Senin, 04 Agustus 2008

Berlepas Diri Dari Pembooman


Pada beberapa tahun yang lewat, kita pernah dikagetkan dengan pernyataan seorang anggota DPR RI, seorang ustadz yang dahulu dikenal tangguh berdiri dihadapan kedzaliman pemerintahnya sendiri, Abdul Qadir Jaelani yang menyatakan bahwa orang orang NII terlibat dalam aksi tersebut (pemboman). Saya tersenyum getir dengan pernyataan ini, tidakkah mereka mengerti syubuhat[1] apa yang sedang ia hembuskan, seperti apa opini pembaca setelah mendapat informasi seperti itu.

“Lihat Negara Islam Indonesia membom gereja, dalam keadaan berjuang saja sudah tidak menghargai hak asasi manusia untuk memilih kepercayaan pribadi yang dianutnya, bagaimana kalau kelak berjaya ? Apakah dalam negara Islam semua orang akan dipaksa menganut Islam ? Benarkah dalam negara Islam tidak ada nafas bagi pemeluk agama lain untuk hidup, sebuah negara yang tidak memberi pilihan, kecuali memandang rakyat sebagai robot yang dijalankan dan diprogram negara ? Inikah Negara Islam, amit .. amit !!!

Siapa yang bertanggung jawab, bila gara gara kecerobohan pernyataan itu, citra Negara Islam tercoreng. Disadari atau tidak, sang pembuat pernyataan telah menularkan penyakit anti negara Islam dikalangan pembaca media. Sadarkah AQJ bahwa menyebarkan rasa permusuhan terhadap Negara Islam di kalangan muslimin adalah sebuah dosa ? Atau ia menganggap bahwa ini sebagai sebuah prestasi, kebanggaan warga RI – bisa turut menghancurkan/membunuh musuh negaranya dua kali, bukan saja mendukung pemerintah RI yang telah mengeksekusi Imam NII tetapi juga ikut berperan serta membunuh sejarahnya dengan membilurkan cat hitam atas perjalanan jihad NII ? Semoga Firman Allah yang berkenaan dengan Haditsul Ifk, bisa kita ambil hikmahnya : “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggap (menyuebar berita tidak jelas ini) sebagai satu hal yang ringan saja. Padahal dia disisi Allah adalah besar. Dan mengapa tidak kamu berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu : “Sekali kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan hal ini. Subhanaka, ini adalah dusta yang besar!” “Allah memperingatkan kamu, agar (jangan) kembali berbuat yang seperti itu selama lamanya jika kamu orang yang beriman, dan Allah menerangkan ayat ayatNya kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. ” “Sesungguhnya orang orang yang ingin agar (berita perbuatan yang amat keji itu) tersiar di kalangan orang orang yang beriman, bagi mereka ‘adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah adalah Maha Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui ” (S.24 :15 – 19)

Mungkin AQJ akan berkilah; “Tidak demikian, NII yang saya maksud adalah si anu dan si anu yang begini dan begini” Kita akan katakan ; “Apakah anda yakin si pelaku itu warga NII ?” Bagaimana kalau bukan ? Apakah karena kegilaan teroristis seseorang itu, anda merasa berhak untuk menimpakan segala kesalahan itu pada sebuah Negara Islam ? Alangkah beraninya ? Atau apakah karena AQJ melihat para gerilyawan NII adalah kaum lemah dan tertindas, rakyat jelata yang tidak memiliki apa apa selain cita dan doa, tokh .. dituduh ini dan itu pun mereka tidak bisa berbuat apa apa … selain meratap dan mengadukan semua tuduhan ini kepada Robb nya …?? Hmm demikianlah phenomena rakyat dari negara yang tengah berkuasa …..

Seperti yang dinyatakan AQJ dalam Koran Republika tanggal 31 Januari 2001 : Orang NII itu miskin, tidak ada gaji dan tidak punya rumah dan mereka dibai’at. Kalau mereka tak melakukan perintah pimpinannya, bisa dibunuh…. (komentar saya : Yah memang tidak seperti Bung Abdul Qadir Jaelani, yang sudah kaya, bergaji tinggi sebagai anggota DPR dan punya rumah dinas …. Kalau soal dibai’at …bukankah AQJ juga dibai’at sebelum menjadi anggota DPR, salah satunya adalah konsisten mempertahankan Pancasila dan UUD 45 …. Kalau perbandingannya kekayaan material seperti itu, kita memang tidak ada apa apanya bung !). Tentu saja yang dimaksud AQJ orang NII miskin ini bukan KW 9, dan KW 9 memang bukan NII, dimana pimpinannya, Abu Toto, juga sama sama duduk di parlemen RI. Tapi yang AQJ maksud adalah kita, ummat mujahidin yang senjatanya hanyalah do’a, yang kekayaannya adalah wacana dan bekalnya adalah keyakinan.

OK. Bila dilihat dari status kewarganegaraan, memang wajar saja bila warga RI menjumput secuil fakta dan menafsirkan demikian. Kita mengerti setiap warga mencintai negaranya dan cenderung membenci musuh negaranya. Pada kenyataannya setiap orang Indonesia (baca : warga RI) terikat pada kebijaksanaan dari pemerintahnya. Sehingga pengertian mereka tentang NII pun adalah produk dari bagaimana pemerintah melihatnya. Kecuali jika mereka mendengarkan kata nuraninya sendiri dan menyatakan hubungan batin mereka pada prinsip-prinsip keadilan.

Tetapi bila dilihat dari kacamata kemuslimannya (tokh, saya dan AQJ tidak berbeda agama, hanya berbeda prinsip khittah perjuangan), mengapa tidak bersikap wara dalam hal ini ? Saya demikian terkesan dengan sikap DR. Bey Arifin dalam bukunya “Dialog Islam – Kristen” ketika mensikapi kebohongan Yusuf Roni yang menyatakan bahwa ketika memeluk agama Islam, dia (Yusuf Roni) bukan sekedar Islam biasa, tapi Islam paling fanatik, dia adalah anggota Darul Islam. Dengan lembut DR Bey Arifin mengomentari : “Kalau benar ia anggota DI, saya akan tanyakan berapa nomor stambuk dia, karena anggota Darul Islam memiliki organisasi yang tertib, bukanlah gerombolan liar yang melakukan pengrusakan pengrusakan itu. Boleh jadi Yusuf Roni adalah gerombolan pengacau yang merusak nama DI” (lebih akurat lihat buku yang dimaksud –pen)

Lihat, betapa seorang Imam Militer saja bisa demikian hati hati, sebagai seorang ‘alim yang tahu benar aturan perang, ia bisa membedakan mana combattant yang berperang secara jantan, dan mana perusak yang tak punya ideologi. Beliau berusaha bersikap adil, walaupun terhadap tentara musuh (TII). Apakah kebencian begitu besar dalam hati AQJ terhadap Negara Islam, sehingga demikian berani membuat lonjakan kesimpulan dari secuil data yang dimilikinya (Lihat S.4:135, S.5:8).

Trenyuh oleh opini yang berkembang, atau dikembangkan secara mengenaskan oleh orang yang tahun 1984 demikian mengagumkan saya, bahkan lewat ceramah ceramah AQJ ini saya sadar akan kewajiban saya untuk menegakkan kalimatillah, sekalipun harus berhadapan dengan Asas Pancasila. Terus terang pada waktu itu semangat yang muncul pada diri saya adalah semangat pemberontakan, kebencian pada pemerintah RI, dan menuntut RI agar memberikan konsesi lebih terhadap kebebasan muslim melaksanakan Islam secara kaffah.

Yah karena waktu itu saya dilecut semangat seorang pemberontak (AQJ), orientasi pemberontakan adalah ‘penggulingan kekuasaan’ pemerintah untuk kemudian berkuasa, dan bila itu tercapai, atau katakanlah kalaupun tidak seluruhnya, tapi ikut kebagian kekuasaan, maka segera setelah itu (ia dan pemerintah yang pernah dilawannya) tidak lagi berdiri di pihak yang bersebrangan, tapi akan bahu membahu bersama pemerintah mempertahankan negaranya.

Alhamdulillah saya tidak ‘keterusan’ jadi pemberontak, mata saya terbuka, bahwa persoalan Pancasila adalah persoalan RI, berkhayal melaksanakan Islam kaffah di Republik Indonesia adalah impian manis yang memboroskan energi. Tidak seperti AQJ yang terus menghimpun kesolehan dan militansi muslimin untuk tetap berdiri di belakang RI, saya mengabdikan sisa hidup saya untuk ikut menerima dan membangun Negara Karunia Allah semaksimal yang saya bisa. Dari sisi inilah saya bisa mengerti mengapa orang sekelas AQJ mengambil sikap bersebrangan dengan NII, bukan karena ia tidak mengerti kewajiban menggalang Negara Islam, tokh tangannya telah kenyang menuliskan buku buku Politik Islam, tapi permasalahan pokoknya karena ia warga RI, bahkan anggota parlemen RI. Pandangan politik kita bisa sama, namun karena pijakan politiknya beda, saya memaklumi kalau sikap politiknya atas sesuatu bisa berbeda dengan saya.

Pada kesempatan ini, ingin saya katakan padanya, bahwa NII berlepas diri dari apa yang AQJ tuduhkan. Sebagai rakyat Negara Islam Berjuang, saya tidak pernah mendapati kebijakan Pemerintah seperti itu. Hanya kebenaranlah yang kami miliki, dan kebenaran itu pula yang kami perjuangkan. Dan apa yang dikatakan AQJ akan menjadi opini, entah sejauh mana anggapan itu akan berkembang, tawakkalna ‘alallah, hasbunallah wa ni’mal wakil.

Bagi pemerintah Negara Islam Indonesia, prioritas pertama hari ini adalah menyelamatkan mujahid (Warga Negara Berjuang). Pemerintah tidak akan terpancing untuk melakukan gerakan lokal dan insidental. Pemerintah menyadari persis kemampuan diri dan rakyat yang bersamanya. Betapapun kuatnya semangat perlawanan, pemerintah Islam tidak akan berlaku bodoh dengan memobilisasi rakyat berjuang memasuki kancah pertempuran tanpa persiapan yang memadai, sebab jika demikian, berarti pemerintah telah merelakan putra putra terbaiknya memasuki ladang pembantaian !!

Dan yang namanya berperang adalah melawan tentara lawan ! Perang adalah adu kekuatan dua negara dengan aturan perang yang disepakati bersama, bukan gerakan pengecut, yang menutupi ketakutannya dengan keganasan menyengsarakan rakyat negara lawan atas nama Islam. Dan AQJ menimpakan semua ‘aib ini pada wajah Negara Islam Indonesia, thanks it very nice, we will never forget this L

Peperangan (war) tidaklah sama dengan pertempuran (battle). Perang melingkupi banyak aspek, perang wacana, perang pendidikan, perang diplomasi, perang ekonomi dsb. Adapun pertempuran hanyalah bagian dari skenario perang besar tadi. Bahkan untuk memenangkan peperangan, boleh jadi tidak diperlukan satu pertempuran pun. Seperti terjadi pada masa Rasulullah, peperangan antara haq dan bathil di daerah Yatsrib, dimenangkan front Islam tanpa mengayunkan pedang. Yatsrib terbuka bagi kekuasaan politik Islam, lewat dakwah. Penerangan yang jernih menembus hati, inilah moment Futuh Madinah, dimana tanzhim Islam diterima dengan sukarela (thow’an). Berdirinya Republik Islam Pakistan hampir seperti itu, tanpa pertempuran (walaupun bukan tanpa korban) rakyat sadar, bangun dan bergerak mendukung berdirinya pemerintahan sendiri bagi muslimin, terpisah dari India.

Bahwa terdapat kemungkinan pengerahan kekuatan militer dalam memperjuangkan tegak berdirinya sebuah negara, biasa terjadi, dimana ketika upaya diplomatik kandas, maka pencapaian tujuan bisa mengambil jalan pertempuran. Seperti terjadi pada Futuh Makkah, dimana Rosulullah saw mengerahkan kekuatan militernya mengepung kota Makkah, namun itupun bukan untuk ‘pesta darah’. Dengan cantik Abbas memainkan psycological war, sehingga pasukan Islam mencapai kemenangan yang sesungguhnya. Seperti yang dikatakan ahli strategi perang : “Bahwa kemenangan yang sebenarnya, bukanlah menghancurkan kekuatan material musuh, tetapi melumpuhkan moral musuh untuk terus melawan. Sebab sekalipun secara logistik bahkan personil, musuh berhasil disikat habis, bila spirit perlawanan masih ada pada mereka, maka peperangan belum berakhir.”

Psy-war Abbas berhasil melumpuhkan semangat panglima perang Makkah untuk memobilisasi perlawanan, tanpa pertempuran berarti, dengan meminimalisasi korban, akhirnya Makkah bisa dikuasai. Futuh Makkah adalah fenomena dimana tanzhim Islam diterima secara ‘terpaksa’ (karhan) karena tidak lagi memiliki kekuatan moral untuk melawan.

Pemerintah NII bukanlah pemerintah yang ‘tega’ mengorbankan rakyatnya dihadapan mesin perang RI. Masih banyak hal yang harus dipersiapkan untuk melangsungkan pemerintahan normal di masa datang. Putra putri bangsa Islam ini, terus mekar melatih diri menjadi ahli, mereka terus mengembangkan ilmu di luar negeri, alih teknologi, agar Negara Islam di masa datang mampu mengemban misi universalnya, sebagai rahmat bagi semesta alam. Sedang ayah ibu mereka, ditengah licinnya medan gerilya, terus bergerak membanting tulang, bekerja, mencari nafkah yang halal untuk melanjutkan pembangunan bangsa, dan menyambung kasih dengan sesama ummat beriman guna memikul tanggung jawab bersama,menggalang Negara Kurnia Allah, Negara Islam Indonesia. Di malam hari, disela sela keletihan mereka, hati mereka larut dalam munajat, memohon kemurahan hati sang maha pembuka hati, untuk mengurai masalah antara kami dan kaum kami, yang berdiri dalam satu wilayah tapi terpisah dalam dua negara. Allahummaf tah bainana wa bayna qoumina, innaka khoyrul fatihin …

Harapan Rakyat Islam berjuang belumlah padam, semoga suatu saat kawan kawan kami yang kini berwali pada Republik Indonesia, menyadari bahwa negara yang didirikan di atas dasar taqwa sejak pertama, dengan menjadikan Islam sebagai dasar serta Quran dan hadits shahih sebagai hukum tertinggi, lebih pantas untuk dibangun dan kita berada di dalamnya.

Kami tidak pernah beri’tikad untuk menumpahkan darah kawan satu kawasan di wilayah Republik Indonesia. Peperangan antara RI dan NII adalah peperangan yang dipaksakan kepada kami, dimana kami tidak punya pilihan lain, selain mempertahankan Negara Kurnia Allah ini. Harus kami ungkap sejarah ini pada anda sekalian, bahwa NII didirikan bukan di wilayah RI, pada saat itu wilayah RI, sebagaimana diakui pemerintah anda dalam perjanjian Renville, tinggalah Yogyakarta. NII diproklamasikan di wilayah Jawa Barat yang ketika itu, Belanda mencoba mencengkramkan pengaruhnya lewat Negara Pasundan. Sayangnya setelah NII berdiri, Republik Indonesia malah berserikat dengan Negara Pasundan dan negara boneka buatan Belanda lainnya, bukan saja mengabaikan NII bahkan menyerang Negara berasaskan Islam ini, subhanallah …

Mengapa RI merangkul boneka Belanda, dan menjauh dari kami yang terus melawan Belanda semenjak saudara meninggalkan kami ke Yogya ? Mengapa kami tidak diperlakukan sebagai sebuah negara yang berhak anda ajak bicara. Kedekatan anda dengan Belanda, bantuan negara negara barat yang (kemudian hari) dikoordinasi Belanda lewat IGGI, membuat anda makin jauh dari kami, bahkan terus menghadapkan moncong senapan pada dada dada kami.

Apa yang terjadi di Antralina, tanggal 25 Januari, sebagai perang segitiga pertama antara Majlis Islam beserta Tentara Islam Indonesia di satu pihak, dengan Pemerintah RI dan Pemerintah pendudukan Belanda di pihak lainnya, adalah sejarah yang patut disesali. Mengapa anda memerangi orang orang yang tidak punya keinginan lain selain berlakunya Hukum Allah di muka bumi ? Tidak adakah orang berakal di antara kalian, yang bisa berteriak dan mengatakan : “Hentikan peperangan bodoh ini, mari kita pasrahkan diri kita pada Allah dan bertahkim pada kitabNya”. Sebab kalau kalian terus memaksakan peperangan ini pada kami, tidak ada sedikitpun kerugian pada kami, tapi pada anda ?? If we got, we got all. If we loose, we loose nothing.

Katakanlah:"Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan (kemenangan atau mati syahid). Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya, atau (azab) dengan tangan kami. Sebab itu tunggulah sesungguhnya kami menunggu-nunggu bersamamu". (QS. 9:52)

Anda kira kami akan senang menghadapi perang yang dipaksakan ini, dimana kami terpaksa suatu saat harus berhadapan senjata dengan anda, yang ketika nyawa anda melayang tertembus peluru kami, anda mati dalam mempertahankan Negara tidak berlandas Islam, bahkan anda mati dalam keadaan bernafsu untuk meruntuhkan Negara Islam.

Anda kira kami menikmati pemandangan itu ? Tidak !! Andai bisa bersama dalam kebenaran, bersatu dalam Darul Islam di dunia menuju Darus Salam di akhirat, mengapa kita harus beradu otot di muka bumi ciptaanNya ini. Tidakkah kalian malu padaNya ? Kami yakin masih banyak warga, bahkan aparat RI yang memiliki rasa syukur pada Ilahi dan cinta pada Al Islam.

Memang anda perlu waktu untuk memikirkan ini, sebenarnya tidaklah berat untuk menerima hujjah yang kami katakan, yang berat adalah karena anda harus meninggalkan pandangan yang selama ini telah berurat berakar dalam jiwa anda. Renungkanlah ini, Kami masih menunggu.

Dengan berbekal harapan inilah, penerangan demi penerangan terus disampaikan, dan sepanjang pengalaman. Sebagaimana Islam adalah kebutuhan fitrah insani, demikian juga Negara Islam, ia adalah kebutuhan nurani muslimin. Sepanjang disampaikan dengan cara yang fitrah pula, muslimin yang menerima dakwah, dengan senang hati menerima dan tulus bergabung membangun negara ini.

Kepada AQJ, saya merasa tidak perlu berbicara banyak, Bung jauh lebih mengerti masalah politik Islam. Seperti pemain bola, anda sangat mahir membawa bola, hanya sayang masih belum bisa membedakan mana gawang sendiri dan mana gawang lawan. Asal mendapat tepukan penonton, anda bawa bola ke gawang terdekat dan menembaknya. Memang “goal” tapi siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan ? Mungkin setelah menendang bola, anda berjingkrak jingkrak kegirangan, tapi tahukan anda siapa yang menangisi kegirangan anda ? Demikian, salam sejahtera bagi siapapun yang menerima kebenaranNya.(Wallahu A’lam bish-Showab).
Bumi Allah Banjarmasin, Muharram 1429 H
Abu Fathi As-Sulamy al-Banjary.
[1] Kesamaran, pernyataan yang mengundang opini multi tafsir.

Tidak ada komentar: