Minggu, 17 Agustus 2008

Artikel (5)

REVOLUSI ISLAM
DALAM PANDANGAN IMAM
S.M. KARTOSOEWIRJO
DAN PERANG YANG DIPAKSAKAN ATAS NII
( Bagian Kelima )
Oleh : Ust. DR. Rahmat Abdullah, MA.

Berdasarkan Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) APNII No. 1, struktur Negara Islam Indonesia mengalami reorganisasi yang membawa penyederhanaan sistem administrasi secara menyeluruh yang hanya terdiri dari 5 komandemen. Skema tersebut dapat dilihat pada uraian berikut:[1]

1. Dewan Imamah (Kabinet) di bawah Imam diubah menjadi: Komandemen Tertinggi (KT) di bawah pimpinan Panglima Tertinggi (Plm.) dan Pimpinan harian dilakukan oleh Kepala Staf Umum (KSU).

2. Divisi dan wilayah yang dipimpin oleh Komandan Divisi dan Gubernur diubah menjadi: Komandemen Wilayah (KW) di bawah pimpinan Panglima Komandemen Wilayah (Plm. KW). Pimpinan Harian dilakukan oleh Kepala Staf Komandemen Wilayah (KSW).

3. Resimen dan Keresidenan yang dipimpin oleh seorang Komandan Resimen dan seorang residen diubah menjadi: Komandemen Daerah (KD). Dalam daerah yang demikian pimpinan militer dan politik berada di tangan Komandan Komandemen Daerah (Kmd. KD). Pimpinan Harian dilakukan oleh Kepala Staf Komandemen Daerah (KSKD).

4. Batalyon dan Kabupaten yang dipimpin oleh seorang Komandan Batalyon dan seorang Bupati diubah menjadi: Komandemen Kabupaten (KK) di sini pimpinan militer dan politik dipegang oleh Komandan Komandemen Kabupaten (Kmd. KK). Pimpinan Harian dilakukan oleh seorang Kepala Staf Komandemen Kabupaten (KSKK).

5. PADI (Pahlawan Darul Islam) dan Kecamatan yang dipimpin oleh seorang Komandan PADI dan seorang Camat diubah menjadi: Komandemen Ketjamatan (K.Kt.). Di sini pimpinan militer dan politik dipegang oleh Komandan Komandemen Ketjamatan (Kmd. K.Kt.). Pimpinan harian dilakukan oleh seorang Kepala Staf Komandemen Ketjamatan (KSKKT).
Organisasi Negara Islam Indonesia selama dalam periode perang (1949 sampai ....)[2] menjalankan negara berdasarkan hukum perang. Untuk menjamin berlakunya hukum perang, seluruh Indonesia oleh Kartosuwirjo dibagi menjadi tujuh Daerah Perang (Sapta Palagan):[3]

1. Komando Perang Seluruh Indonesia (KPSI) merupakan daerah pertama yang meliputi seluruh Indonesia yang dipimpin langsung oleh Imam dan Panglima Besar Angkatan Perang Negara Islam Indonesia (APNII) yang berwenang mengeluarkan "komando umum". KPSI identik dengan Dewan Imamah yang dulu dan Komandemen Tertinggi.

2. Komando Perang Wilayah Besar (KPWB) merupakan daerah perang kedua yang terbagi menjadi 3 wilayah yang masing‑masing dipimpin oleh Panglima Perang KPWB.
a. KPWB I, terdiri atas Pulau Jawa dan Madura dan dipimpin oleh Agus Abdullah.
b. KPWB II terdiri atas seluruh Indonesia Timur (Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Irian Barat, dan Kalimantan) dipimpin oleh Kahar Muzakkar.
c. KPWB III terdiri atas seluruh Sumatra dan kepulauan sekitarnya di bawah pimpinan Daud Beureueh.

3. Komando Perang Wilayah (KPW) yang merupakan daerah perang ketiga di bawah KPWB. Tiap KPWB seluruh Indonesia memiliki beberapa KPW yang seluruhnya berjumlah 7 KPW. KPW ini dipimpin oleh seorang Panglima Perang KPW.
a. KPW I terdiri dari daerah keresidenan Jakarta, Purwakarta, Cirebon dan Priangan Timur.
b. KPW II terdiri dari Jawa Tengah di bawah pimpinan Amir Fatah.
c. KPW III terdiri dari Jawa Timur di bawah pimpinan Masduki.
d. KPW IV terdiri dari Sulawesi Selatan dan daerah sekitarnya yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar.
e. KPW V terdiri dari wilayah Pulau Sumatra dipimpin oleh Daud Beureueh.
f. KPW VI terdiri dari wilayah Kalimantan.
g. KPW VII terdiri dari Keresidenan Bogor, Kabupaten/Kodya Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang dan Keresidenan Banten dipimpin oleh Ateng Djaelani Setiawan.

4. KOMPAS (Komando Militer Pangkalan Setempat) merupakan daerah perang keempat yang meliputi satu keresidenan dan dipimpin oleh seorang Komanda Pertempuran Kompas.

5. Komando Perang Sub‑Kompas (KPS Kompas) merupakan daerah perang kelima yang hanya meliputi satu kabupaten/batalyon dan dipimpin oleh seorang Komandan Pertempuran Sub‑Kompas.

6. Komando Perang Kecamatan (KPK) yang meliputi satu kecamatan yang terdiri satu kompi atau lebih dan disebut "Sektor". Setiap Sektor dipimpin oleh seorang Komandan Pertempuran Sektor.

7. Komando Perang Sub‑sektor merupakan daerah perang ketujuh yang meliputi satu desa atau lebih yang sering disebut "Sub‑Sektor" yang dipimpin oleh seorang Komando Perang Sub‑sektor. Pembagian struktur Negara Islam Indonesia adalah berdasarkan konsep teritorial.

Pembagian struktur berdasarkan konsep strategis adalah pada penyusunan Anggota Madjelis Imamah yang terdiri dari (1) Komandan Divisi Tentara Islam Indonesia yang dipegang oleh Kamran, dan (2) Komando Resimen Sunan Rachmat yang dikomandani oleh Sjarif Hidajat dan Raden Oni.

Fase‑fase dalam perjuangan Negara Islam Indonesia merupakan sebuah proses metamorfosis yang sangat progresif. Hal ini tercermin dari proses restrukturisasi atau reorganisasi baik militer maupun sipil, baik teritorial maupun strategis yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan dan kemajuan waktu. Dari awalnya, meski konsep qanun azazi dan Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana sudah teratur sempurna, akan tetapi belum terpakai efektif. Saat itu, fasenya adalah fase perang, sehingga mulai tahun 1949 hukum hanya dijalankan dengan pertimbangan perang dan belum ada yang sah untuk dilakukan berdasarkan hukum positif.

Pembabakan masa perjuangan ini didasarkan pada petunjuk dari perkembangan wilayah yang dikuasai. Memang dalam Islam, kekuasaan tentara Jalut yang raksasa dapat ditumbangkan oleh barisan tentara Daud yang kecil[4] adalah karena kekuasaan tentara Jalut dihabisi dari pinggiran. Wilayah musuh, dalam konsep Islam juga dimasuki dan dikuasai dari pinggir‑pinggirnya: "Apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi (daerah?daerah orang kafir) lalu Kami kurangi daerah?daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi?tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak?Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan?Nya; dan Dialah yang Maha cepat hisab?Nya." (AL-Qur’an, Ar-Ra’d 41).

Karena periodisasi gerakan ini tergantung dari kemajuan luas wilayah yang bisa diperoleh, maka perkembangannya akan tergantung dari seberapa luas daerahnya. Berjalannya waktu haruslah diukur dengan "prestasi" perolehan wilayah dan, tentunya, perencanaan "waktu kemenangan akhir" adalah juga perencanaan tentang kapan akan dikuasainya Indonesia ini bagian demi bagian.

Keputusan penting yang dilahirkan pada tahun 1948, setelah mendirikan Madjelis Imamah, maka didirikan dan sekaligus dikuasai satu "Ibu Daerah Negara Islam" (Ibukota)[5] yaitu suatu daerah di mana "berlaku kekuasaan dan hukum‑hukum agama Islam", dan diberinama Daerah I dengan singkatan D‑I. Sedangkan daerah‑daerah di luar Daerah I dibagi‑bagi menjadi Daerah II (DII) yang hanya setengahnya dikuasai oleh umat Islam dan Daerah III (DIII), ialah daerah yang masih dikuasai oleh pihak bukan Islam. Kewajiban para pemimpin di daerah ini adalah mempertahankan daerah yang dikuasai serta meluaskan daerah itu dan berusaha menghubungkan Daerah I dengan Daerah II sehingga Daerah II menjadi Daerah I.[6] Begitu Juga kewajiban pemimpin di Daerah II untuk menghubungkan Daerah II dengan Daerah III sehingga Daerah III menjadi Daerah II.[7] Sedangkan kewajiban umat Islam di Daerah II adalah mengusahakan dengan segala cara untuk menarik simpati semua penduduk yang perlu diperbaharui komitmentnya terhadap Islam, sehingga mereka sadar akan kewajibannya untuk mendukung perjuangan NII.[8] Pembentukan tiga daerah (D‑I, D‑II, D‑III) sudah merupakan tiga periode, sementara proses peralihan dari D‑III ke D‑II, satu periode; proses peralihan D‑II ke D‑I atau satu periode,; sementara proses D‑I matang menjadi "DI" satu periode; semuanya enam periode. Belum diketahui secara rinci tahun‑tahun yang dilalui dari setiap periode.

Dengan demikian, sekalipun RI meninggalkan Jawa Barat, di Jawa Barat telah tersusun sebuah pemerintahan baru yang independen dan tegar menolak kedaulatan Belanda.

Daerah I (D.I)

Daerah D-I ini merupakan daerah yang hukum-hukum Islam telah berlaku pada kalangan umat Islam baik di bidang hukum, ekonomi, sosial , dan budaya. Di daerah ini pulalah kedudukan Imam beserta apartur Negara dalam menjalankan roda pemerintahan negara dan mempertahankan daerah yang telah dikuasai. serta mengusahakan untuk meluaskan daerah itu dan berusaha menghubungkan Daerah I dengan Daerah II sehingga Daerah II menjadi Daerah I.

Untuk menjalankan roda perekonomian pemerintahan Negara, dalam hal ini yang berwenang adalah Madjlis Keuangan yang telah dibentuk dari pusat sampai ke desa mewajibkan para penduduk menyerahkan 2,5 % dari pendapatannya sebagai pajak (infaq) kepada instansi sipil dan militer (TII) yang nantinya didistribusikan oleh Madjlis keuangan untuk kepentingan tiap-tiap Komandemen yang ada. Jika sistem ekonomi Islam seperti yang diterapkan oleh orang-orang DI, maka Cina di Indonesia akan berkembang secara alamiah dan tanpa ada tekanan-tekanan politik yang mengakibatkan krisis bagi mereka sendiri. Selama Indonesia merdeka--ketika rezim Sukarno dan Suharto berkuasa--kaum etnis Cina sering jadi korban penggayangan dan kerusuhan serta pembakaran dan pemerkosaan.[9] Tidak seperti di RI, hubungan sipil dan militer menempatkan kaum tentara sebagai penjajah yang bertindak semena-mena dan bertindak represif, suka menyiksa dan membunuh rakyatnya sendiri.[10]

Majlis Do’a

Menjadi bagian terpenting dalam perjuangan DI/TII adalah didirikannya di Daerah I Madjlis Doa bagi para ulama dan “orang-orang yang suci hidupnya”. Di Madjlis Doa itu siang-malam selalu mendoa sedikit-dikitnya 41 orang, di antaranya harus ada seorang pemimpin. Hal-hal yang harus dilakukan di markas doa ialah sholat Isti’anah (hajat), syukur, membaca ayat-ayat Al-Quran sebagai doa, terutama ayat-ayat yang bertalian dengan perang, dzikir dan sholat Tahajud. Di samping itu mereka juga dididik dalam bidang ideologi dan politik. Kepada mereka diberi penerangan tentang situasi perjuangan dan jalannya perang yang sedang berlangsung. Tugas ketua Madjlis Doa ialah badan yang bertugas mengumpulkan berita yang diperoleh melalui “ilham dan karomah Allah” yang disampaikan kepada pembesar yang tertinggi di tempat itu, baik kepada pemimpin sipil atau pemimpin militer, selanjutnya disampaikan ke pusat”.[11] Di samping itu manakala ada pemberangkatan pasukan TII ke medan perang, pemuka Madjlis Doa mengajak para penduduk untuk mengumandangkan shalawat badar untuk kepergian para pasukan supaya mereka “mati syahid” dalam setiap pertempuran.

Daerah II (D II)

Daerah D II merupakan daerah percampuran antara penduduk yang berwarga Negara Islam Indonesia dan penduduk yang berwarga negara Republik Indonesia, di mana lokasi teritorialnya adalah perbatasan kota dan desa. Di daerah ini tidak berlaku hukum Islam, namun manakala ada penduduk warga Negara Islam Indonesia yang melakukan kesalahan (berbuat dosa terhadap ajaran agama), mereka dibawa ke daerah D I untuk diputuskan permasalahannya. Di daerah (D. II) inilah sebagai tempat front perang antara pasukan TII dengan TNI. Kewajiban semua pemimpin di Daerah II adalah, mengusahakan dengan sungguh-sungguh dalam menggalang negara untuk menarik simpati semua penduduk setempat supaya mereka tergugah hatinya untuk bersama-sama berjuang membela kebenaran yang ditunjukkan oleh Negara Islam Indonesia, dan mengusahakan dengan sungguh-sungguh supaya D.II berubah menjadi D.I. Kewajiban infaq 2,5% dari penduduk diserahkan melalui petugas yang diangkat oleh Madjlis Keuangan kemudian diberikan kepada seorang kurir daerah D I untuk dibawa ke Pusat, sementara wajib dinasnya berlangsung selama seminggu.[12]

[1] Hold H. Dengel, Ibid., hlm. 118.
[2] Titik‑titik blanko kosong ini juga merupakan suatu penetapan obsesi umat Islam sebagaimana dikatakan oleh Cesar A. Majul, "orang‑orang Muslim, kendati pun begitu, tetap menunggu‑nunggu waktu bagi keadaan yang memungkinkan mereka memperoleh kembali kemerdekaannya." Atau seperti yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, "Ini merupakan jalan yang sudah ada patoknya."
[3]Hold. H. Dengel, Ibid., hlm. 135‑6.

[4]Lihat Al-Qur’an, Al-Baqarah 251.
[5] Merupakan daerah titik awal (i'lan) seperti Rasulullah Muhammad SAW menguasai Yatsrib untuk kemudian mengubahnya menjadi nama "Madinah".
[6]Holk H. Dengel, Ibid., hlm. 75.
[7]Loc.ckit.
[8]Ibid., hlm. 76.
[9] Tentang krisis Cina ini, lihat Charles Coppel, Indonesian Chinese in Crisis. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978.
[10] Tentang hubungan sipil-militer, sebagai pengantar bisa dilihat pada Harold Crouch, "Military-Civilian Relations in Indonesia in the Late Soeharto Era." Pages 61-66 in Viberto Selochan (ed.), The Military, the State, and Development in Asia and the Pacific. (Westview Studies in Regional ecurity.) Boulder, Colorado: Westview Press, 1991.
[11] Darul Islam, Dokumentasi Sedjarah Militer A.D. No. Induk 151, (1 Juli 1952), hlm. 26.
[12] Ibid., hlm. 26.

Tidak ada komentar: