepakatan seluruh ulama’.” (As-Siyasah Asy-Syar’iyah). Para ulama’ berselisih pendapat tentang kelompok yang tidak melaksanakan sunnah yang rutin, namun jika tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang sudah jelas dan terkenal maka mereka diperangi sebagaimana kesepakatan kaum muslimin.

Asy-Syairozi mengatakan ketika membahas tentang adzan dan iqomat: Bab Adzan; “Adzan dan iqomat disyari’atkan untuk sholat lima waktu. Dan keduanya adalah sunah meskipun sebagian dari sahabat kita ada yang mengatakan fardlu kifayah. Dan jika penduduk sebuah kampung itu sepakat untuk meninggalkannya, maka mereka diperangi karena ia adalah bagian dari syi’ar Islam yang tidak boleh ditinggalkan”.

An-Nawawi ketika menjelaskan perkataan Asy-Syairozi diatas mengatakan:”Sahabat-sahabat kita mengatakan, jika hukumnya adalah fardlu kifayah, dan penduduk sebuah kampung itu meninggalkannya dan mereka telah diminta untuk melaksanakan namun tidak mau melaksanakan maka wajib hukumnya pemerintah Islam memerangi mereka sebagaimana wajibnya memerangi mereka jika mereka meninggalkan fardlu kifayah yang lain. Dan jika kita katakan hukumnya adalah sunnah maka apakah mereka diperangi jika mereka meninggalkannya. Dalam hal ini ada dua pendapat yang masyhur dalam kitab-kitab ‘Iroqiyyin dan sedikit dari khurosaniyyin yang membahasnya, yaitu; mereka tidak diperangi sebagaimana orang yang meninggalkan sholat sunah dluhur, shubuh dan yang lain.Pendapat kedua mereka diperangi karena adzan adalah syi’ar yang nyata sedangkan sholat sunah dluhur tidak. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab III/74)

Abu Bakar ibnul ‘Arobi mengatakan:” Alloh berfirman: “Dan jika kalian tidak mau meninggalkan riba maka ijinkanlah peperangan dari Alloh dan Rosul-Nya.”(Al-Baqoroh;279)

Kalau ada yang mengatakan bahwasanya peperangan tersebut adalah bagi orang yang menghalalkan riba, maka kami katakan:’Ya benar dan juga bagi orang yang melaksanakannya.’ Sesungguhnya umat Islam telah sepakat untuk memerangi orang yang melakukan maksiyat sebagaimana jika penduduk sebuah kampung bersepakat untuk melakukan riba dan juga apabila mereka sepakat untuk meninggalkan sholat jum’at dan sholat jama’ah.” (Ahkamul Qu’an karangan Ibnul ‘Arobi II/596). Orang-orang yang tidak melaksanaklan syari’at itu ada dua keadaan ;
1. Mereka menolak dengan demikian mereka adalah orang-orang murtad.
Jika mereka adalah sebuah kelompok yang memiliki kekuatan, maka mereka diperangi sebagaimana orang-orang murtad. Dan jika dia tertangkap seorang diri, maka dia dibunuh.
Jika mereka berada diperkampungan kaum muslimin, maka mereka dipisah-pisahkan setelah mereka bertaubat dan mereka dipaksa melaksanakan syariat Islam sebagaimana kaum muslimin yang lain.
2. Mereka mengakui atas kewajiban melaksanakannya.
Jika mereka adalah sebuah kelompok yang memiliki kekuatan, mereka hingga mereka mau melaksanakan syari’at Islam yang wajib seluruhnya. Sedangkan orang yang tertangkap dari mereka tidak dibunuh, akan tetapi ia dikasih ‘iqob ( dipenjara) sebagaimana yang diperintahkan Alloh dan Rosul-Nya.
Ibnu Huwaiz Mandad berkata:”Jika penduduk sebuah kampung melakukan riba dan menghalalkannya, atau melegalkan perzinaan dan perjudian maka mereka murtad dan mereka hukumnya sebagaimana orang-orang murtad. Dan jika mereka melakukannya namun tidak menghalalkannya, Imam ( ulil amri dalam daulah Islam ) boleh memerangi mereka. Tidakkah anda melihat bahwasanya Alloh telah mengijinkan hal itu, Alloh berfirman: “Dan jika kalian tidak mau meninggalkan riba maka ijinkanlah peperangan dari Alloh dan Rosul-Nya.”(Al-Baqoroh;279)(Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an: III/364)

Memerangi kelompok yang keluar dari sebagian syari’at Islam baik berupa keyakinan maupun berupa amalan, lebih diutamakan dari pada memerangi orang-orang musyrik dan ahli kitab yang tidak memerangi kita. Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang sebuah kelompok dari rakyat sebuah negeri yang berfaham An-Nushoiriyyah. Lalu mereka bersepakat untuk mengikuti seseorang, diantara mereka ada yang mengatakan bahwa dia ini ilaah, diantara mereka ada yang berpendapat bahwasanya dia ini nabi yang diutus dan diantara mereka ada yang berpendapat bahwasanya dia ini adalah Muhammad bin Al-Hasan, maksudnya adalah Al-Mahdi. Dan mereka secara terang tetangan menyatakan keluar dari ketaatan dan mereka bertekad untuk memerangi orang yang mampu berperang di antara mereka. Maka apakah wajib hukumnya memerangi mereka dan apakah anak-anak dan harta mereka menjadi halal?
Beliau menjawab:”Al-Hamdulillah. Mereka wajib diperangi sampai mereka mau melaksanakan syari’at-syari’at Islam. Sesungguhnya An-Nushoiriyyah adalah termasuk orang-orang yang sangat besar kekafirannya meskipun mereka tidak mengikuti seorang dajjal seperti ini. Mereka adalah seburuk-buruk orang yang murtad. Mereka yang bisa berperang diperangi. Harta mereka dijadikan ghonimah. Sedangkan tentang anak-anak mereka apakah dijadikan budak masih diperselisihkan. Akan tetapi menurut kebanyakan ulama’ mereka dijadikan budak. Dan inilah yang terdapat dalam sejarah Abu Bakar dalam memerangi orang-orang murtad. Begitu pula para ulama’ berselisih pendapat tentang menjadikan perempuan mereka yang murtad sebagai budak. Sebagian mengatakan mereka dijadikan budak sebagaimana perkataan Abu Hanifah, dan sebagian mengatakan tidak dijadikan budak, sebagaimana perkataan asy-Syafi’i dan Ahmad. Sedangkan yang terdapat dikalangan sahabat adalah pendapat yang pertama, yaitu wanita-wanita murtad dari kalangan mereka yang murtad dijadikan budak Sesungguhnya Ali bin Abi Tholib menjadikan Al-Hanafiyyah, ibunya Muhammad ibnul Hanafiyyah termasuk orang-orang yang menjadi tawanan dari kalangan Bani Hanifah yang murtad yang diperangi oleh Abu Bakar dan para sahabat ketika Kholid ibnul Walid diutus untuk memerangi mereka. Adapun jika mereka tidak menampakkan penolakan terhadap syari’at dan tidak pula mengikuti si pendusta yang dianggap sebagai imam Mahdi yang ditunggu-tunggu ini, merekapun sesungguhnya juga tetap diperangi, akan tetapi mereka diperangi sebagaiman khowarij yang diperangi oleh Ali bin Abi Tholib ra. Atas perintah Rosul saw. Mereka diperangi sebagaimana orang-orang murtad yang diperangi oleh Abu Bakar ra. Selama mereka tidak mau melaksanakan syari’at. Namun Anak-anak mereka tidak dijadikan ghonimah dan harta mereka tidak dijadikan ghonimah selama tidak digunakan untuk berperang. Adapun yang digunakan untuk memerangi kaum muslimin seperti kuda, senjata dan yang lain, mka para ulam’ berselisih pendapat tentang masalah ini. Disebutkan dalam riwayat bahwasanya Ali bin Abi Tholib merampas apa saja yang berada pada pasukan khowarij. Maka jika waliyul amri menghalalkan harta yang berada pada pasukan mereka, maka hal ini boleh. Hal ini selama mereka tidak mau menjalankan syri’at. Dan jika mereka tertangkap maka persatuan mereka harus dipecah, sarana kejahatan mereka dihancurkan, mereka dipaksa menjalankan syri’at Islam dan orang yang tetap dalam kemurtadannya dibunuh. Adapun orang yang menampakkan keislaman namun menyimpan kekafiran, yaitu munafiq, yang dinamakan oleh para fuqoha’ dengan zindiq, menurut kebanyakan fuqoha’ mereka dibunuh meskipun mereka bertaubat sebagaimana madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i. Dan mereka yang menjadi penyeru kepada kesesatan, dan kejahatannya itu tidak bisa ditahan kecuali dengan membunuhnya, maka ia dibunuh juga, meskipun ia memperlihatkan taubat dan meskipun ia tidak dihukumi sebagai orang kafir, seperti pemimpin-pemimpin rofidloh yang menyesatkan orang. Sebagaimana umat Islam telah membunuh Ghoilan Al-Qodari, Ja’d bin Dirham dan penyeru-penyeru semacam mereka. Maka Dajjal semacam ini secara mutlak dibunuh. Wallohu A’lam. (Al-Fatawa Al-Kubro IV/215 masalah ke 409)
Ibnu Taimiyah berkata ketika membahas tentang perang melawan An-Nushairiyah:”….. tidak diragukan lagi bahwasanya memerangi dan menegakkan hukum hudud kepada mereka termasuk ibadah yang paling agung dan kewajiban yang paling utama dan jihad melawan mereka adalah lebih utama dari pada orang-orang musyrik dan ahlul kitab yang tidak memerangi umat Islam, karena jihad melawan mereka ini merupakan penjagaan terhadap negeri Islam yang telah dikuasai. Sedangkan jihad melawan orang-orang musyrik dan ahlu kitab yang tidak memerangi kita adalah merupakan tambahan terhadap idzharuddin, dan menjaga yang pokok itu lebih didahulukan dari pada yang cabang.” (Al-Fatawa Al-Kubro IV/215 masalah ke 409).

BAY'AH KEPADA SELAIN KHALIFAH, APAKAH BID'AH ?

Perkara yang dibid'ahkan kelompok yang "mengaku" pengikut salaf adalah permasalahan bay'ah. Mereka menganggap bay'ah hanya ditujukan kepada imamul udzma (khalifah) saja dan selama tidak ada khalifah bay'ah tidak berlaku, karena itu yang berlaku dan dipraktekkan hari ini oleh harakah (gerakan) Islam adalah perkara bid'ah dan tidak sunnah. Benarkah hal demikian? Apa dan bagaimana pengertian bay'ah itu sebenarnya ?

Kata "bay'ah" secara bahasa berarti menukar,kemudian dipakai dengan arti jual beli, karena jual beli mengandung makna tukar menukar. Menurut istilah syar'i, bay'ah berarti "Perjanjian seseorang/beberapa orang kepada seseorang/beberapa orang terhadap suatu perintah atau larangan syari'at." Dengan kata lain, bay'at adalah perjanjian yang dilakukan oleh seseorang yang statusnya adalah muslim dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Bay'at merupakan suatu prinsip ajaran Islam, karena ia adalah tradisi kenabian yang senantiasa diberikan umat Islam kepada Rasul SAW dalam hidupnya. Setelah beliau wafat bay'ah tetap berlaku yang diberikan oleh umat Islam kepada para khalifah yang memperoleh petunjuk atau orang-orang tertentu yang memimpin umat Islam selama berabad-abad sampai jatuhnya system pemerintahan Islam di masa khalifah Utsmaniyah di turki tahun 1924 M.

Dalam sejarah awal perjuangan Islam, konsep bay'at telah ada dan dilaksanakan oleh sahabat kepada Rasul SAW dalam rangka untuk mengokohkan dakwah dan perjuangan Islam, dan hal ini dinyatakan dalam beberapa ayat. Al-Qur'an. Diantaranya ; Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar. ( Qs. Al-Fath : 10 ). Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka[1472] dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Qs. Al-Mumtahanah : 12 )

Bai’ah Dalam As-Sunnah

Bai’ah yang disebutkan dalam As-Sunnah adalah sangat banyak, di antaranya adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih & hasan berikut ini:
1. “Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh ALLAH SWT pada Hari Kiamat… dan orang yang telah mem-bai’at seorang Imam (pemimpin dalam pemerintahan Islam) lalu jika Imam itu memberi kepadanya maka iapun setia dan jika Imam itu tidak memberinya maka iapun tidak setia kepadanya.” HR Al-Bukhari, V/9; lih. juga dalam Al-Fath, XIII/35
2. “Barangsiapa mem-bai’at seorang Imam (Pemimpin Pemerintahan Islam) lalu Imam tersebut memberikan buah hatinya dan mengulurkan tangannya, maka hendaklah ia mentaatinya sedapat mungkin dan apabila ada Imam lain yang menyainginya maka hendaklah mereka memukul leher Imam yang datang belakangan itu.” HR Muslim III/1472-1473; Nasa’i, VII/152-153; Abu Daud, IV/97; Ibnu Majah, II/1306
3. “Adalah Bani Isra’il dipimpin oleh para Nabi, tiap kali sang nabi wafat, maka digantikan oleh Nabi berikutnya. Dan sesungguhnya tidak ada lagi Nabi setelahku, tetapi akan ada para Khalifah, mereka banyak jumlahnya. Para sahabat bertanya: Apa yang Anda perintahkan kepada kami? Nabi SAW bersabda: Patuhilah bai’ah pertama, berikanlah hak mereka, karena ALLAH akan menanyakan kepada mereka apa yang menjadi tanggungjawab mereka.” HR Bukhari, V/401; Muslim, III/1471; Ibnu Majah, II/958; Ahmad, II/297
4. “… Lalu apa yang anda perintahkan kepadaku wahai RasuluLLAH? Maka Nabi SAW bersabda: Penuhilah bai’ah yang pertama karena itulah yang utama dan berikanlah pada mereka hak mereka, karena sesungguhnya ALLAH SWT akan menanyakan pada mereka tentang tanggungjawab mereka.” HR Muslim, III/1472 ini adalah lafazh-nya; Bukhari, V/403; Al-Fath, VI/495; Ibnu Majah, II/958-959; Ahmad, II/297
5. “Barangsiapa mem-bai’at seorang Amir tanpa bermusyawarah dengan kaum muslimin, maka tidak ada bai’at baginya dan tidak ada bai’at bagi yang mem-bai’at-nya.” HR Ahmad dalam Al-Musnad, dan ini adalah lafzh-nya; Al-Fath, XII/145
6. “Apabila di-bai’at 2 orang Khalifah, maka bunuhlah Khalifah yang terakhir dari keduanya.” HR Muslim, III/1480; Ahmad, III/95
7. “Barangsiapa yang meninggal dan di lehernya tidak ada bai’ah maka ia mati dalam keadaan Jahiliyyah.” HR Muslim, III/1478

Batasan Sahnya Jumlah Orang yang Mem-Bai’at Menurut Para Ulama Ushul

1. Sebagian Ahli Ushul berpendapat bahwa bai’ah shah dilakukan oleh minimal 5 orang, baik kelimanya yang mengusulkan maupun salah satu mengusulkan dan disepakati oleh yang lainnya, hal ini berdasarkan dalil pengangkatan Abubakar – semoga ALLAH meridhoinya - dilakukan oleh 5 orang shahabat. Bahkan para fuqaha Kufah berpendapat 3 orang sudah sah, karena didasarkan pada sahnya akad nikah.Tarikh Ar-Rusul wal Mulk, At-Thabary, IV/497-498
2. Imam Al-Mawardi berkata bahwa pengangkatan Imam ini hukumnya fardhu kifayah, dan kewajiban ini sejajar dengan kewajiban jihad & menuntut ilmu. Sehingga jika seseorang telah melakukannya dan ia memang mememnuhi syarat sesuai syari’ah, maka lepas kewajiban masyarakat pada umumnya. Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Al-Mawardi, hal. 4
Bai’ah Boleh Dilakukan Kepada Selain Imamah-’Uzhma ( Khalifah).
1. Sebagian kaum muslimin mem-bai’ah Mu’awiyah – semoga ALLAH meridhoinya - saat Ali bin Abi Thalib – semoga ALLAH meridhoinya - masih menjabat sebagai khalifah yang sah. (Usud Al-Ghabah, Ibnul Atsir, I/113)
2. Bahkan sebagian Ulama yang tajam bashirahnya, menyatakan bahwa terdapat hikmah besar dari peristiwa peperangan di masa Ali – semoga ALLAH meridhoinya - karena dengan keluhuran & keluasan ilmunya sebagai sahabat generasi pertama kita dapat meletakkan dasar-dasar & kaidah-kaidah syariat yang amat berharga tentang jika terjadi perselisihan antara 2 kelompok kaum muslimin serta hukum-hukum fiqh di sekitar peperangan antara sesama Ahli Kiblat. At-Tamhid fi Ar-Radd ‘alal Mulhidah, Al-Baqillani, hal. 229
3. Sebagian kaum muslimin ber-bai’ah pada Ummul Mu’minin Aisyah – semoga ALLAH meridhoinya - dan berperang bersamanya melawan Khalifah Ali – semoga ALLAH meridhoinya. HR Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, III/119
4. Sebagian kaum muslimin juga mem-bai’ah Al-Hasan bin Ali – semoga ALLAH meridhoinya - di masa pemerintahan Mu’awiyyah – semoga ALLAH meridhoinya - masih berkuasa, dan tidak diingkari oleh para shahabat yang lainnya – semoga ALLAH meridhoinya. Ibid, I/265
5. Sebagian kaum muslimin juga mem-bai’ah Yazid bin Mu’awiyah, sementara sebagiannya mem-bai’ah Al-Husein bin Ali – semoga ALLAH meridhoinya. Ibid, II/193
6. Kaum muslimin mem-bai’ah para tokoh selain Khalifah, seperti yang dilakukan oleh qabilah Nakha’i terhadap Al-Asytar, menjelang perang Shiffin. HR Ibnu Abi Syaibah & Al-Hakim, dari Umar bin Sa’id An-Nakha’i

Ada beberapa fungsi dari sebuah bay'at yang dinyatakan oleh seseorang, yaitu;
1) Untuk menjaga istiqomah / kesungguhan dalam beramal,
2) Untuk meningkatkan ketaatan, kepatuhan dan kedisiplinan,
3) Untuk meningkatkan kebulatan tekad dalam beramal,
4) Untuk menghindari sifat penakut, kemunafikan, atau pengkhianatan.

Di samping itu, bay'at bukan sebatas ikrar pernyataan setia dan taat tanpa sebuah makna, namun ia melahirkan sebuah konsekwensi yang harus difahami dan dilaksanakan, yaitu : Pertama, Kewajiban seseorang yang sudah mengikrarkan bay'at untuk tetap berpegang teguh kepada bay'at yang diikrarkan, karena hakekatnya ia telah berjanji kepada Allah SWT. Memutuskan perjanjian dengan Allah sesudah teguh perjanjian itu, menghantarkan ia menjadi orang fasik. Rasulullah SAW bersabda :"Barangsiapa mencabut tangannya dari ketaatan, maka ia akan berjumpa dengan Allah di hari kiamat dengan tidak memiliki hujjah. Dan barangsiapa yang mati dan dilehernya tidak ada ikatan setia (bay'at) kapada ulil amri maka ia mati sebagai mati jahiliyah." (HR.Muslim No.1851 dari Sahabat Abdurrahman bin Auf ra). Kedua, Kewajiban untuk menjaga hatinya agar tetap ikhlas dengan perjanjian yang dinyatakannya, karena syaithan dari golongan jin dan manusia akan terus berusaha membuat makar untuk menodai keikhlasan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.

Bagaimana status orang yang tidak berbay'ah kepada ulil amri Islam (pemerintahan Islam)? Jelas sebagaimana hadits Riwayat Imam Muslim : “Barangsiapa yang meninggal dan di lehernya tidak ada bai’ah maka ia mati dalam keadaan Jahiliyyah.” HR Muslim, III/1478. Artinya ia dalam posisi kedurhakaan kepada Allah. Dalam al-Qur'an disebutkan, bahwa ada tiga bentuk ketaatan ; pertama, taat kepada Allah (Al-Qur'an), kedua taat kepada Rasul-Nya (Sunnah –hadits Shohih), dan ketiga, taat kepada ulil amri (pemimpin) (Qs. 4:59). Ketaatan kepada ulil amri adalah taat kepada konstitusinya sebagai wujud implementasi dari al-Qur'an dan Hadis Shohih. Selama ulil amri memerintah sesuai syari'at allah maka ketaatan kepadanya suatu kewajiban, sebagaimana sabda Rasul SAW : "Seseorang Muslim hendaknya senantiasa mendengar dan taat (kepada ulil amri) baik itu disenangi atau tidak disenangi, kecuali apabila diperintah pada perkara maksiat, sebab apabila ia diperintah pada hal-hal maksiat maka tidak boleh mendengar dan mentaatinya". (HR.Muslim).

Sekarang sudah adakah pemerintahan Islam ( Ad-Daulatul Islamiyah ) di nusantara ini ? Dalam hal ini kita perlu kembali memahami sejarah yang terjadi di nusantara ini, dari sini kita bisa mendapatkan sebuah jawaban yang pasti. Ir. Syamsu Hilal dalam bukunya "GERAKAN DAKWAH FORMAL DI INDONESIA" Penerbit Pustaka Tarbiatuna, Jakarta 2002 hal.38, telah menulis bahwa di Nusantara ini telah berdiri dan proklamasi sebuah pemerintahan Islam yang hak sebagai cikal bakal untuk menuju terwujudnya khilafah islamiyah. Yaitu Negara Islam Indonesia. Dalam buku tersebut dijelaskan : "Negara Islam Indonesia (NII) diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949 / 12 Syawal 1368 H di daerah yang dikuasai oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa Barat yang ditinggalkan oleh TNI ke Jogya. Sebab daerah de facto RI pada saat itu hanya terdiri dari Yogyakarta dan kurang lebih 7 kabupaten saja (menurut fakta-fakta perundingan / kompromis dengan kerajaan Belanda ; perjanjian Linggarjati tahun 1947 hasilnya de facto RI tinggal pulau Jawa dan Madura, sedang perjanjian Renville pada tahun 1948 de facto RI adalah hanya terdiri dari Yogyakarta". (hal 38).

Selanjutnya kata penulis, "Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan Negara Islam Indonesia didirikan dan diproklamirkan di dalam negara Republik Indonesia. Negara Islam Indonesia di dirikan di daerah yang masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda." (hal 40).

Yang menjadi permasalahan sekarang, bagaimana status Negara Islam Indonesia, apakah masih eksis atau hanya tinggal sejarah saja. Jawabannya tergantung dari sudut mana kita menilai.Yang jelas, secara de jure keberadaan Negara Islam Indonesia masih eksis di nusantara tetapi belum secara de facto, hal ini disebabkan kekalahan dalam pertempuran (pertempuran yang tidak seimbang saat itu). Untuk lebih jelas, silahkan baca buku :"PENGANTAR PEMIKIRAN POLITIK SM.KARTOSUWIRJO PROKLAMATOR NEGARA ISLAM INDONESIA" Penerbit Darul Falah Jakarta, Oleh Al-Chaidar.

APAKAH MENERAPKAN METODE SIRRIYAH ( SECARA RAHASIA) DALAM DAKWAH MERUPAKAN PERBUATAN BID’AH?

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS Yusuf, 12/111).

ALLAH SWT menyatakan dengan tegas dalam ayat ini: bahwa kisah-kisah para Nabi dan Rasul ‘alaihimus shalatu was salam terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal, bahwa Al-Qur’an bukan berisi kisah-kisah yang dibuat-buat melainkan membenarkan kitab-kitab sebelumnya, dan Al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan segala sesuatu dan menjadi hidayah dan rahmat bagi kaum mu’minin dan mu’minah.

Berkata Imam Abu Ja’far at-Thabari rahimahuLLAH dalam tafsirnya [[1] Tafsir Thabari, VII/324 } ALLAH SWT mengingatkan bahwa dalam kisah Yusuf as dan saudaranya ini terdapat pelajaran bagi orang yang berakal dan agar mereka mengambil pelajaran darinya dan nasihat agar mereka mencamkan nasihat tersebut. Selanjutnya Imam at-Thabari menyebutkan beberapa riwayat yang menyatakan bahwa kisah-kisah tersebut hanya menjadi pelajaran bagi Yusuf as dan saudara-saudaranya saja (bukan bagi kita), namun beliau (Imam at-Thabari) membantahnya karena dalil dalam ayat bersifat umum kepada semua ulil-albab. [Ibid.]

Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya [Tafsir Ibnu Katsir, II/655] bahwa makna (tashdiq alladzii bayna yadayhi) adalah: Al-Qur’an ini membenarkan hal-hal yang shahih (dari ajaran dan kisah nabi terdahulu) dan menghilangkan hal-hal yang menyimpang, perubahan dan penggantian serta menetapkan hukum nasakh (yang dihapus) maupun hukum taqrir (hukum yang ditetapkan). Lebih jauh beliau rahimahuLLAH menjelaskan [ibid] bahwa makna (tafshiila kulla syai’in) bermakna menjelaskan semua yang halal dan haram, semua yang mahbub dan makruh dan hal-hal yang selainnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya [Tafsir Al-Baghawi, I/287].

Setelah itu semua maka ketahuilah wahai al-mu’minun wal mu’minaat bahwa ALLAH SWT Yang Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui telah menyebutkan dalam firman-NYA bahwa metode dakwah baik secara sirriyyah maupun ‘alaniyyah keduanya merupakan metode dakwah yang shahih dan diakui di dalam Al-Qur’an, dan tidaklah yang mencelanya kecuali orang yang jahil dan ghullat (ekstrem) dari kelompok khawarij-jadiidah (khawarij gaya baru) yang dengan mudah mencela dan memvonis kelompok lain tanpa dilandasi tabayyun (check) dan ta’akkud (re-check) karena hiqd dan hasad yang telah bersarang dalam hati mereka.

Setelah kita memahami tafsir ayat di atas, maka marilah kita bahas pula kandungan dan tafsir ayat di bawah ini:
Kemudian Sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan. Kemudian Sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, (QS Nuh, 71/8-9)
Bahwa ayat di atas digambarkan bagaimana berbagai metode dakwah telah ditempuh oleh Nabi Nuh as dalam mendakwahi kaum dan ummatnya. Nuh as adalah satu diantara ‘ulul-’azmi minar rusul (Rasul-rasul yang memiliki ‘azzam yang kuat yang merupakan Rasul-rasul yang paling tinggi derajatnya disisi ALLAH SWT [Tafsir Ibnu Katsir, IV/219; At-Thabari XI/302 ]), dimana beliau telah melakukan berbagai metode dalam dakwahnya baik sirriyyah maupun ‘alaniyyah.
Berkata Imam at-Thabari [Tafsir At-Thabari, XII/248 ] bahwa makna "ASRARTU LAHUM ISRARA" adalah: Hanya antara Nuh as dengan kaumnya secara rahasia. Berkata Imam Al-Qurthubi [Tafsir Al-Qurthubi, XVIII/120] bahwa maknanya adalah Nuh as mendatangi mereka satu persatu ke rumah-rumah mereka. Sementara Imam An-Nasafi [Tafsir An-Nasafi, IV/282 ] menyebutkan bagaimana Nuh as mengoptimalkan semua potensi dan semua cara dalam berdakwah, pertama beliau as mendakwahi kaumnya secara rahasia siang dan malam, lalu beliau as mendakwahi mereka secara terang-terangan, kemudian beliau as menggabungkan cara rahasia dengan cara terang-terangan, demikianlah cara ber-amar ma’ruf nahyul munkar, hendaklah dimulai dengan rahasia dan lembut lalu jika tidak berhasil maka barulah menggunakan cara terang-terangan dan tegas.

Imam al-Maqrizi dalam kitabnya [Imta’ul Asma’, I/15 (ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Syakir) ] menyitir pendapat ‘Urwah bin Zubair, Ibnu Syihab dan Ibnu Ishaq tentang waktu antara awal kenabian (turunnya QS Al-’Alaq di gua Hira’) sampai turunnya ayat FASHDA’ BIMAA TU’MARU WA A’RIDH ‘ANIL MUSYRIKIIN [QS Al-Hijr, 15/94 ] sampai pada WA ANDZIR ‘ASYIIRATAKAL AQRABIIN [QS Asy-Syu’araa’, 26/214 ] dan ayat QUL INNII ANAN NADZIIRUL MUBIIN [QS Al-Hijr, 15/89 ] adalah 3 tahun, Al-Baladziri [Ansab al-Asyraf, I/116 ] menyebutkan 4 tahun. Ada pula beberapa pendapat yang menganggap masa terputusnya wahyu tersebut sekitar 40 hari, 15 hari atau bahkan 3 hari [Ini juga disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Ummu Jamil bin Harb tentang turunnya QS Adh-Dhuha].

Dalam sirah [ Sirah Ibnu Hisyam, I/262-269. ] disebutkan saat Abubakar ra memulai dakwah maka ia mulai mengajak kepada ALLAH dan Islam, yaitu orang yang diyakinkannya bisa merahasiakan dan mendengarkan dakwah, melalui dakwahnya maka masuk Islamlah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, AbduRRAHMAN bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash dan Thalhah bin ‘UbaidiLLAH. Dalam riwayat masuk Islamnya Ammar ra diantaranya disebutkan [Shahih Muslim, I/596 ]: … aku melihat RasuluLLAH SAW sedang bersembunyi karena dimusuhi kaumnya… Bukti lain atas masalah ini ialah perkataan Imam Ibnu Hajar dalam syarahnya atas Shahih Bukhari [ Fathul Bari’, VII/84 ], beliau menyebutkan bahwa timbulnya perbedaan pendapat tentang siapa yang lebih dulu masuk Islam disebabkan masing-masing sahabat tidak tahu siapa saja yang sudah Islam. Bukti lain dakwah Nabi SAW secara rahasia pada periode awal tersebut adalah kisah masuk islamnya segolongan Jin yang diriwayatkan dalam hadits shahih [ Shahih Muslim bis Syarh Nawawi, IV/168-170 ] yaitu saat Nabi SAW mengumpulkan para sahabatnya di luar Makkah.

Dalam sunnah Nabi muhammad SAW terlihat bahwa fase dakwah sirriyyah berakhir setelah Nabi SAW mendapatkan jaminan keamanan dari ALLAH SWT [ QS Al-Hijr, 15/95 ]. Demikianlah yang harus diikuti, yaitu pertimbangan sirriyyah dan ‘alaniyyah dalam berdakwah adalah keamanan dan perkiraan sampai serta diterimanya dakwah itu sendiri, setelah dakwah aman dilakukan secara jahriyyah, maka wajib bagi para da’i menyampaikannya secara jahriyyah.

Jika dikatakan bahwa peristiwa sirriyyah itu telah dihapuskan (di-nasakh) dengan ayat WA ANDZIR ‘ASYIIRATAKAL AQRABIIN [ QS Al-Hijr, 15/95 ] dan ayat YAA AYYUHAR RASUL BALLIGH MAA UNZILA ILAYKA MIN RABBIKA [ QS Al-Ma’idah, 5/67 ], maka dapat dikatakan bahwa ayat ini sama sekali tidak menasakh dakwah sirriyyah, selain karena dakwah sirriyyah merupakan cara dakwah yang diakui dalam Al-Qur’an dan tidak pernah dihapuskan hukumnya, selain itu nabi SAW-pun pernah melakukan dakwah sirriyyah ini sekalipun setelah ayat-ayat di atas diturunkan. Seperti saat peristiwa bai’ah Aqabah pertama [ Sirah Ibnu Hisyam, II/41-42, lih. Juga dalam Fathul Bari’ I/66 dan Shahih Muslim III/1333 ], pada saat janji setia yang bukan janji untuk berperang ini beliau SAW melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Demikian pula saat peristiwa ‘Aqabah yang kedua [ Ibid, I/438 ], yang disebut sebagai janji setia untuk peperangan [Ibid, II/63; lih. Juga Musnad Ahmad V/316 ] juga dilakukan di malam hari dan secara sembunyi-sembunyi [ Ibid, I/439-443, 447-448; lih. Juga Fathul Bari’ VII/221; Musnad Ahmad III/460 ], bahkan sesama suku Aus dan Khazraj yang musyrik sama sekali tidak saling tahu [ Ibid, I/439-443, 447-448; lih. Juga Fathul Bari’ VII/221; Musnad Ahmad III/460]. Saat peristiwa hijrah sebagian besar sahabat ber-hijrah secara sembunyi-sembunyi [ Ibid, I/468; juga Fathul Bari’ VII/260-261; Shahih Muslim II/632 ], bahkan beliau SAW-pun melakukannya dengan sembunyi-sembunyi [ Ibid, I/468; juga Fathul Bari’ VII/260-261; Shahih Muslim II/632 ] walaupun sebagian sahabat ra ada pula yang melakukannya secara terang-terang-an [ Fathul Bari’, VII/260 ]. Demikianlah baik sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan adalah bagian dari metode dakwah, keduanya dapat dilakukan sesuai dengan maslahat dakwah.

Dalam beberapa riwayat tersebut di atas nampak jelas tentang bahwa tahapan antara sirriyyah dan ‘alaniyyah dalam dakwah tersebut bukan merupakan bid’ah yang dibuat-buat tapi merupakan sunnah yang shahih, ia merupakan sunnah para anbiya’ wal mursalin shalawatuLLAHi was salamu ‘alayhi ajma’in. Tidak boleh diingkari oleh seorang muslim yang mu’min kepada kitabuLLAH dan mengikuti atsar salafus shalih ridhwanaLLAHu ‘alayhi ajma’in, kalaupun terjadi perbedaan maka perbedaan tersebut semata-semata dalam memahami kapan kedua metode tersebut dilakukan dan bagaimana ia dilakukan, dan hal ini merupakan lapangan ijtihad yang tidak dihalalkan bagi mereka yang berbeda pendapat untuk memaksakan pendapatnya, apalagi sampai memvonis bid’ah bagi yang berbeda.

KHAWARIJ

Menuduh dan Memvonis seseorang sebagai "KHAWARIJ" bukan perkara mudah, tanpa terlebih dahulu mengetahui pengertian yang sebenarnya dari kata "KHAWARIJ" tersebut, apalagi posisi melontarkan ucapan tersebut bukan dalam wilayah daulah Islamiyah yang telah melaksanakan syari'at Islam.

Ulamaa’ telah menjelaskan bahwa " KHAWARIJ " adalah sekelompok dari umat Islam yang memberontak melawan Imam (Pemerintahan Islam) yang benar dan sah yang telah diangkat oleh kaum Muslimin, dan mereka secara terbuka tidak taat kepadanya, dan mereka bersekongkol melawannya – maka dimanakah Imam (Pemerintahan Islam) yang benar saat ini, yang bisa memberikan label kepada seseorang yang memberontak melawannya sebagai seorang ‘Khawarij’ ?. Dimanakah ‘Ali bin Abi Thalib hari ini?!

Dan jika kami dikatakan kelompok " KHAWARIJ ", maka siapakah kalian (wahai kalian yang mengaku pengikut salaf yang loyal kepada thoghut )?! Apakah kalian ‘Ali dan Shahabat-shahabatnya?! Dan apakah ‘Ali r.a. mengambil hukum kekuasaannya dari Legislasi (undang-undang) orang Persia dan orang-orang Roma ?! Apakah dia memerintah berdasarkan pada “Sosialisme” dan “demokrasi”? Atau dia adalah seorang penyeru “nasionalisme” dan “kedamaian sosial” ? Atau pernahkah ‘Ali bersekutu dan mendukung Yahudi ( Amerika )?! Atau pernahkah ‘Ali meninggalkan Hudud dari Allah dan mengimplementasikan hukuman yang tidak pernah Allah kirimkan ke muka bumi ini? Atau dapatkah itu dikatakan menyeru untuk menegakkan daulah Islam, sebuah kejahatan yang tidak bisa dimaafkan?!

Atau pernahkah ‘Ali berperang melawan kesucian dan kemurnian, menyeru kepada “kebebasan” wanita dan untuk membiarkan wanita bebas untuk melakukan perjalanan?! Atau apakah ‘Ali salah satu orang yang telah memisahkan Al- Qur’an kedalam bagian-bagian (yaitu mengimani sebagian dan mengkufuri sebagian)? Mereka yang mengatakan: “Tidak ada Islam dalam politik, dan tidak ada politik dalam Islam”?! Dan yang telah dimaafkan Khalifah ‘Ali r.a. beliau sama sekali tidak pernah melakukan semua itu. Tetapi dia yang paling ingin menerapkan hukum Allah, dan memerintah dengan Kitab Allah, serta Sunnah Rasul-Nya Saw.. Kemudian tidak ada keraguan, bahwa seseorang yang memberontak melawan Al Imaam Al ‘Adil dia benar-benar seorang Khawarij. Sebagaimana untuk seseorang yang melakukan semua kebatilan ini yang telah kami sebutkan – maka seseorang yang berjihad melawan seorang penguasa (yang tidak melaksanakan hukum Islam) yang telah merampas dan menjajah daulah Islam bukanlah seorang Khawarij; tetapi dia adalah seorang Muslim, seorang Mu’min, seorang Muttaqi (bertaqwa).

Apakah kalian mengerti arti "KHAWARIJ" yang sebenarnya? Jangan-jangan justru kalian yang termasuk kelompok "KHAWARIJ" yang keluar dan menodai citra daulah Islam dengan fatwa dan ucapan kalian. Sadarkah kalian, bahwa tidak pantas kalian menisbatkan sebagai pengikut salaf sementara kalian wala (loyalitas) nya kepada thoghut dan menurut kepada apa yang keluar dari mulut orang-orang kafir (Amerika). Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya".(Qs. Ash-Shof : 8 ).

Bukankah kalian telah mengetahui, status orang yang loyal dan setia kepada thoghut ancamannya kekufuran ? Janganlah kalian terpedaya dengan kebebasan dan keleluasaan dalam beraktivitas dan melaksanakan ritual ibadah mahdhah, sementara diri kalian terkungkung dengan sistem jahiliyah dan kalian betah didalamnya.
Hukum para pembela thoghut itu adalah cabang dari hukum thoghut itu sendiri. Dan para pemerintah yang menjalankan hukum selain hukum Alloh adalah murtad. Adapun hukum para pembela thoghut tersebut, yang terdiri para ulama’ suu’, para jurnalis, tentara dan lain-lain, mereka kafir secara ta’yin (perorangannya) pada hukum dzohirnya. Berikut ini dalil-dalilnya:
1- dalil pertama adalah ijma’ para sahabat.

Rosululloh saw., selama hidupnya tidak pernah memerangi orang-orang murtad yang mumtani’ (mempertahankan diri dari kekuasaan Islam). Akan tetapi para sahabat setelah wafatnya beliaulah yang mmemerangi mereka, pada masa khilafah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dari beliau dan para sahabat lainnyalah perincian hukum permasalahan ini diambil. Rosululloh saw., bersabda: “Sesungguhnya barang siapa diantara kalian yang hidup sesudahku, akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaknya kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan janganlah kalian membust hal-hal yang baru, sesungguhnya setiap yang baru itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu di neraka. Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dan dia mengatakan “ Hadits ini hasan shohih.

Sedangkan para sahabat telah berijma’ atas kafirnya para pembela pemimpin-pemimpin kemurtadan. Seperti para pembela Musailamah yang mengaku nabi al-kadzab dan Thulaihah Al-Asadi yang mengaku nabi al-Kadzab. Para sahabat merampas harta mereka, menawan permpuan-perempuan mereka dan para sahabat bersaksi bahwa orang-orang mereka yang tewas berada di neraka. Hal ini adalah sikap pengkafiran para sahabat terhadap para pembela tersebut. dalilnya adalah sebagai berikut:

Atsar yang diriwayatkan oleh Thiriq bin Syihab, ia mengatakan:”Datang utusan Buzakhoh dari bani Asad san Ghothofan kepada Abu Bakar, mereka memohon perdamaian. Maka Abu Bakar memberikan pilihan kepada mereka antara al-harbul mujliyah dan as-silmul mukhziyah. Mereka mengatakan:”Al-Mujliyah ini kami sudah mengetahuinya, lalu apa yang dimaksudkan dengan yang al-mukhziyah?” Abu Bakar menjawab:”Kalian dilucuti dari al-halqoh (senjata) dan al-kuro’ (semua kuda), apa yang kami dapatkan dari kalian kami jadikan sebagai ghonimah (harta rampasan), kalian kembalikan apa yang kalian dapatkan dari kami, kalian bayar diyat (tebusan) setiap orang kami yang kalian bunuh dan kalian mengikuti ekor-ekor onta sampai Alloh menampakkan kepada kholifah rosul dan orang-orang muhajirin sesuatu yang bisa mengamouni kalian.” Lalu apa yang dikatan Abu Bakar itu dipaparkan kepada mereka, maka berdirilah Umar dan berkata:”Aku mempunyai pendapat yang akan kuusulkan kepadamu. Adapun perkataanmu tentang al-aharbul mujliyah dan as-silmul mukhziyah itu sangat bagus sekali. Dan perkataanmu “Apa yang kita dapakan dari kalain dianggap sebagai rampasan perang dan apa yang kalian dapatkan harus dikembalikan kepada kami”, ini juga bagus sekali. Adapun perkataanmu “kalian harus membayar diat (tebusan) setiap orang kami yang kalian bunuh dan orang kalian yang mati di neraka” maka yang benar adalah sesungguhnya orang-orang kami telah berperang dan terbunnuh dalam menjalankan perintah Alloh, maka mereka mendapatkan pahala dari Alloh dan kalian tidak harus membayar diyat.” Thoriq bin Syihab mengatakan:”Lalu orang-orangpun mengikuti pendapat Umar.” Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Baqoni sesuai dengan syarat Bukhori. Dari Nailul Author tulisan Asy-Syaukani VIII/22. Riwayat ini juga disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari setelah itu beliau mengatakan: “ Al-Humaidi mengataka; Al-Bukhori meringkasnya dan hanya menyebutkan ujungnya, yaitu perkataanya: [kelian mengikuti ekor-ekor onta – sampai – yang dapat mengampuni kalian]. Dan Al-Barqoni meriwayatkan secara panjang dengan menggunakan sanad yang digunakan Bukhori damam meriwayatkan atsar tersebut.” (Fathul Bari XIII/210. Dan atsar ini asalnya dalam shohih Bukhori pada bab al-istikhlaf, kitabul ahkam no. 7221. Sedangkan utusan Buzakhoh adalah kaumnya Thulaihah al-Asadi yang berperang bersamanya. Ketika mereka dikalahkan oleh sahabat, mereka mengirim utusan kepada Abu Bakar.

Ibnu Hajar menyebutkan hadits ini dalam syarahnya lalu mengatakan: “Al-Mujliyah artinya adalah meninggalkan semua hartanya. Sedangkan al-mukhziah artinya adalah tinggal dalam kehinaan. Sedangkan al-halqoh artinya adalah senjata. Sedangkan al-kuro’ artinya adalah semua kuda ”. dan manfaatnya adalah, (semua itu dilucuti dari mereka) supaya mereka tidak mempunyai kekuatan, sehingga manusia merasa aman dari mereka. Sedangkan perkataanya yang berbunyi “apa yang kami dapatkan dari kalian, kami jadikan ghonimah (harta rampasan) yaitu rampasan itu tetap menjadi ghonimah yang akan kami bagi sesuai dengan kewajiban syar’ii, dan tidak dikembalikan kepada kalian sedikitpun. Sedangkan perkataannya yang berbunyi “dan kalian kembalikan kepada kami semua yang kalian dapatkan dari kami” yaitu apa saja yang kalian rampas dari pasukan Islam ketika berperang. Seadangkan perkataannya “kalian membayar diyat” yaitu kalian membawa diyat (tebusan) mereka kepada kami. Sedangkan perkataannya yang berbuinyi “orang yang mati di antara kalian masuk neraka” artinya; tidak ada diyat bagi mereka di dunia karena mereka mati dalam kesyirikan mereka, mereka dibunuh dengan alasan yang benar sehingga tidak ada diyat bagi mereka. Sedangkan perkataannya yang berbunyi “kalian dibiarkan” dan “mengikuti ekor-ekor onta” artinya; kalian dibiarkan menggembalakannya. Karena jika mereka dilicuti dari peralatan perang, mereka kembali ke pedalaman dan mereka tidak mempunyai penghidupan kecuali hasil dari onta mereka. Ibnu Bathol mengatakan: ‘Mereka murtad lalu bertaubat, lalu mereka mengirim utusan kepada Abu Bakar untuk memohon ampun. Maka Abu Bakar menjawab bahwa ia tidak akan mmutuskan perkara mereka kecuali setelah bermusyawarah. Maka ia mengatakan kepada mereka ; Pulanglah kalian dan ikutilah ekor-ekor onta kalian di padang pasir.’ Namun yang lebih kelihatan kuat adalah bahwa tujuan dari pemberian tenggang waktu kepada mereka itu adalah supaya kelihatan kejujuran taubat mereka dan kebaikan mereka pada baiknya islam mereka.” (Fathul Bari XIII/210-211)

Yang menjadi dalil dari hadits ini adalah perkataam Abu Bakar kepaa orang-orang murtad: ”orang kalian yang mati masuk neraka” dan persetujuan Umar serta seluruh sahabat dengan sikap Abu Bakar itu. Semacam ini adalah merupakan ijma’ mereka atas pengkafiran terhadap para pembela dan bala tentara pemimpin kemurtadan secara ta’yin (perorangan). Karena tidak diperselisihkan lagi bahwa orang-orang yang terbunuh adalah orang-orang yang tertentu. Sebagaimana juga tida ada perselisihan antara ahlus sunnah bahwa tidak boleh memberikan kesaksian bahwa seseorang itu masuk neraka kecuali orang-orang yang sudah jelas-jelasa kafir. Adapun orang muslim walaupun ia fasik, maka menurut aqidah ahlus sunnah – sebagaimana yang dikatakan oleh Ath-Thohawi - :”Dan kami berpendapat untuk sholat berjamaah baik di belakang orang yang baik maupun orang yang fajir dari orang Islam, dan menyolatkan mereka yang mati dan tidak menyatakan seorangpun di antara mereka masuk syurga atau masuk neraka.” Lihat Syarhul Aqidah ath-Thohawiyah, terbitan Al-Maktab Al-Islami 1403 H. hal. 421-426. Adapun orang yang mati dalam keadaan kafir, maka boleh dinyatakan ia masuk neraka, sebagaimana sabda rosululloh saw., : ”Sesungguhnya bapakku dan bapakmu berada di neraka.” Hadits ini diriwayatkan Muslim. Dan sebagaimana sabda rosululloh – mengenai Abu Tholib, pamannya - : “Dia berada di permukaan naraka.” Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhori (3883). Dan rosululloh bersabda: “Setiap kali kamu melewati kuburan orang kafir maka berikan kabar gembira kepadanya dengan api neraka.” Al-Baihaqi mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan Al-Bazzar dan Ath-Thobroni dalam Al-Kabir, dan rijal (sanad) nya shohih.” (majma’uz Zawa’id I/118)

Ini adalah penukilan yang shohih dan ijma’ yang nyata dari para sahabat atas pengkafiran para pembela dan bala tentara pemimpin-pemimpin kemurtadan secara perindividunya, dengan tanpa tabayyun terhadap syarat-syarat dan penghalang-penghalang vonis kafir yang terdapat pada mereka karena mereka mumtani’un bisy syaukah (mempertahankan diri dengan kekuatan). Jumlah mereka ribuan. Ibnu Taimiyah menyabutkan bahwa pengikut Musailamah Al-Kadzab berjumlah sekitar seratus ribu atau lebih. (Minhajus Sunnah VII/217) Dan telah kami sebutkan – dalam penjelasan kaidah takfir – bahwa tabayyun terhadap syarat dan penghalang vonis kafir itu hanya terhadap orang yang maqdur ‘alaih (dibawah kekuasaan Isalam), dam dalilnya adalah ijma’ sahabat yang disebutkan di sini. Ibnu Taimiyah mengatakan:”Dan karena orang murtad itu jika mumtani’ - dengan cara bergabung dengan darul harbi atau orang-rangorangmurtad itu mempunyai kekuatan yang mereka gunakan untuk menolak hukum Islam – sesungguhnya orang tersebut, tidak diragukan lagi, dibunuh dengan tanpa istitabah.” (Ash-Shorimul Maslul hal. 322). Beliau jiga mengatakan:”Bahwasanya orang yang mumtani’ itu tidak dilakukan istitabah (tidak disuruh tobat), akan tetapi yang dilakukan istitabah itu hanyalah orang yang maqdur ‘alaih (berada di bawah kekuasaan Islam).” (Ash-Shorimul Maslul hal. 325-326. Dan yang lalu telah disebutkan dalam penjelasan kaidah takfir bahwa tabayyun terhadap syarat dan penghalang vonis kafir masuk kedalam pengertian istitabah.

Dari dalil-dalil di atas terdapat beberapa sebab kafirnya para pembela thoghut. Setiap satu sebabnya adalah sebuah kekafiran yang tersendiri, yaitu:
1- Mereka berwala' kepada pemerintah yang kafir, yaitu dengan membantu mereka dalam memerangi Islam dan muslimin. Ini adalah penyebab kekafiran berdasarkan firman Alloh; "Dan barang siapa yang berwala' kepada mereka maka dia termasuk golongan mereka." (Al-Maidah: 51)
dan berdasarkan hukum yang diberlakukan oleh Nabi Saw., terhadap Al-Abbas. Dan juga berdasarkan ijma' sahabat yang memvonis kafir para pembela pemimpin kemurtadan. Juga berdasarkan kaidah fikih tentang hukum orang-orang mumtani' (mempertahankan diri dari kekuasaan Islam)
2- Mereka berperang di jalan thoghut. Yaitu thoghut dalam menjalankan hukum dan tempat berhukum selain Alloh. Dalam hal ini adalah undang-undang positif dan para penguasa kafir. Ini juga penyebab kekafiran berdasarkan firman Alloh: "Dan orang-orang kafir mereka berperang ji jalan thoghut." (An-Nisa': 76)

APAKAH KAMI (MUJAHIDIN NII) SUKA MENTAKFIRI SESAMA MUSLIM ?

Tuduhan yang sering dilontarkan oleh kelompok yang mengaku sebagai pengikut Sunnah, adalah isyu "TAKFIR". Yaitu kelompok yang suka memvonis kafir terhadap orang yang tidak sepaham. Benarkah hal demikian adanya? Tentu itu hanya rekayasa dari musuh-musuh Islam untuk menodai sebuah perjuangan, dan isyu tersebut ditelan mentah-mentah oleh mereka yang mengaku sebagai pengikut Sunnah tanpa tabayyun.

Apakah kita sebagai kaum Muslimin dibenarkan untuk men-takfir, atau hanya Allah saja yang berhak malakukannya? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu pertama-tama untuk merujuk kembali kepada Al-Qur’an, Sunnah Shahaabat dan ulama salaf. Allah swt. berfirman: “Katakanlah : "Hai orang-orang kafir” (QS 109: 1). Selanjutnya, perintah ini untuk “mengatakan” adalah perintah Allah langsung kepada orang-orang beriman, mewajibkan kepada kita untuk men-takfir orang-orang yang tidak beriman, dan mendeklarasikan baraa’ah kepada mereka dan pada apa yang mereka sembah, taati di samping selain Allah swt. Selanjutnya tidak ada perselisihan masalah takfir kepada orang-orang non Muslim. Faktnya, jika kita meragukan bahwa orang-orang non Muslim adalah kafir, kita menjadi kafir. Ini berdasarakan perkataan ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, seperti Imam Asy-Syafi’i dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahaab r.h., keduanya berkata: “Seseorang yang tidak men-takfir kepada orang-orang non Muslim, atau meragukan bahwa mereka adalah kafir, atau percaya bahwa dien mereka (jalan hidup atau agama) benar (atau bisa menjadi benar) – dia adalah kafir.” (Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab).

Dengan konsekuensi, orang-orang yang berkata bahwa kita seharusnya tidak menyebut non Muslim “kafir” tetapi menyebut mereka “berpotensi Muslim”, mereka mendeklarasikan ketidak berimanan mereka pada kalimat Allah swt. orang-orang yang telah mendeklarasikan mereka (non Muslim) Kafir di banyak tempat dalam Al-Qur’an, seperti yang terdapat dalam surah Al-Ma’idah dimana Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam.” (QS Al Ma’idah 5: 17).

Dengan ini orang-orang yang menolak untuk men-takfir kepada kuffar, secara langsung membuat dirinya kafir, menolak perintah Allah (QS 109: 1) dan atas ketidakpercayaannya kepada ayat di atas (QS 5: 17). Namun, sebelum mereka mencoba untuk memanipulasi teks-teks ketuhanan kami telah mendapatkan kutipan perkataan, “Yaa, tetapi Allah berkata bahwa orang-orang yang mengatakan Isa adalah Tuhan maka ia kafir, tetapi kami mengetahui dan banyak non Muslim berteman dengan orang-orang yang tidak percaya bahwa Isa adalah Tuhan.”

Kami akan menjawab pertama, orang-orang ini benar-benar tidak tahu; kedua, ada banyak ayat dalam Qur’an yang menetapkan bahwa orang-orang yang melakukan ke-syirik-an dan ke-kufur-an adalah kafir (tidak beriman). Namun, sejak hujjah-hujjah ini mulai ‘kabur’, banyak orang-orang yang di sebut “Muslim” tidak lagi mengunakan argumen ini sebagaimana mereka mengetahui bahwa ke-kufur-an mereka dan kemunafikan mereka akan menjadi nyata. Tentu saja mereka memilih untuk mengabaikan masalah ini dan menggembar-gemborkan masalah tersebut dengan berkata “haram untuk menyebut seorang Muslim Kafir”, dan bahkan mereka mengutip sebuah hadits yang cukup terkenal: “Siapa saja yang menyebut saudaranya kafir, maka orang tersebut akan mendapatkan title tersebut…” Tentu saja hadits ini benar, dan Rasulullah saw. selalu berbicara benar; tetapi yang harus di pikirkan adalah akan lebih baik jika orang-orang ini mengutip dengan baik. Secara lengkap dalam shahih Muslim disebutkan: “jika seseorang menuduh saudaranya kafir atau mengatakan seseorang adalah musuh Allah sedangkan orang tersebut tidaklah demikian, maka apa yang dituduhkan itu akan kembali pada diriny sendiri. (HR Muslim)

Jika kita memahami hadits ini dengan seksama kita akan menemukan bahwa Rasullah saw. melarang untuk manjatuhkan takfir kepada seseorang berdasarkan hawa nafsu, tetapi beliau saw. menegaskan jika takfir atas seseorang yang benar (terbukti kufur) dibolehkan, dengan demikian mendeklarasikan Kafir pada seseorang bisa diterima. Hadits ini tidaklah melarang untuk mentakfir secara keseluruhan, tetapi hadits ini adalah sebuah indikasi dan peringatan bahwa jika kita men-takfir seseorang haruslah dengan cara yang benar (sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah) atau takfir itu akan kembali kepada kita.

Selanjutnya, takfir adalah hak Allah, dengan demikian hak-Nya haruslah diterapkan dan dipertahankan. Seperti halnya shalat. Shalat adalah hak Allah; apakah ini berarti bahwa kita seharusnya tidak melakukan shalat? Takfir adalah hak Allah dan Allah memerintahkan kepada kita untuk memenuhi hak-Nya yang sesuai dengan syari’ah. Adalah sesuatu yang haram untuk men-takfir seorang muslim yang melakukan dosa. Kita hanya mendeklarasikan takfir atas orang-orang kafir dan yang murtad, sebagaiman Allah swt. berfirman memerintahkan kita untuk melakukan itu: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah…” (QS Al Baqarah 2: 256)

At-Thaghut, sebagaimana para Shahabat menjelaskan adalah sesuatu yang disembah, diikuti, ditaati selain daripada Allah, dan seseorang yang minta untuk disembah atau ditaati. Para Shahabat dan ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah juga berkata bahwa thaghut adalah syaitan, semua penguasa yang tidak berhukum pada Islam, ulama yang membolehkan apa yang dilarang oleh Allah, atau melarang apa dibolehkan oleh Allah. Selanjutnya takfir atas mereka yang melakukan demikian adalah berdasarkan fakta bahwa mereka adalah tawaghit, karena membolehkan apa yang Allah larang, seperti bersekutu dengan Kuffar melawan kaum Muslimin juga melarang apa yang Allah bolehkan (perintahkan), seperti jihad dan bangkit untuk melawan penguasa yang tidak menerapkan hukum Islam dan sebagainya.

Lebih lanjut Rasulullah saw. men-takfir orang-orang yang tidak melakukan shalat dan tidak mau membayar zakat. Para Shahabat juga men-takfir kepada ayah mereka, dan Abu Bakar r.a. men-takfir kepada ribuan orang “Muslim” yang shalat, mengucapkan syahadat juga berpuasa Ramadhan. Namun kerena mereka menolak untuk membayar zakat, dia menyebut mereka kafir dan juga memerangi mereka.

Ibnu Taimiyah r.h. men-takfir kepada “Muslim” yang mengkuti konstitusi Al-Yaasiq – yang telah mengkombinasikan hukum Islam dan kebiasaan orang-orang mereka. Faktanya, ada ratusan contoh dari as-Salaf as-Saalih yang men-takfir atas individu tertentu bahkan juga memerangi mereka, Rasulullah saw. bersabda, “Bunuhlah orang-orang yang merubah dien-Nya.” Jika kita dibenarkan untuk membunuh orang-orang yang merubah dien, maka dengan demikian kita juga bisa men-takfir mereka.( diedit oleh Qusyairi_bjm )













1 komentar:

ANNAS mengatakan...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu