Rabu, 20 Agustus 2008

Fiqih Jihad


JIHAD MELAWAN PEMERINTAH YANG MURTAD
( PEMERINTAHAN RI )

Jika pemerintah melakukan kekafiran (menolak memberlakukan syari’at Allah) dan ia mempertahankan diri dengan kekuatan, maka wajib memeranginya, dan peperangan ini adalah fardlu ‘ain yang lebih diutamakan dari pada yang lainnya.

A. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada para penguasa yang menjalankan pemerintahannya dengan selain syari’at Islam di berbagai negeri kaum muslimin. Mereka itu kafir berdasarkan firman Alloh: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir." (QS. 5:44). Dan juga firman Alloh: “Kemudian orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka." (QS. 6:1)
Dan berdasarkan ayat-ayat yang lain. Sedangkan kebanyakan mereka mangaku Islam, maka dengan demikian mereka murtad lantaran kekafiran mereka. Dan pada hakekatnya para penguasa itu, selain mereka menjalankan hukum selain hukum yang diturunkan Alloh, mereka juga membuat syari’at bagi manusia sesuai dengan kemauan mereka. Dengan demikian mereka mengangkat diri mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) bagi manusia selain Alloh. Sebagaimana firman Alloh: “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah,." (QS. 9:31) . Dengan demikian maka kekafiran mereka bertumpuk-tumpuk, selain mereka juga menghalang-halangi manusia dari jalan Alloh. Dan permasalahan ini telah dijabarkan dalam risalah yang lain yang berjudul “Risalah Da’watut Tauhid”. Di buku ini dijawab sanggahan-sanggahan yang terdapat pada seputar ayat dalam surat Al-Maidah, yang berbunyi: “Dan barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan oleh Alloh, maka mereka itu orang-orang kafir.” Bahwasanya ayat ini merupakan nash secara umum dipandang dari berbagai segi. Dan sesungguhnya kafir yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kufur akbar. Dan apabila perkataan para sahabat jika saling berselisih dalam menafsirkan sebuah ayat, maka kita pilih yang dikuatkan oleh dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai mana hal itu ditetapkan dalam ushul fikih. Bahwa apa yang terjadi di kebanyakan negeri kaum muslimin sekarang ini sama dengan kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut, yaitu menghapus hukum syari’at serta membuat hukum baru yang dijadikan syari’at baru yang harus diikuti oleh manusia. Sebagai mana orang yahudi menghapus hukum taurot yang berupa merajam orang yang berzina, lalu mereka membuat hukum sebagai pengganti. Dan saya sebutkan dalam risalah tersebut bahwa kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat itu secara qoth’i masuk ke dalam pengertian ayat, sebagaimana yang ditetapkan dalam ushul fikih. Dan inilah yang disinggung oleh Isma’l Al-Qodli sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar: Isma’il Al-Qodli mengatakan dalam kitab Ahkamul Qur’an, setelah ia menceritakan perselisihan pendapat tentang dzohinya ayat, ia menunjukkan bahwa barangsiapa melakukan sebagaimana yang mereka lakukan, dan membuat sebuah hukum yang menyelisihi hukum Alloh, lalu hukum yang ia buat itu dia jadikan ajaran yang diamalkan, maka dia juga mendapatkan ancaman yang tersebut dalam ayat tersebut sebagaimana yang mereka dapatkan. Baik orang itu hakim atau yang lainnya.・(Fathul Bari XIII/120) . Maka semua orang yang ikut serta dalam membuat undang-undang positif itu atau memutuskan perkara dengan menggunakan hukum tersebut, maka ia kafir, kufur akbar, ia keluar dari agama Islam, meskipun dia melakukan rukun Islam yang lima dan amalan yang lainnya. Dan inilah yang ditetapkan oleh kebanyakan ulama・mu’ashirin (masa sekarang), sebagaimana yang dinukil dalam kitab ini (Al-Jami・ pada bab III dari Ahmad Syakir, Muhammad Hamid Al-Faqi dan Muhammad bin Ibrohim Alusy Syaikh.

B. Penguasa murtad ini jika tidak mempunyai kekuatan, maka wajib untuk dipecat dengan segera, lalu dihadapkan ke qodli (hakim syar’y). Jika dia tidak mau bertaubat, maka dia dibunuh. Dan jika dia bertaubat ia tidak memegang kekuasaannya kembali, sebagaimana sunnah Abu Bakar dan Umar ra. Sedangkan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda: “Hendaknya kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para kholifah risyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham.” Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi, dan beliau menshohihkan hadits ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: ‘Umar, bahkan begitu juga Abu Bakar tidak pernah mengangkat pegawai yang mengurusi urusan kaum muslimin, seorang munafik, atau dari kerabat beliau berdua, dan beliau berdua tidak terpengaruh oleh celaan orang. Bahkan ketika keduanya memerang orang-orang murtad dan mengembalikan mereka ke dalam Islam, mereka dilarang untuk mengendarai kuda dan membawa senjata, sampai nampak ketulusan taubat mereka. Dan Umar pernah mengatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqosh yang menjabat sebagai gubernur Irak; Jangan kau angkat seorangpun dari sebagai pegawai , dan jangan kau mintai pendapat dalam urusan perang. Sesungguhnya mereka itu adalah para pemuka seperti Thulaihah Al-Asadi, Al-Aqro・bin Habis, Uyainah bin Hish-n dan Al-Asy’ats bin Qois Al-Kindi. Orang-orang semacam mereka ini ketika dikhawatirkan oleh Abu Bakar dan Umar ada sifat kemunafikan pada mereka, maka mereka tidak diberi jabatan untuk memegang urusan kaum muslimin.・(Majmu・Fatawa XXXV/65).

C. Jika penguasa yang murtad itu mempertahankan diri dengan sebuah kelompok yang berperang membelanya, maka mereka wajib diperangi. Dan setiap orang yang berperang membelanya ia kafir sebagaimana penguasa itu. Berdasarkan firman Alloh; “Dan barangsiapa yang berwala kepada mereka, maka dia termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah: 51)
Sedangkan kata barangsiapa・dalam ayat ini adalah bentuk kata yang bersifat umum mencakup siapa saja yang berwala・kepada orang kafir dan menolongnya baik dengan perkataan atau perbuatan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan yang lainnya mengatakan tentang hal-hal yang membatalkan Islam, (diantaranya adalah): menolong dan membantu orang-orang musyrik dalam menghadapi kaum muslimin, dan dalilnya adalah: Dan barangsiapa yang berwala・kepada mereka, maka dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim.・(Al-Maidah: 51) (Majmu’atut Tauhid tulisan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 38) . Maka orang-orang murtad itu diperangi meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menampakkan beberapa syi’ar Islam, karena mereka melakukan perbuatan yang membatalkan pokok agama Islam. Alloh berfirman: “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut.” (QS. 4:76) . Maka setiap orang yang menolong orang kafir, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan dalam rangka membela kekafirannya, maka ia kafir juga. Dan ini merupakan hukum secara dzohir di dunia bagi orang yang mempertahankan diri dari kekuatan orang-orang beriman dan berjihad (mukminin mujahidin). Dan bisa jadi ia dalam hatinya masih muslim, karena mungkin masih terdapat penghalang kekafiran padanya, atau terdapat syubhat atau yang lainnya. Namun hal ini tidak menghalangi untuk menvonis kafir karena pada orang tersebut terdapat penyebab yang menuntut untuk dikafirkan. Dan inilah sunnah yang berlaku dalam menvonis orang-orang yang mumtani・(mempertahankan diri). Permasalahan ini telah saya jabarkan dalam risalah yang lain. Dan ilmu tentang ini harus disebar luaskan dikalangan manusia, supaya orang yang celaka ia celakan dengan jelas dan orang yang selamat ia selamat dengan jelas. Adapun dalil yang menjadi landasan untuk memberontak kepada pemerintah jika ia kafir adalah hadits Ubadah Ibnush Shomit Radliyallahu ‘anhu,: “Rosululloh memanggil kami, lalu kami berbai’at kepadanya untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan senang atau tidak senang, baik dalam keadaan susah atau mudah, dan baik pemimpin itu lebih mengutamakan dirinya. Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.・Beliau bersabda: Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan dari Alloh.” (Hadits ini Muttafaq ‘alaih sedangkan lafadznya menggunakan lafadz Muslim). An-Nawawi berkata: berkata Al-Qodli ‘Iyadl; para ulama berijma’ bahwasanya kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan jika seorang pemimpin itu kafir, ia dipecat - sampai perkataannya - jika pemimpin itu kafir, atau mengganti syari’at atau dia berbuat bid’ah, maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pula kewajiban taat kepadanya. Dan kaum muslimin wajib untuk mencopot kekuasaannya lalu menggantinya dengan imam yang ‘adil jika hal itu memungkinkan. Dan jika hal itu hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang, maka wajib kelompok itu untuk menggulingkan penguasa yang kafir. Sedangkan pemimpin yang melakukan bid’ah tidak wajib digulingkan kecuali jika mereka memperkirakan mampu untuk menggulingkannya. Namun jika mereka benar-benar tidak mampu, maka mereka tidak wajib melaksanakannya, dan orang Islam harus berhijroh dari negerinya itu ke negeri lainnya untuk menyelamatkan agamanya.・(Shohih Muslim Bisyarhin Nawawi XII/229). Ijma’ yang disebutkan oleh Al-Qodli ‘Iyadl ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dari Ibnu Bathol (Fathul Bari XIII/7), dan dari Ibnut Tin dan Ad-Dawudi (Fathul Bari XIII/8) dan dari Ibnut Tin (Fathul Bari XIII/116) dan Ibnu Hajar sendiri menyatakannya (Fathul Bari XIII/123). Jika kaum muslimin tidak mampu melaksanakannya, maka wajib untuk melakukan persiapan (I’dad). Ibnu Taimiyah berkata: sebagaimana mengadakan persiapan untuk berjihad dengan mempersiapkan kekuatan dan kuda yang ditambatkan itu wajib ketika jihad tidak mampu dilaksanakan karena lemah. Karena sesungguhnya kewajiban yang tidak bisa sempurna kecuali dengan sebuah sarana, maka sarana itupun hukumnya juga wajib.・(Majmu・Fatawa XXVIII/259). Dan Alloh berfirman: “Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah). Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi “ (QS. 8:59-60). Dan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., bersabda: “Ingatlah bahwa kekuatan itu adalah melempar.” Beliau mengatakan tiga kali. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Uqbah bin Amir. Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwasanya kewajiban kaum muslimin terhadap para thogut itu telah ditetapkan berlandaskan nas syar’i, sehingga tidak boleh seorang muslimpun keluar dari ketetapan itu. Nash itu adalah: “Dan agar kami tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya.” Beliau bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan dari Alloh.”

Dan telah terjadi ijma’ atas wajibnya memberontak mereka, sebagaimana yang saya sebutkan di atas. Dengan demikian maka tidak diperbolehkan untuk berijtihad dalam masalah cara untuk menghadapi para thoghut itu, karena ada nas dan ijma’ dalam masalah itu. Dan sesungguhnya orang yang berijtihad dalam permasalahan ini yang mana masalah ini telah ada nas dan ijma’ maka orang tersebut telah benar-benar sesat. Sebagaimana orang yang berusaha untuk merealisasikan syari’at Islam melalui kesyirikan parlemen dan cara yang semacam itu. Jika ada orang yang mengatakan bahwa ketidak mampuan menghalangi kita untuk memberontak, maka kami katakan kepadanya, sesungguhnya kewajiban kita ketika tidak mampu adalah melakukan persiapan, bukan mengikuti mereka dalam kesyirikan parlemen mereka. Dan jika benar-benar tidak mampu maka wajib untuk hijroh. Dan jika tidak mampu untuk hijroh maka tinggallah dia sebagaimana orang yang lemah yang tunduk berdo’a kepada Alloh,: “Orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a:"Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau". (QS. 4:75) . Dan seorang muslim tidak akan ikut dalam parlemen perundang-undangan mereka. Karena ikut serta didalamnya berarti rela dengan sistem demokrasi yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat. Artinya pendapat mayoritas rakyat itulah yang menjadi syari’at yang harus diikuti oleh umat. Ini adalah kekafiran yang disebutkan dalam firman Alloh: “Dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Robb selain Allah. “ (QS. 3:64). Anggota-anggota parlemen ini adalah Robb-robb (tuhan-tuhan) yang disebutkan dalam ayat ini, dan ini adalah kekafiran. Dan barang siapa yang tidak mengetahui hal ini wajib untuk diberi tahu. Alloh berfirman: Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.・(QS. 4:140). Jadi, barang siapa yang duduk bersama mereka dan menyaksikan kekufuran mereka, maka ia kafir seperti mereka.

Jihad melawan pemerintah murtad dan para pembelanya tersebut hukumnya adalah fardlu ‘ain, wajib setiap muslim untuk melaksanakannya kecuali orang yang mempunyai udzur syar’i. Thoghut itu mengusir orang-orang yang komitmen dengan agama mereka dari kalangan orang-orang umum, dengan propaganda dan mengatakan mereka sebagai orang yang bodoh terhadap agama mereka, maka orang-orang komitmen dengan agama mereka haruslah juga mengasingkan para thoghut itu dari kalangan orang umum, dengan cara menyebarluaskan ilmu syar’i dan kewajiban untuk berjihad melawan mereka. Sebagaimana para thoghut itu memboikot harta dan mempersempit sumber penghidupan mereka, sebagaimana firman Alloh: “(Juga) bagi orang-orang faqir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka,” (QS. 59:8) . Maka wajib juga terhadap orang-orang yang komitmen terhadap agama mereka untuk mengusir para thoghut itu dari harta yang digunakan untuk memperkuat tentara mereka yang mereka gunakan untuk memerangi Alloh dan RosulNya. Oleh karena itu Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., mendo’akan bencana atas orang-orang Quraisy yang berada di Al-Muja’ah. Dalam hal ini Abdulloh bin Mas’ud Dan telah saya jelaskan sebelumnya bahwa jihad itu fardlu ‘ain dalam tiga keadaan. Di antaranya adalah jika musuh menduduki negeri kaum muslimin. Dan begitulah keadaan orang-orang murtad yang berkuasa atas kaum muslimin. Mereka adalah musuh yang kafir yang menduduki negeri kaum muslimin. Dengan demikian maka memerangi mereka hukumnya adalah fardlu ‘ain. Oleh karena itu Al-Qodli ‘Iyadl mengatakan: wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakannya.・Sedangkan perkataan Ibnu Hajar lebih jelas dalam menjelaskan keumuman kewajiban itu, ia berkata: ringkasnya bahwa penguasa itu dipecat jika melakukan kekafiran menurut ijma・ maka wajib kepada setiap muslim untuk melaksanakan hal itu.・(Fathul Bari XIII/123) . Dan inilah pengertian hadits Ubadah bin Shomit ra. Saya katakan; Kewajiban setiap muslim untuk berjihad melawan para thoghut itu merupakan ilmu yang harus disebar luaskan di kalangan kaum muslimin secara umum. Supaya setiap orang Islam mengetahui bahwa mereka secara pribadi diperintahkan Robbnya untuk memerangi pemerintah tersebut.

Sesungguhnya para thoghut itu telah membuat pemisah yang mematikan antara orang Islam yang awam dan antara orang-orang Islam yang multazimin (berpegang teguh dengan agamanya), supaya para thoghut itu dapat menekan orang-orang multazimin (yang berpegang teguh dengan agamanya) ditengah-tengah kebodohan dan sikap diam orang awam. Pada saat semua orang awam tersebut mendapatkan perintah yang sama, selama dia sebagai orang Islam meskipun dia orang fasik dan melakukan dosa-dosa besar. Karena kefasikan itu tidak dapat menggugurkan kewajiban syar’y jihad (lihat lampiran ke 4). Maka orang-orang yang berpegang teguh dengan agamanya harus menghancurkan pembatas yang mengasingkan mereka dari orang awam, dengan cara mengajarkan jihad ini kepada mereka secara dakwah individu dan dakwah umum. Supaya jihad itu menjadi permasalah seluruh kaum muslimin dan bukan hanya menjadi permasalahan jama’ah-jama’ah tertentu yang bisa dimusnahkan dalam waktu sehari semalam. Dan agar jihad ini berubah menjadi permasalahan orang awam, yang sebelumnya hanya menjadi permasalahan orang tertentu. Dengan demikian bencana itu akan berbalik kepada para thoghut dan para pembelanya, sehingga mereka akan terpisahkan setelah tersingkap kekafiran dan kejahatannya. Alloh berfirman: “Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu.” (QS. 2:191). Dan Alloh mengatakan kepada NabiNya: “Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari Irbadl bin Himar. Sebagaimana para mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang Quraisy ketika mereka mengalahkan nabi, beliau berdo’a; Ya Alloh bantulah aku menghadapi mereka dengan menimpakan paceklik sebagaimana yang Engkau timpakan pada masa Yusuf. Maka orang quraisy pun tertimpa paceklik sampai-sampai mereka maka tulang dan bangkai pada masa itu.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhori no. 4822. Dan haram bagi orang Islam untuk membayarkan harta mereka kepada para thoghut itu dalam bentuk apapun seperti pajak dan lain-lain, kecuali darurat atau mukroh (dipaksa). Alloh berfirman: “Dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2). Dan Alloh berfirman: “Dan janganlah kau berikan harta kalian kepada sufaha・(orang-orang bodoh).” (An-Nisa・ 5) . Dan harus diketahui, bahwa pemerintahan thoghut dan undang-undangnya itu tidak syah secara syar’i. Sungguh Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam., telah bersabda: “Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang bukan ajaran kami maka amalan itu tertolak.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim).

Dan wajib pula bagi kaum muslimin untuk menguasai harta orang-orang kafir dengan paksaan (sebagai ghonimah) atau dengan tipu daya dan yang lainnya (sebagai fai’. Dan Rosululloh telah keluar untuk menguasai harta orang-orang Quraisy untuk dipergunakan kaum muslimin, maka terjadilah perang Badar. Kesimpulannya secara umum adalah hendaknya permasalahan jihad itu dirubah dari permasalahan orang-rang tertentu menjadi permasalahan umum. Karena membatasi jihad dalam permasalahan orang-orang tertentu tidak akan mendatangkan perubahan yang diharapkan karena hal ini bertentangan dengan kaidah yang tidak akan berubah: “Sesungguhnya Alloh tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.” (Ar-Ro’d: 11) . Hal ini bukan berarti semua rakyat harus ikut serta dalam permasalahan ini, karena hal ini tidak mungkin. Akan tetapi yang diharapan adalah hendaknya dilaksanakan oleh sejumlah orang yang membangun kekuatan yang mampu untuk melaksanakan pemerintahan Islam kemudian menjaganya dari musuh-musuh yang berada di dalam dan di luar. Adapun yang lainnya cukup untuk menjadi pendukung atau minimal menjadi orang yang netral, sampai kebenaran itu jelas bagi mereka. Dan wajib pula untuk menyadarkan orang awam, jika mereka tidak bisa memberikan peran positif maka jangan sampai mereka memberikan peran negatif. Hal ini dapat dilakukan dengan tidak memberikan bantuan kepada para thoghut, dan meningkatkan pertentangan terhadap thoghut. Lalu akan meningkat pula keganasan dan gangguan mereka terhadap orang-orang yang beriman. Dengan demikian permasalahan jihad ini setiap hari akan memasuki rumah baru dari rumah-rumah kaum muslimin, yang akan mendapatkan para pembela baru sampai datang janji Alloh, sesungguhnya Alloh tidak akan mengingkari janjiNya. Alloh berfirman: “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan.” (QS. 28: 5-6)

Memerangi para penguasa murtad itu lebih diutamakan dari pada memerangi orang-orang kafir asli (yang kekafirannya bukan karena disebabkan murtad-pent.) seperti yahudi, nasrani dan penyembah berhala. Hal ini ditinjau dari tiga sisi:

Pertama; jihad semacam ini merupakan jihadu daf’i (defensif) yang hukumnya adalah fardlu ‘ain, sehingga jihad semacam ini lebih diutamakan daripada jihaduth tholab (ofensif). Jihad ini adalah jihadu daf’i karena para penguasa tersebut adalah orang-orang kafir yang menguasai negeri kaum muslimin. Ibnu Taimiyah berkata: Adapun qitalu daf’i, perang ini merupakan yang paling besar dalam rangka melawan penyerang yang merusak agama dan dunia. Tidak ada yang lebih wajib setelah beriman selain melawannya. Tidak disyaratkan lagi dengan syarat apapun, akan tetapi mereka dilawan sesuai dengan kemampuan.・(Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyah, hal 309). Dan disebutkan pada faqroh ke 7 bahwa jihad menjadi fardlu ‘ain ketika musuh menduduki negeri kaum muslimin.

Kedua: Mereka adalah orang-orang murtad, dan telah berlalu penjelasannya dalam Faqroh ke 14, bahwa memerangi orang murtad itu lebih diutamakan dari pada memerangi orang kafir asli.
Ketiga: Mereka adalah musuh yang paling dekat dengan kaum muslimin, dan yang paling besar bahaya dan fitnahnya, dan juga berlandaskan firman Alloh: Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, ・QS. 9:123) (Makalah ini diterjemahkan dari kitab Al-‘Umdah Fii I’daadil ‘Uddah Lil Jihaadi Fii Sabiilillaah, Bab IV, Lampiran ke 2, Faqroh ke 15, karangan Abdul Qodir bin Abdul Aziz, diambil dari situs Mimbarut Tauhid Wal Jihad www. almaqdese.com)


















Senin, 18 Agustus 2008

Renungan


UMMAT YANG TERPELIHARA DENGAN SYARI’AT
( Ust. Rahmani Abdus-Salam )

Dien ini adalah kesetian dan ketulusaan pemihakan terhadap Allah, Rosul, Imam dan Ummat Islam secara keseluruhan: Dari Abu Ruqoyah Tamim bin Aus Ad Dary bahwasanya Nabi saw bersabda: “Ad Dien itu adalah bersikap tulus dan memihak”. Kami (para shahabat) bertanya? “Bagi siapa ya Rosulallah?” Jawab beliau: “Bagi Allah, kitab-Nya, Rosul-Nya, pemimpin-pemimpin Ummat dan muslimin pada keseluruhan-nya.” (H.R. Muslim)

Untuk hadits di atas, nasihat tidak selalu bermakna menasihati (dalam bahasa Indonesia berarti memberikan saran, atau mengingatkan dari kesalahan), sebab jika demikian, bagaimana kita akan menasihati Allah? Tetapi di antara makna dasarnya yakni berlaku tulus dan memberikan pemihakan penuh.

Dalam Al Quran kita akan menemukan arti demikian pada Al Quran : “Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas orang-orang yang sakit dan orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku tulus ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk mengalahkan orang-orang yang berbuat baik, Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. 9:91). Artinya orang yang lemah, sakit dan miskin papa diberi keringanan untuk tidak berjihad langsung di front, selama mereka tetap memihak kepada Allah dan Rasulnya, yang hukum-hukumnya berlaku di Madinah kala itu.

Kesetiaan, pemihakan dan berlaku tulus kepada muslimin serta giat untuk terus mengusahakan terciptanya kebaikan pada ummat Islam, pada masa nabi saw, bahkan merupakan satu point dalam bai’at: Dari Jarir Ibnu ‘Abdillah ra. Berkata: “saya telah berbai’at kepada Rosulullah saw untuk senantiasa menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berlaku tulus, memihak kepada muslimin” (H.R. Bukhary-Muslim). Dari Ana ra. Dari Nabi saw,beliau bersabda: “Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kamu sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhary-Muslim).

Sikap tulus kepada sesama mukmin yang telah berhijrah itu dibuktikan dengan saling menjaga, saling memelihara agar hukum Allah tetap tegak dalam kebersamaan kita. Sebab sikap saling membiarkan, apakah itu karena sikap “sungkan, ewuh pakewuh” atau takut menimbulkan masalah, malah sebenarnya bisa menjadi “sumber munculnya” masalah itu sendiri: Dari Nu’man bin Basyir ra. Dari Nabi saw: beliau bersabda: “Perumpamaan orang yang senantiasa melaksanakan hukum-hukum Allah dan orang yang terjerumus di dalamnya adalah bagaikan orang-orang yang membagi tempat dalam kapal laut, dimana sebagian ada yang di atas dan ada pula yang di bawah. Orang-orang yang berada di bawah ketika mereka memerlukan air harus naik ke atas yang sudah barang tentu mereka mengganggu yang berada di atas, kemudian mereka berkata: “Kami akan melubangi saja bagian kami ini (yang di bawah) sehingga tidak mengganggu orang-orang yang di atas”. Jika mereka membiarkan apa yang dikehendaki orang-orang yang di bawah tadi (membocorkan kapal, dengan alasan tidak mau merepotkan yang di atas), niscaya akan binasalah semua (para penumpang kapal) itu; tetapi bila mereka mencegah perbuatan orang-orang tadi, maka selamatlah mereka semua”.(H.R. Bukhary).
Agar ukhuwah diantara sesama mukmin yang telah berhijrah terpelihara, maka ada dua hal selalu dihindari, yakni ;

Pertama : jangan sekali-kali membiarkan terjadinya kedzaliman, baik diantara sesama ummat, sesama mujahid atau antara ummat dengan amir (pemimpin). Mulai dari hal yang kecil, hindari meminjam uang yang tidakdi kembalikan dengan alasan “Ikhwan pasti mengerti kesulitan saya.” Hindari meminjam buku tidak dikembalikan, apalagi kedzaliman yang lebih besar dari itu, sebab ini akan meruntuhkan sendi-sendi kesatuan ummat berjuang.

Kedua ; suburkan sikap rela berkorban, jauhi sikap kikir. Nabi menyatakan bahwa hal ini menjadi sebab kebinasaan ummat sebelum kita. Kita harus takut bila kita ternyata bukan dihancurkan oleh musuh kita (yang membuat kita mendapat nilai syuhada) tapi hancur oleh kekikiran diri kita sendiri dan disebabkan kedzaliman diantara kita sendiri. Dari Jabir ra. Bahwasannya Rosulullah saw bersabda: “Takutlah (hindari!) oleh kamu sekalian kezhaliman, karena kezhaliman itu merupakan kegelapan pada hari kiamat, dn takutlah (hindari!) oleh kamu sekalian kekikiran karena kekikiran itu membinasakan ummat sebelum kalian, dan hal itulah yang mendorong mereka untuk mengadakan pertumpahan darah dan menghalalkan apa yang diharamkan bagi mereka.” (H.R. Muslim).

Untuk itu, ada hal-hal yang perlu diperhatikan bagi seorang mukmin yang telah berhijrah ;

1. Bila saudara teringat bahwa ada barang yang bukan milik anda di rumah anda, maka segeralah kembalikan atau minta kehalalannya, bila tidak maka sebanyak benda yang bukan milik anda itu terbawa mati, maka sebanyak itu pula kebaikan anda akan diambil Allah dan diberikan kepada orang-orang yang anda ‘miliki’ hak mereka secara tidak syah. Dan bila anda meninggal dengan tidak cukup membawa kebaikan, maka anda akan menanggung keburukan orang-orang yang harta bendanya tertahan di tangan anda tadi sebanding dengan nilai harta yang anda tahan tersebut. Dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi saw. Beliau bersabda: “barang siapa yang pernah menganiaya saudaranya baik yang berhubungan dengan kehormatan diri (misalnya mengumpat, mencela, menghina, ghibah dst –pen) maupun yang berhubungan dengan harta benda, maka hendaklah ia minta dihalalkan sekarang juga sebelum datang saat dimana dinar dan dirham tidak berguna, dimana bila ia mempunyai amal shalih maka amal itu akan diambil sesuai kadar penganiayaannya, dan bila ia tidak mempunyai kebaikan, maka kejahatan orang yang dianiaya itu akan dibebankan kepadanya”. (H.R. Bukhory).

2. Berusahalah untuk terus menjaga identitas kemusliman dan semangat hijrah kita. Kualitas kemusliman kita diukur dengan seberapa disiplin kita untuk tidak berlaku aniaya terhadap saudara muslim, dan semangat hijrah itu harus dibuktikan dengan kesungguhan diri dalam menjauhi segala apa yang dilarang Allah. Dosa, aniaya dan tindakan keji lainnya adalah cela yang mengotori jihad para pejuang Islam, hindarilah itu, ingatlah salah satu point ikrar kita: “tidak akan membuat noda atas Ummat Islam Bangsa Indonesia”. Dari’Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash, beliau bersabda: “Muslim itu adalah orang yang membuat kaum muslimin selamat dari gangguan lisan (keburukan perkataan) dan tangan (kejahatan perbuatannya). Dan orang yang berhijrah (muhajir) adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah”. (H.R. Bukhory). Artinya ketika anda berlaku aniaya pada muslimin yang lain, maka pada saat itu kadar kemusliman anda berkurang.

3. Jadilah mukmin dan mujahid yang amanah, dan ketahuilah bahwa ini adalah bagian tersulit dalam tuntutan dienul Islam. Seringkali orang mampu melakukan amalan-amalan sholeh yang lain, tapi tergelincir ketika diberikan amanah kepadanya. Padahal tidak bermakna Ad Dienul Islam yang diakui seseorang jika ia tidak amanah atas apa yang dipercayakan kepadanya. Bahkan kekuatan perjuangan akan bocor di sana-sini, bila para pemangku amanah tidak bersungguh-sungguh menunaikan tugas yang dipercayakan kepadanya. Dari ‘Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata kami tengah duduk-duduk bersama Rosulullah saw. Tiba-tiba muncul seseorang dari mereka yang berkedudukan tinggi (status sosialnya), kemudian dia berkata: Ya Rosulullah, kabarkan kepadaku apa yang paling sulit dilaksanakan dalam Dienul Islam ini dan apa yang paling ringan daripadanya? Maka berkata Rosulullah saw. Yang paling ringan untuk dilaksanakan adalah “Syahadat Lailaha Illallah wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuluhu” adapun yang paling berat, wahai saudara yang berkedudukan tinggi, adalah “Amanah”. Sesungguhnya tidak (bernilai) dien (nya) orang yang tidak amanah, demikian juga tidak bernilai sholat dan zakatnya. Wahai saudara yang berkedudukan tinggi, sesungguhnya siapa yang mendapatkan harta dari hal yang haram, kemudian dia membeli pakaian dengannya maka tidak akan diterima sholatnya hingga ia melepaskan pakaiannya yang (berasal dari) yang haram itu. Sesungguhnya Allah terlalu mulia dan tinggi (tidak mungkin) akan menerima amal seseorang, demikian juga sholatnya sedang padanya ada pakaian yang berasal dari yang haram. H.R Al Bazaar

4. Berwaspadalah ketika anda berhubungan dengan uang ummat, terutama menyangkut Baytul Mal. Bila kita termasuk orang orang yang berhutang ke Baytul Mal, maka berdo’alah agar kiranya Allah segera memampukan kita untuk mengembalikan harta ummat Islam berjuang itu. Sebab menggunakan harta Baytul Mal secara tidak syah, walau hanya seharga jarum, akan “diaudit“ langsung oleh Allah di hari kiamat kelak: Dari ‘Ady bin Amiroh ra, berkata: saya mendengar Rosulullah saw bersabda: “Barang siapa yang kami tugaskan untuk mengumpulkan dana kemudian ia menyembunyikannya walau sekecil jarum atau lebih (kecil dari itu), dengan maksud untuk diambilnya, maka pada hari kiamat ia akan datang (menghadap Allah) dengan membawa apa yang disembungikannya itu.” Kemudian bangkitlah seorang hitam dari kalangan Anshor yang seakan-akan saya pernah melihatnya, ia lantas berkata: “Wahai Rasulullah, terimalah kembali tugas yang telah tuan bebankan kepada saya.” Rosulullah saw bertanya: “Mengapa mesti demikian?” Ia menjawab: “Karena saya mendengar tuan berkata begini dan begini” (Ia sangat ketakutan dengan resikonya di akhirat bila ia tidak bisa amanah). Beliau bersabda: “Sekarang saya tegaskan, barangsiapa yang telah kami serahi tugas maka ia harus melaksanakannya baik ia akan mendapatkan hasil yang sedikit maupun akan mendapatkan hasil yang cukup banyak. Dan apa yang diberikan untuk dirinya maka ia boleh mengambilnya dan apa yang terlarang untuk dirinya maka ia tidak boleh mengambilnya.” (H.R. Muslim). Harta Baytul Mal adalah hartanya Allah, orang-orang yang menyalah gunakannya akan berurusan langsung dengan Allah dan menerima akibatnya kelak: Dari Khaulah binti Tsamir Al Anshariyah, ia adalah isteri Hamzah ra. berkata: Saya mendengar Rosulullah saw bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang menyalah gunakan harta Allah (baytulmal dan yang semisal dengannya) maka nanti pada hari kiamat mereka dimasukkan ke dalam Neraka.” (H.R. Bukhary).

5. Berhati-hatilah jangan menumpahkan darah secara tidak hak, sebab Rosulullah bersabda: Dari Ibnu ‘Umar ra, berkata: Rosulullah saw bersabda: “Orang mukmin senantiasa berada dalam kelapangan dalam melaksanakan diennya, selama ia tidak menumpahkan darah yang haram.” (H.R. Bukhory).

Demikianlah beberapa hal yang harus kita perhatikan. Insya Allah, bila kita menjaga perintah-perintah Allah, disiplin melaksanakannya dan menjauhi segala larangannya, maka Ummat mujahidin ini akan senantiasa di bawah pemeliharaan Allah, dibesarkanNya, dijagaNya sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits: “Jagalah Allah (laksanakan perintahNya), niscaya Allah akan menjagamu, jagalah Allah (dan jauhi laranganNya) niscaya akan kau dapati Allah selalu di hadapanmu (memberikan dukungan dan pertolongan). Jika engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Allah. Jika engkau minta bantuan atau pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, andai seluruh manusia berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka mereka akan gagal memberikan manfaat kepadamu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah taqdirkan untukmu. Dan jika seluruh manusia berkumpul untuk membuatmu bahaya dengan sesuatu, maka mereka pun gagal membahayakanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah ditaqdirkan Allah akan mencelakakanmu. Telah diangkat kalam dan telah kering tulisan dalam lembaran (taqdir). H.R. At Tirmidzi dan dia berkata hadits ini hasan-shohieh. Teruslah membangun Dakwah Islamiyah hingga terwujud daulah yang penuh berkah ini, kekurangan yang bersifat manusiawi di kalangan ummat maupun mujahid, pastilah ada, itu merupakan bagian dari dinamika pembangunan masyarakat berjuang, janganlah kekecewaan kita pada seseorang membuat kita memecah ( membatalkan) ikrar yang pernah diucapkan. Rosulullah saw bersabda: "Barang siapa yang melihat dari amirnya “sesuatu” yang membuat ia tidak suka, maka hendaknya bershabar atasnya (memperbaiki, jangan sampai dijadikan alasan untuk keluar dari jama’ah). Karena sesungguhnya barang siapa yang keluar dari jama’ah walau sejengkal, kemudian dia mati, maka kematiannya adalah kematian jahiliyah” (H.R. Bukhory 7054). “Wajib atas setiap muslim mendengar dan ta’at dalam hal yang ia suka ataupun tidak suka (sepanjang itu perintah dari pemerintahan Islam), kecuali jika ia diperintah untuk bermakshiyat. Maka bila dia diperintah untuk berbuat makshiyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib tha’at” (H.R. Muslim).

Hendaknya setiap mukmin yang telah berhijrah dijalan Allah dan menjual diri kepada Allah, bersungguh-sungguh untuk memikirkan kemajuan ummat, dan bergerak bersama dengan ummat dalam suka dan duka untuk kemajuan bersama. Anda harus sadar bahwa anda punya ummat yang akan menuntut anda di akhirat, sebagaimana ummat pun harus sadar, bahwa mereka mempunyai pemimpin yang harus mereka bantu, untuk terlaksananya program perjuangan hingga terwujud secara de facto dan de jure. “Setiap Amir yang diserahi urusan muslimin kemudian dia tidak bersungguh-sungguh untuk memimpin mereka dan berlaku tulus dalam mengarahkan (nasihat) kepada ummatnya, maka amir semacam ini tidak akan masuk syurga bersama muslimin” (HR. Muslim). Barang siapa yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat kemudian ia mati, padahal dihari kematiannya ia tengah berlaku curang, menipu, berkhianat pada rakyatnya, maka Allah haramkan ia untuk masuk ke dalam syurga (HR. Muslim).


Dialog dan Wawancara

DIALOG SEPUTAR PENERAPAN SYARI’AT ISLAM DI NUSANTARA
(WAWANCARA UST. DR. QUTHUB RABBANI )

Bismillahirrohmaanirrohiim

BAGAIMANA SIKAP USTADZ MENGHADAPI MARAKNYA TUNTUTAN PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI REPUBLIK INDONESIA ?
Jawab :

1. Pihak Darul Islam pada umumnya, saya sendiri pada khususnya, tentu saja menyambut baik tuntutan ini. Ini menunjukkan meningkatnya kesadaran di kalangan masyarakat Islam, bahwa Al Quran adalah pedoman seluruh ummat manusia, bukan hanya pedoman untuk muslimin saja (S.2:185) dan mereka menyadari bahwa Al Quran adaah hukum bagi segenap manusia, bukan melulu untuk kaum muslimin (S.4:105). Ini merupakan kesadaran yang revolusioner.

2. Saya bersyukur kepada Allah, ternyata usaha yang dulu diperjuangkan oleh Asy Syahid Sekarmadji Kartosoewirjo, kini menjadi tuntutan massal kaum muslimin. Alhamdulillah, mereka mulai menyadari universalitas Islam. Namun tentu saja tuntutan ini harus lebih fokus lagi, bagaimana agar di tingkat praktis muslimin sanggup meyakinkan, baik terhadap fihak muslimin awam, dan juga non muslim lainnya, bahwa hukum Islam yang dimaksud di sini adalah hukum Islam berlaku sebagai “Public Law”. Secara pribadi orang bebas untuk meyakini agama masing masing, bahkan dijamin kebebasannya dalam melaksanakan ajaran masing masing. Hukum Islam yang dimaksud, diantaranya adalah hukum public (hukum pidana) yang di dasarkan pada keadilan hukum Islam. Jadi yang diatur adalah domain masyarakat, dan negara.

3. Hukum Publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan orang-orang yang ada di dalamnya (seperti hukum pidana), juga hukum yang mengatur antara negara dengan bagian-bagiannya, hubungan negara dengan negara lain (hukum Internasional), serta yang berkenaan dengan tugas kewajiban aparat pemerintahan negara tersebut (hukum administratif atau hukum tata usaha negara). Inilah yang akan diatur oleh syari’ah Islam.

4. Berbeda dengan hukum publik (Public Law) yang menitik beratkan pada hubungan hukum antara perotangan dengan negra. Hukum Privat lebih menekankan pada perlindungna kepentingan perorangan dalam hubungannya dengan orang lain, seperti hukum perdata, hukum perniagaan, hukum perkawinan dsb. Dalam hal ini keyakinan agama seseorang ikut dipertimbangkan. Bahkan dalam negara Islam, bila hubungan itu menyangkut komunitas satu kelompok agama, dan pada agama mereka telah ada hukum yang mengatur hal tersebut, maka mereka diputuskan menurut hukum agama mereka. Yang saya sayangkan adalah, tuntutan penegakkan syari’ah Islam, seringkali tidak menyeluruh, yang terbayang di benak mereka hanyalah, semua wanita berkerudung, waktu sholat jalanan sepi, karena semua berjama’ah di masjid, dihapuskannya minuman keras dan judi. Bukan berarti itu salah, namun sasaran yang sebenarnya dalam penerapan syari’ah adalah kepastian hubungan hukum antara warga dengan negara diatur oleh syari’ah Islam. Yang pernik pernik tadi, dengan sendirinya akan menjadi budaya yang tumbuh subur, sudah menjadi konsekwensi logis yang akan terjadi, bila Hukum Publik sudah berdasar pada Islam.

5. Sebenarnya ada masalah yang lebih mendasar untuk ditanyakan: "Apakah tuntutan pemberlakuan hukum Islam ini sudah tepat sasaran?" Yang saya maksud dengan tepat sasaran adalah "Apakah menuntut sebuah Negara Non-Islam (Republik Indonesia) untuk memberlakukan hukum Islam adalah satu tuntutan yang tepat?" Padahal kita tahu, bahwa sejarah kelahiran Republik Indonesia diawali dengan pencoretan atas kewajiban (negara) dalam memberlakukan hukum Islam, sekalipun hanya untuk pemeluknya sendiri. Sedangkan tuntutan pemberlakuan hukum. membutuhkan prasyarat, prakondisi, termasuk perubahan "groundnorm" atau norma dasar negara itu sendiri. Saya hanya khawatir bahwa, mereka salah sasaran dalam mengajukan tuntutan, akhirnya ketika tuntutan mereka tidak dikabulkan, terjadilah chaos dan kekacauan. Jika tuntutan penerapan syari’at Islam ini metreka ajukan pada Republik Indonesia, berarti mereka telah menuntut kepada sebuah negara yang tidak dalam kapasitas untuk memberlakukan hukum Islam. Kenyataan sekarang sudah cukup menjadi bukti, di tempat mana, pihak Republik Indonesia, dengan malu-malu terpaksa menerima tuntutan masyarakat untuk memberlakukan syari'at Islam, pada prakteknya, yang diakomodir untuk berlaku bukanlah hukum public Islam secara kaffah. Dan pelaksanaannya terasa lambat, terseret seret, bahkan macet.

6. Kalau diibaratkan pada sebuah komputer Hukum public Islam adalah program terapan yang perlu dukungan operating system yang kompatible dengannya. Bila tidak, maka betapapun baiknya sebuah program terapan, jika operating systemnya tidak kompatible, maka bukannya jalan dengan sempurna, tetapi malah 'hang'. Sehingga yang seharusnya jadi tuntutan pertama bukanlah berlakunya hukum Islam itu, tetapi hadirnya sebuah sistem yang kompatible dengan hukum Islam. Dan kami berkeyakinan hanya Negara Islam yang mampu memberlakukan syari'at Islam secara menyeluruh dan menjamin keadilan bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim.Dan kenyataan membuktikan, bahwa hukum Islam di dunia ini hanya bisa berjalan di dalam bnegara negara Islam, memang di tingkat praktek di sana sini, masih perlu pembenahan, namun terbukti hukum Islam bisa "running" di sana. Saya balik bertanya, di negara non Islam yang mana, hukum Islam bisa diberlakukan?

7. Mungkin ada pembaca yang mengatakan, hukum Islam "sholat, puasa" bisa berlaku sekalipun di negara Non-Islam. Yang saya maksud bukan hukum pribadi, dan memang dalam urusan pribadi, kita tidak berhak memaksakannya pada masyarakat, apalagi terhadap masyarakat majemuk, Islam melarangnya (La ikroha fiddin - S.2:256) Justru yang dimaksud adalah hukum public Islam. Kalau mereka menuntut pemberlakuan syari'at Islam, tapi ternyata yang dimaksud bukan hukum public Islam, maka saya khawatir bisa disikapi fihak non Islam sebagai pemaksaan atas kebebasan pribadi dalam menjalankan agama masing masing. Jika demikian, maka ini adalah gejala dominasi satu agama (Islam) untuk agama lain. Andai mereka mengajukan tuntutan itu pada pihak Darul Islam dan menyatakan siap untuk bersama sama Darul Islam dalam merealisasikannya. Maka kami menyambutnya dengan baik, sebab buat Darul Islam, berlakunya syari'at Islam bukan lagi tuntutan, tapi MEMANG Darul Islam, hadir dalam kapasitas untuk memberlakukan Hukum public yang Islam tadi. Sayangnya Negara yang didirikan SENGAJA untuk menegakkan hukum Islam (Darul Islam) ini, malah disalah fahami orang, sedang terhadap negara yang didirikan bukan untuk menegakkan hukum Islam, mereka ramai ramai menuntut supaya Hukum Islam diberlakukan di sana.

APA SESUNGGUHNYA ALASAN DI BALIK TUNTUTAN PENERAPAN SYARIAT ISLAM?

Jawab :
Dua hal: Pertama, kenyataan bahwa hukum-hukum yang didasarkan pada konsep sekular terbukti gagal untuk menciptakan kedamaian dan ketertiban hukum di dunia ini. Di Republik Indonesia misalnya, Hukum Pidana, demikian pula Hukum Perdata yang diambil dari Wetboek van straf recht dan Burgelijk wet Boek di jaman belanda, telah gagal. kedua, munculnya kesadaran akan universalitas hukum Islam. Sehingga muslimin tidak terkungkung dengan kewajiban pribadinya terhadap Tuhan belaka, tapi juga mulai menyadari tanggung jawab sosial mereka sebagai bagian dari masyarakat dunia. Dan mereka sadar bahwa hukum Islam terbukti dalam sejarah, pernah menjadi “Public Law” yang berjaya selama 1000 tahun peradaban Islam dan membawa keadilan bagi seluruh manusia, baik muslim maupun non muslim. Dengan demikian, hadirnya kembali Islam sebagai “Public Law”, adalah tak terhindarkan, ia sudah terekam di alam bawah sadar peradaban manusia. tinggal bagaimana sekarang kebijakan muslimin untuk menghadirkannya kembali ke permukaan.

MENURUT USTADZ, KELOMPOK MANA SAJA DAN BERBASIS DI DAERAH MANA SAJA, SERTA BAGAIMANA ORIENTASI POLITIK MEREKA YANG MENDUKUNG PENERAPAN SYARIAT ISLAM?

Jawab :
Setiap muslimin yang jujur dengan keimanannya, tanpa memandang basis daerah maupun orientasi politik, pasti akan menerima bahkan mendukung seruan berlakunya hukum Islam. Lihat S.33:36 Bahwa yang namanya mukmin tidak pantas memiliki pilihan lain, ketika hukum Allah dan Rosulnya ditegakkan, bahkan itulah satu satunya orientasi mereka, tegaknya Hukum Islam di muka bumi. Dan populasi muslimin yang sudah tiba pada kesadaran ini, hampir merata di seluruh nusantara. Terbukti darul Islam diterima di seluruh peloksok Nusantara, dari Kota sampai ke desa desa, bahkan informasi terakhir, Darul Islam telah berhasil mendapat dukungan 22 juta muslimin di Nusantara. Mereka berasal dari berbagai lapisan sosial, bahkan banyak di antara mereka yang juga aktif di partai parti politik yang kini ada di Republik Indonesia. Namun mereka tahu DI-RI, mereka tahu DI dan tahu RI, sehingga mereka sadar persis smapai sejauh mana keterbatasan kapasitas RI dalam menerima hukum Islam sebagai “Public Law”, dan seluas mana kapasitas Darul Islam untuk melaksanakannya. Ini hanya soal waktu dan kematangan situasi. Insya Allah secara damai akhirya masyarakat akan menemukan tempat yang tepat dimana tuntutan mereka akan memperoleh kelapangan seluas luasnya.

Bila Republik Indonesia menerima berlakunya Islam sebagai “Public Law”, berarti Republik Indonesia telah merubah kepribadian negaranya, satu hal yang bisa dikatakan mustahil dilakukan oleh sebuah negara. Itulah sebabnya banyak muslimin, sekalipun aktif di partai politik formal, bekerja sebagai pegawai di Republik Indonesia, mulai melirik Darul Islam sebagai satu alternatif. Sebab Darul Islam memang sebuah negara yang kepribadiannya sejak semula berkapasitas untuk melaksanakan “Public Law” Islam. Dan jangan salah Darul Islam bukan hanya di Indonesia, Darul Islam adalah pergerakan muslimin sedunia, sebuah gerakan semesta yang mendukung tegaknya “Public Law” Islam. Di Indonesia usaha Darul Islam ini pernah digagas oleh kelompok puritan dari Partai Syarikat Islam, hingga pada puncaknya SM Kartosoewirjo yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Partai Syarikat Islam Indonesia, memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia.

Hari ini gerakan Darul Islam bukan hanya diorganisir di bawah NII, setiap muslimin yang menghendaki tegaknya hukum Publik Islam, maka mereka sudah memposisikan dirinya di pihak Darul Islam, bersama dengan muslimin di berbagai belahan dunia lainnya yang juga menghendaki Islam sebagai “Public Law”. Justru persamaan keyakinan inilah yang kini menyatukan mujahidin warga RI dengan mujahidin warga NII, sehingga kekuatan Darul Islam bukan hanya dibangun oleh para pejuang Negara Kurnia Allah NII saja, tapi kini memperoleh kekuatan dari para pejuang darul Islam di tubuh Republik Indonesia sendiri bahkan asosiasi pejuang Darul Islam seluruh dunia. Ini benar benar perkembangan yang patut disyukuri. Tinggal kami menyeru pada mujahidin yang telah berorientasi Darul Islam, tapi masih menjadi warga Republik Indonesia, agar segera mempertimbangkan posisinya sebagai warga Darul Kufr itu. Saya menyeru mereka untuk segera hijrah. Sebab Nabi Muhammad saw pernah bersabda dalam Hadits Riwayat Abu Dawud: Saya berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal bersama musyrikin[1]. Pancasila adalah salah satu dari fenomena itu, tak pantas mereka berada di sana.

BAGAIMANA MENGATASI PROBLEM AJARAN YANG PENAFSIRANNYA TIDAK BISA DIMONOPOLI HANYA OLEH SATU KELOMPOK?

Jawab :

Itulah sebabnya kita memerlukan negara sebagai pihak yang diterima seluruh rakyat, sebagai organisasi hukum tertinggi yang berhak menegakkan bahkan memaksakan hukum itu di kalangan rakyat. Dengan demikian tercipta tertib hukum, dan stabilitas hukum itu sendiri. Sebab, andai setiap orang berhak menjalankan hukum sendiri sendiri, berhak menafsirkan hukum dan menjalankannya sesuai dengan tafsirannya sendiri sendiri, maka kekacauan akan terjadi, hukum tidak lagi tertib. Dan jangan salah, proses diundangkannya hukum dalam negara Islam, harus melewati dewan Suro dan Majlis Syuro, sehingga memungkinkan aspirasi berbagai kelompok, variasi penafsiran, bisa bertemu di majlis tersebut, dan hal yang disepakati di dalam oleh majlis itulah yang keluar sebagai undang undang.
Dengan demikian, variasi penafsiran itu justru memperoleh tempat untuk dipertaruhkan dan diuji kelayakannya untuk berlaku di masyarakat, lewat musyawarah tadi. Tidak seperti di dalam negara Non-Islam, berbagai variasi pemikiran, dapat saja berkembang tanpa batas, mempengaruhi banyak orang, dan dilaksanakan sendiri sendiri, sehingga yang terjadi adalah konflik di masyarakat. Di sini kita menyadari, betapa pentingnya peran negara dalam mengakomodir berbagai penafsiran itu, serta menghasilkan yang terbaik untuk masyarakat dalam bentuk undang undang, sehingga terjamin tertib pelaksanaannya.

BAGAIMANA DENGAN BERBAGAI KELOMPOK ISLAM SENDIRI YANG TIDAK SEMUANYA MENDUKUNG PENERAPAN SYARIAT ISLAM. MENGAPA MEREKA MENOLAK?

Jawab :

Pertama saya ingin koreksi dulu, bahwa bukan "kelompok Islam" tapi "kelompok muslim". Sebab Islam itu standard, hanya satu sebagaimana yang diturunkan Allah lewat Nabi Muhammad saw. Namun setelah diterima manusia, maka perbedaan kapasitas, ilmu, budaya dsb membuat manusia manusia tadi berbeda beda dalam menafsirkan Islam itu. Jadi lebih tepat kita katakan "kelompok Muslimin". Tentang adanya kelompok muslimin yang tidak mendukung penerapan syari'at Islam. Ini pun harus diperjelas lagi, tidak mendukung penerapan syariat Islam di tingkat mana, dalam lingkup dirinya pribadi, keluarga, atau negara? Kalau ada muslimin yang tidak mendukung penerapan syari'at Islam di lingkungan dirinya sendiri dan keluarga, maka naif sekali. Saya malah mempertanyakan kesadaran dan pemahaman mereka akan Islam yang sempurna dan adil ini. Kalau mereka tidak mendukung penerapan syari'at Islam dalam lingkup negara, maka saya menduga, mereka belum sempurna menyadari misi Islam dan fungsi negara Islam itu sendiri. Sehingga terhadap mereka tidak perlu divonis dengan ungkapan macam macam, tapi harus dialog, diajak untuk kembali pada pemahaman syari'at yang menyeluruh, lengkap dan sempurna, seperti disebutkan dalam surat Al Nahl (16) : 125. Persoalan menjadi rumit karena muslimin yang menentang penerapan syari'at ini selalu berkilah dengan segala kelemahannya dalam menyadari kesempurnaan syari'at, dan mereka menutupi hati nuraninya sendiri. Andai mereka bertanya ke dalam hati nuraninya, apa yang Allah wajibkan atas diri mereka, kemudian dengan hati yang jernih mereka membaca Al Quran dan bagaimana Nabi Muhammad saw memperjuangkan pelaksanaan syari'ah dalam hidupnya, tentu mereka akan menemukan letak kekeliruan pemikirannya. Mereka selalu bermanis manis tentang perlindungan muslimin atas non muslim, kebaikan muslimin atas non muslim dsb, tapi mereka lupa, bahwa di masa awal Rosulullah saw, seluruh kebaikan muslimin tadi tidak membuat mereka lupa untuk menegakkan Islam sebagai Publik Law, sebagai hukum yang tertib, melindungi baik muslim maupun non muslim. Muslimin masa awal berbaik baik pada non muslim sebagai kewajiban yang diundangkan Negara Islam ketika itu. Hari ini banyak muslimin yang bermanis manis terhadap non muslim, karena sebenarnya mereka sudah kalah secara mental untuk menegakkan publik law Islam tadi. Adalah lebih baik mengaku sedang kalah, dari pada memutar mutar lidah, mengemukakan bahwa kondisi Islam yang tidak menegara adalah sesuatu yang memang demikian seharusnya. Kalu begitu mengapa Rosulullah tidak berbuat seperti mereka saja???

BUKANKAH ISLAM TIDAK MEMILIKI KONSEP KENEGARAAN YANG FINAL SEBAGAIMANA NEGARA DEMOKRASI MISALNYA?

Jawab :

Saya balik bertanya, siapa yang bilang bahwa demokrasi punya konsep yang final? justru demokrasi membuka peluang perubahan demi perubahan dalam konsep bernegara! Karena dalam demokrasi sekuler aspirasi manusia diakomodir tanpa batasan, kecuali kalah dan menang suara. Padahal kita bisa mengukur seberapa lama, alur satu "suara' bisa dipertahankan.

Berbeda dengan demokrasi, Syuro dalam Islam, sudah ada rumusan baku, yang diterima bersama oleh mukminin yang akan menjalankan musyawarah. Lihat dalam syurat As Syuro : 38, bahwa musyawah itu diawali dengan kesadaran menerima ketetapan Allah. dengan demikian, aspirasi manusia dalam musyawarah ada aturannya yang pasti.

Kalau tadi dinyatakan oleh sipenanya, bahwa Islam tidak memiliki konsep kenegaraan yang final, disinalah kelebihan Islam, bahwa konsep kenegaraan Islam senantiasa berkembang sesuai dengan tuntutan zaman Sebab negara adalah sarana yang bisa berevolusi, hanya tujuannya yang tetap: “melaksanakan tertib Hukum Islam”. Tentu saja dalam pengertian bahwa konsep kenegaraan itu memiliki dua unsur, ada yang tetap seperti kedaulatan hukum di tangan Allah, dan ada konsep konsep yang bisa berubah. Di sinilah keluasan dan keluwesan Islam. Wajar kalau banyak futurolog mengatakan bahwa masa depan memang di tangan Islam!

BAGAIMANA DENGAN KENYATAAN BAHWA NEGARA KITA BUKAN "NEGARA AGAMA", TETAPI ADALAH NEGARA-BANGSA (NATION-STATE)?

Jawab :

Ini adalah persoalan bagi muslimin warga Republik Indonesia, persoalan intern mereka. Bagi warga Darul Islam di belahan dunia manapun mereka berada, baik warga Darul Islam yang Saudi Arabia, Pakistan, Iran. Maka problema ini tidak akan ada. Bahkan dalam negara Islam berjuang NII, saya tidak pernah mendengar pertanyaan seperti ini. Artinya pertanyaan tadi merupakan problema psikologis rakyat Republik Indonesia, selamat berbingung ria :)

BAGAIMANA MENGATASI MASALAH PLURALISME?

Jawab :

Negara Islam Madinah yang dipimpin Rosulullah saw, pada tahun pertama didirikan, jumlah populasi muslimin tidak lebih dari 10% dari total penduduk Negara Islam Madinah. Pada abad ke dua hijrah, dimana wilayah Negara Islam sudah membentang dari Eropa sampai Asia, jumlah muslimin hanya 8% dari total penduduk seluruh negara Islam itu. Artinya sepanjang sejarah, muslimin sudah terbiasa hidup berdampingan dalam satu negara dengan non-muslim. Dan muslimin tidak pernah memaksa mereka untuk masuk Islam, yang diperjuangkan muslimin adalah tegaknya Islam sebagai publik law. Adapun untuk urusan pribadi, tetap dihormati sebagai pilihan nuraninya masing masing.

BAGAIMANA MENGHINDARI DISKRIMINASI? KARENA BEGITU KELOMPOK ISLAM MENGAJUKAN TUNTUTAN PENERAPAN SYARIAT ISLAM, BUKANKAH KELOMPOK LAIN AKAN MERASA TERANCAM SEHINGGA TIDAK MUSTAHIL AKAN MELAKUKAN HAL YANG SAMA?

Jawab :

Jika tuntutan ini diajukan pada negara Non-Islam, maka wajar bila non muslim merasa terancam. Tetapi jika negara Islam yang menerapkannya, apa alasan mereka merasa terancam? Karena negara adalah milik semua orang, dan memberikan poerlindungan pada semua orang baik, muslim maupun non muslim. Dan lebih mengagumkannya, dalam negara Islam, “menyakiti non muslim itu disetarakan dengan menyakiti pribadi nabi Muhammad saw sendiri”. Karena itulah, non muslim justru akan mendapatkan perlindungan yang sangat baik dalam negara Islam.

Pertanyaan anda tadi, pantas diajukan pada muslimin yang menuntut berlakunya hukum Islam dalam negara bukan Islam. Tapi dalam negara Islam, silahkan buka sejarah, pada abad ke dua hijrah, justru 92% non muslim yang mendukung terlaksananya Islam sebagai Publik Law dalam negara Islam yang membentang dari Kawasan Eropa hingga Asia. Selama seribu tahun peradaban Islam, rakyat negara Islam yang non muslim tidak pernah melakukan pemberontakan dan menghancurkan negara Islam itu.

APA DAN BAGAIMANA BENTUK PENERAPAN SYARIAT ISLAMA? APAKAH SEMUA AJARAN ISLAM AKAN DITERAPKAN? DALAM KHAZANAH FIQIH MISALNYA, ADA FIQH UBUDIYAH ADA FIQH MU’AMALAT? APAKAH FIQH UBUDIYAH JUGA AKAN DIMASUKKAN DALAM PENERAPAN SYARIAT TERSEBUT?

Jawab :

Syari'at Islam itu mencakup empat domain : domain pribadi, Domain Keluarga, Domain masyarakat, Domain negara dan antar negara. Penerapan syari'at Islam dalam negara Islam adalah pada domain masyarakat dan negara. Adapun urusan pribadi dan keluarga. Islam menghormati pilihan nurani masing masing. Sehingga seorang Kristiani tetap dapat hidup sebagai seorang kristiani yang baik dalam diri dan keluarganya. Adapun dalam masyarakat dimana diterapkan hukum publik (Hukum pidana misalnya) maka ini yang mengacu pada syari'at Islam, demikian juga pada domain negara. Fiqh mualamalah adalah menyangkut hukum hukum yang mengatur hubungan pribadi muslin dengan muslim atau muslim dengan non muslim, maka ini termasuk yang akan diangkat ke Dewan Syuro dan Majlis Syuro, yang dalam negara Islam anggotanya terdiri dari wakil2 berbagai dolongan. Mana yang akan dikeluarkan menjadi undang undang, tentunya setelah selesai digodok para ahli tersebut. sedangkan Fiqh ubudiyyah yang ini secara khas menyangkut muslimin, maka tentu tidak mengikat seluruh rakyat negara Islam. warga negara yang non muslim tidak terkena kewajiban yang ditetapkan fiqh ubudiyyah ini.

BAGAIMANA MENGHINDARI TERJADINYA MANIPULASI AJARAN AGAMA UNTUK KEPENTINGAN KELOMPOK? ARTINYA ADA KEPENTINGAN-KEPENTINGAN TERTENTU YANG DIBUNGKUS DENGAN TUNTUTAN PENERAPAN SYARIAT ISLAM?

Jawab :

Itulah sebabnya, dalam negara Islam, satu aspirasi pemikiran muslimin atas ajaran Islam, tidak serta merta diberlakukan di masyarakat, tapi harus terlebih dahulu digodok di Dewan Syuro. Ini merupakan usaha preventif untuk meminimalisir manipulasi ajaran agama tadi. Artinya terbentuknya satu undang undang yang didasarkan Islam, tidak bertumpu pada satu kelompok, tapi diundangkan lewat negara. Sehingga ada proses yang tidak sederhana, dan ini merupakan penyaringan atas kepentingan kelompok itu juga. Justru dalam negara Non-Islam (seperti di RI), terbuka sekali peluang penafsiran agama menurut kelompok, anda lihat ada yang hanya mengambil sisi ruhaniah-tasawwuf, ada yang menitik beratkan pada aspek ekonomi, pendidikan, militer. Dalam negara islam mereka disatukan dalam satu komando Imam, adapun kekhasan itu terbagi dalam tugas tugas departemental. Yang gandrung tarbiyyah, bekerjalah di Departemen Pendidikan, yang senang ekonomi, silahkan mengambil tempat di Departemen Ekonomi atau Departemen keuangan, perdagangan dan semisalnya. Yang senang dengan sisi askariyah – militer, silahkan mendaftarkan diri ke Departemen Pertahanan. Jadi tidak terpisah pisah, tapi keberbedaan tadi menjadi variasi yang indah dalam satu ikatan sistem negara.

BAGAIMANA MENGHINDARI TERJADINYA ABSOLUTISME KEKUASAAN, KARENA KETIKA SEBUAH KEKUASAAN DILEGITIMASI OLEH AGAMA, MAKA KRITIK MENJADI SESUATU YANG ASING. DI MANA POSISI AKAL DI SITU?

Jawab :

Bagaimana anda bisa menyimpulkan bahwa ketika kekuasaan dilegitimasi oleh agama, maka kritik menjadi asing? pertanyaan ini secara cerdas telah membungkus perasaan negatif terhadap agama. Agama mana yang anda maksud? Apakah bukan "kekuasaan" yang cenderung menolak kritik? Kekuasaan sendiri seringkali menjadi "psudo-agama" Agama palsu, dimana kritik terhadapnya dianggap dosa besar.

Islam menyodorkan hal revolusioner: "Agama itu nasihat! ketika ditanyakan oleh para shahabat, buat siapa ya Rosulallah? bagi Allah, rosul dan orang orang yang beriman" justru dalam Islam nasihat adalah inti dari Islam itu sendiri, bahkan saling menasihati dalam kebenaran adalah diantara "resep" agar hidup tidak rugi (S.103:1-3). Itulah sebabnya kami yakin bahwa kekuasaan muslimin yang commited atas nilai nilai Islam, akan menjadi satu bentuk kekuasaan yang unik, sebab kebenaran yang ditegakkan bukanlah kebenaran yang dibangun sendiri oleh mereka, tapi kebenaran yang bisa dipelajari semua orang, kebenaran yang datang dari luar manusia. Tidak mewakili kepentingan kelompok manusia manapun, tetapi diturunkan Allah untuk menjadi cahaya atas semua ummat manusia.

Setiap orang boleh menyatakan pendapatnya atas kebenaran itu, dan diuji dalam Majlis Syuro, sebelum diundangkan. Bukankah dengan demikian kritik diberi lapangan yang luas? Dan kalaupun telah diundangkan, selalu ada kemungkinan terjadinya perubahan undang undang, bila ternyata di dalam undang undang tadi ditemukan kesalahan, atau hal yang kurang tepat dalam pelaksanaannya. Jadi dalam teknis praktisnya tidak ada perbedaan dengan pembuatan aturan di negara manapun, yang secara prinsipil berbeda adalah norma dasarnya. Islam menjadikan Al Quran dan hadits shohih sebagai norma dasar, sedangkan pihak lain tidak memiliki norma dasar yang baku, kecuali kepentingan manusiawi belaka. Posisi akal adalah untuk memahami wahyu, agar sedekat mungkin bisa mencerap apa yang dikehendaki Allah dengan pelajaran itu (lihat S.38:29). Justru Islam sangat menghargai akal, karena dengan apa kita memehami wahyu kalau bukan dengan akal? Digambarkan dengan sangat jernih: “Wahyu ibarat cahaya, sedang akal adalah mata” Wahyu tanpa akal, ibarat cahaya benderang, diterima orang tak bermata, cahaya itu tak bermanfaat buatnya. Sedang akal tanpa wahyu, ibarat orang melihat di dalam gelap, mata tak berfungsi maksimal, ia tetap saja meraba raba dalam gelap tadi.

BAGAIMANA MENGHINDARI KESAN YANG SELAMA INI BEREDAR BAHWA ISLAM ITU SANGAR?

Jawab :

Harus ditanyakan kembali, “apakah "Islam"nya yang terkesan sangar”, atau “ada sebagian "muslim" yang terkesan sangar?” atau lebih spesifik lagi, “Apakah ada sebagian muslim yang terkesan "sangar" dalam memahami ajaran Islam?” Saya menolak kalau dikatakan "Islam" itu sangar, tapi bila dikatakan ada sebagian muslim yang "sangar" dalam memahami Islam, ini bisa saya terima, karena kenyataannya memang ada yang demikian. Jika Islam itu sangar, bagaimana mungkin pembawa risalah Islam, orang pertama yang menjadi contoh ajaran ini, sampai didudukkan sebagai orang nomor satu yang paling berpengaruh di dunia (lihat the one hundrednya Michael Hart). Dan muslimin yang mampu meneladani akhlaq nabi yang sempurna, akan menjadi sosok yang paling mampu menunjukkan betapa Islam adalah rahmat bagi semesta, bukan ancaman bagi semesta. Inilah cara menghindari kesan "sangar" yang hari ini secara salah dilabelkan orang pada Islam. Sekali lagi, ingin saya katakan, bahwa kesan ini muncul dari prilaku sebagian pemeluknya, bukan dari Islamnya sendiri. Sehingga yang harus diperbaiki bukan Islamnya tapi orangnya.

APA SAJA YANG TELAH DILAKUKAN GUNA MENGGOLKAN TUNTUTAN PENERAPAN SYARIAT ISLAM?

Jawab :

Kepada siapa ini ditanyakan? jika ditanyakan pada pihak Darul Islam, maka Darul Islam di Indonesia telah memproklamasikan Negra Islam Indonesia. Hanya saja hari ini tengah mengalami 3 kekalahan : wilayahnya terampas, peralatan dan sarana prasarana strukturalnya dihancurkan, serta masih kekurangan warga yang cukup dan cakap untuk menjalankan tugas negara. Insya Allah "Restored Islamic State of Indonesia" suatu saat akan muncul, memikul tanggung jawab "Rahmatal lil 'alamin" nya Islam. Untuk muslimin yang berjuang di luar Darul Islam, silahkan ditanyakan pada mereka, secara langsung. saya tidak mau terjebak untuk menilai apa yang dilakukan saudara muslim lain.

NEGARA MANA YANG DIJADIKAN SEMACAM MODEL BAGI PENERAPAN SYARIAT ISLAM? APA KELEBIHAN MEREKA DAN JUGA AKAN KEKURANGANNYA? BAGAIMANA MENUTUPI KEKURANGAN TERSEBUT?

Jawab :

Setiap negara yang sudah mensyahadatkan dirinya sebagai negara Islam, itulah negara Islam. Tidak boleh sebuah negara Islam dikafirkan karena kekurangan , kelemahan mereka di tingkat pelaksanaan. Sebagai mana seorang muslim harus tetap diakui sebagai ahli Kiblat, selama ia tidak mencabut pengakuannya sebagai muslim. Masalah kekurangan adalah masalah sumber daya manusia, serta keinginan politik individu di dalamnya. Untuk itu proses kritik-auto kritik, nasihat menasihati, keterbukaan untuk berani menilai diri "apakah seperti ini yang dikehendaki ajaran Islam untuk dilaksanakan pemerintah" harus secara terbuka bisa dipertanyakan dan diperdebatkan dalam negara Islam itu. Inilah awal pembenahan, dari sini akan terbuka setiap ide cerdas untuk memperbaiki praktek kekuasaan muslimin dalam negara Islam. Satu satunya model yang berusaha diserap adalah model negara Islam yang pernah didirikan dan dipimpin Rosulullah saw. Model yang saya maksud adalah spirit keadilan dan keshalehannya dalam menjalankan Negara Islam. Adapun sarana pendukung tentu saja harus mengikuti keadaan zaman.

APAKAH TIDAK ADA ALTERNATIF LAIN DI LUAR PENERAPAN SYARIAT ISLAM?

Jawab :

Alternatif bagaimana yang anda maksud, apa yang anda maksud dengan "di luar penerapan syari'at Islam" apa diganti menjadi lomba puisi Islam, lomba retorika mengkomunikasikan ajaran Islam? Pertanyaan ini memiliki tingkat kegamanagan yang kental. Bukankah pertanyaan anda pertama adalah soal tuntutan penerapan syari'at Islam? be focus, please.

SEJAUH MANA TUNTUTAN PENERAPAN ISLAM MERUPAKAN REPESENTASI DARI KEINGINAN UNTUK MEWUJUDKAN ISLAM SEBAGAI RAHMATAN LIL ALAMIN?

Jawab :

Saya balik bertanya, bagaimana caranya agar Islam menjadi rahmatan lil 'alamin kalau tidak diterapkan? Logikanya sangat simple sebenarnya. Apakah anda fikir dengan dituliskan menjadi jutaan buku tebal, Islam akan menjadi rahmat bagi semesta? Atau dibicarakan di seluruh radio, media cetak, Islam menjadi rahmat? Justru terasanya jadi rahmat kalau dilaksanakan. Hari ini Islam tidak terasa menjadi rahmatan lil alamin, karena dijegal untuk dilaksanakan dalam bentuknya yang asli, seperti pemerintahan Islam di Madinah di era Rosulullah saw. Islam tertunda jadi rahmat bagi semesta alam, karena banyak muslimin yang "ragu" kalau itu akan menjadi rahmat kalau diterapkan dan dilaksanakan.

JIKA SYARIAT ISLAM DITERAPKAN, BUKANKAH NANTINYA AKAN ADA SEMACAM POLISI AGAMA? BAGAIMANA MENJAMIN POLISI TIDAK KORUP?

Jawab :

Tidak ada jaminan seorang manusia tidak korup, karena itu yang harus diperkuat adalah sistemnya. Sehingga bila orangnya korup, ya diadili, dihukum sesuai dengan keadilan hukum Islam. Dalam Negara Islam Indonesia misalnya. Dalam undang undang dasarnya dinyatakan bahwa Dasar negara adalah Islam, hukum yang tertinggi adalah Quran dan hadits shohih. Hadirnya negara sebagai sebuah organisasi hukum tertinggi, sebagai satu sistem pemerintahan, adalah dalam rangka menekan kemungkinan munculnya manusia manusia korup tadi, baik itu polisi atau bahkan Imam sekalipun. Semuanya tidak ada yang kebal hukum, semua adalah objek hukum Publik Islam. Dengan persamaan di depan hukum inilah tindakan korup bisa diluruskan, seperti dikatakan khalifah ke 3: Kekuasaan (disimbolkan dengan pedang) meluruskan orang yang tidak bisa diluruskan dengan Al; Quran.

Pertanyaan : "Jika syariat Islam diterapkan, bukankah nantinya akan ada semacam polisi agama? Bagaimana menjamin polisi tidak korup?" berangkat dari dugaan negatif atas praktek kekuasaan Islam. Di jaman nabi tidak ada yang disebut polisi agama. Polisi itu tugasnya mengawal undang undang. Sedangkan undang undang itu sebelum terbit, sudah digodok dulu di Majlis Syuro, dan setelah diundangkan, maka berlaku bagi semua orang. Termasuk aparat pelaksana hukum itu sendiri. Jawab : Saya balik bertanya, apa di negara yang menjadi mbahnya demokrasi sekuler, Amerika misalnya, ada jaminan disana tidak ada polisi yang korup? Sebenarnya praktek kenegaraan itu dimana mana relatif sama, baik di negara Islam maupun di negara non Islam, yang beda adalah "ruh kenegaraannya". Sehingga negara Islam, pun boleh belajar dari praktek kenegaraan negara lain dalam menjaga jangan sampai ada orang yang korup dalam melaksanakan sistem Islam. Ini masalah kontrol individu/aparat, bukan masalah islamnya itu sendiri. Karena ada kemungkinan korupnya individu, maka hukum harus ditegakkan dan bersifat memaksa, harus ada “law enforcement”. Andai sudah ada kemungkinan manusia korup, hukumnya malah tidak ditegakkan, maka semakin besar kemungkinan korupnya.

BAGAIMANA MENJAMIN PRAKTIK-PRAKTIK POLITIK TIDAK KORUP? SEBAB, JIKA SAMPAI KORUP, BUKANKAH INI JUSTRU AKAN MENGHANCURKAN CITRA ISLAM ITU SENDIRI?

Jawab :

Islam tidak pernah tercoreng dengan korupnya pribadi pribadi yang melaksanakannya. Jutaan orang yang mengaku muslim ada yang menjadi pelacur, pencuri, perampok, pembunuh, apaka tindakan korup mereka mencoreng Islam? atau mencoreng harga diri mereka sendiri? Jutaan Nashrani menjadi perampok, pelacur, bahkan melakukan genocide massal terhadap satu bangsa, apakah tindakan korup mereka mencoreng citra Kristiani, atau mencoroeng bangsa itu sendiri? Orang yang bijak tidak pernah tergoda untuk melakukan extrapolasi naif seperti itu. Kesalahan orang tetap menjadi kesalahan orang. Adapun untuk menilai Islam, bukanlah dari ajarannya, harus dari konsepnya itu sendiri. Jadi ini merupakan dua hal yang berbeda. Dalam negara Islam di masa awal, misalnya pada dinasti Abbasiyyah, pernah terjadi praktek suram kenegaraan, tapi tidak merusak citra Islam. Justru hari ini di barat dan di timur, terjadi booming, ribuan oprang masuk Islam. Mereka tidak terhalang dengan adanya muslim yang korup. Mengapa takut dengan penerapan syari'at Islam, hanya karena khawatir ada kemungkinan orang yang korup. Justru karena ada kemungkinan korup tadi, syari'at Islam harus ditegakkan! Bukan sebaliknya. ( Diwawancarai Oleh Drs. Ahmad Syarif thn 2003)


[1] Bulughul Marom, Bab Jihad, hadits no 1288.

Minggu, 17 Agustus 2008

Koreksi Fiqih

FATWA ULAMA AHLUSSUNNAH TENTANG HUKUM TERLIBAT SECARA LANGSUNG DI DALAM PARLEMEN (SEBAGAI ANGGOTA DPR / DPRD)DI NEGARA SEKULER (NEGARA YANG TIDAK MEMBERLAKUKAN SYARI’AT ALLAH

Parlemen di negeri-negeri umat Islam yang ada sekarang, pada dasarnya merupakan hasil jiplakan parlemen di negara demokrasi, dan melakukan apa yang dilakukan oleh parlemen tersebut, seperti legislasi hukum, memberikan dan mencabut mandat kepada para penguasa, meski hanya simbolik. Karenanya, hukumnya sama, dalam konteks aktivitas yang dilakukannya, seperti aktivitas legislatif, memberikan dan mencabut mandat kepada para penguasa, menjadi anggota, mencalonkan diri menjadi anggota dan pemilihan para calon legislatif.

Parlemen ini melakukan legislasi sistem dan perundang-undangan non-Islam, bahkan bertentangan secara mendasar dengan Islam. Karena itu, parlemen tersebut melakukan legislasi sistem dan perundang-undangan Kufur, dan itu merupakan aktivitas yang diharamkan oleh Islam. Islam bahkan telah menganggapnya sebagai masalah penuhanan (rubûbiyyah). Allah SWT. berfirman: Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam (Q.s. at-Taubah: 31).

Islam juga telah menganggapnya sebagai bentuk berhukum kepada Taghut, yang justru kita telah diperintahkan agar mengingkarinya. Allah berfirman: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (Q.s. an-Nisa’: 60). Itu juga bisa dikatakan mengikuti jalan, bukan jalan orang Mukmin. Allah berfirman: Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.s. an-Nisa’: 115).

Disamping, karena itu merupakan aktivitas yang tidak sesuai dengan tuntunan kaum Muslim, maka aktivitas tersebut tertolak. Berdasarkan sabda Nabi saw. sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah, yang menyatakan: Rasulullah saw. bersabda: Siapa saja yang melakukan aktivitas, sementara aktivitas itu tidak sesuai dengan tuntunan kami, maka aktivitas itu akan tertolak.

Juga, karena memberikan mandat kepada para penguasa yang melaksanakan sistem dan undang-undang Kufur sama artinya dengan rela terhadap pemerintahan yang tidak berdasarkan apa yang telah diturunkan oleh Allah, dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa, mendukung orang-orang zalim. Dan, Allah telah mengharamkan semuanya itu kepada orang-orang Mukmin. Inilah hukum keterlibatan dalam aktivitas legislatif (pembuatan hukum) dan pemberian mandat kepada para penguasa di parlemen.

Adapun hukum pencalonan anggota majelis ini (Anggota DPR / MPR), maka harus dikaji terlebih dahulu; jika pencalonan tersebut dimaksud untuk menjadikan parlemen sebagai sarana untuk mengemban dakwah dalam rangka mengembalikan pemerintahan berdasarkan apa yang telah diturunkan oleh Allah (menegakkan pemerintahan Islam), atau sarana untuk mengoreksi pemerintahan—yang memerintah—berdasarkan hukum-hukum Kufur, atau mimbar untuk mengoreksi para penguasa berdasarkan hukum-hukum Islam, maka semuanya itu diperbolehkan, dan tidak ada masalah.

Namun, jika pencalonan tersebut dimaksud untuk mendapatkan keanggotaan dan bisa terlibat dalam seluruh proses yang dilakukan oleh parlemen, seperti aktivitas legislatif, pemberian mandat kepada para penguasa dan aktivitas-aktivitas lain, maka hal itu hukumnya haram, karena itu merupakan sarana yang mengantarkan pada keharaman—yaitu keterlibatan dalam membuat hukum-hukum Kufur dan pemberian mandat kepada orang-orang yang zalim— sedangkan sarana yang mengantarkan pada keharaman itu statusnya diharamkan.

Adapun hukum pemilihan calon anggota legislatif, maka harus dikaji terlebih dahulu; jika hal itu dilakukan untuk memilih orang yang dicalonkan dalam rangka menjadikan parlemen tersebut sebagai sarana dakwah kepada Islam untuk mengembalikan pemerintahan berdasarkan apa yang telah diturunkan oleh Allah (menegakkan pemerintahan Islam), atau untuk memerangi pemerintahan—yang memerintah—berdasarkan hukum-hukum Kufur, atau untuk mengoreksi para penguasa jika keputusannya bertentangan dengan syari’at Allah, maka hal itu diperbolehkan, dan tidak ada masalah. Namun, jika dilakukan untuk memilih orang yang ingin menjadi anggota parlemen, agar mereka bisa terlibat dalam proses yang dilakukan oleh parlemen, seperti aktivitas legislatif, pemberian mandat kepada para penguasa dan aktivitas-aktivitas parlemen yang lain, maka itu hukumnya haram.

Kaum Muslim juga tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam pemilihan mereka. Sebab itu merupakan sarana yang mengantarkan pada keharaman, dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan, sementara sarana yang akan mengantarkan pada keharaman hukumnya diharamkan. Demikian juga tolong-menolong dalam perbuatan dosa juga telah diharamkan oleh Islam. Allah berfirman: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (Q.s. al-Maidah: 02).

Menjawab Syubhat Salafyuun


LEGALITAS HUKUM SYARI'AT ATAS OPERASI SYAHADAH
( BOM SYAHID )
oleh : Asy-Syaikh DR. Yusuf l Qardhawi
Banyak orang bertanya-tanya setelah pemboman terakhir yang terjadi di kota Al Quds, Tel Aviv dan Asqalan. Di mana orang-orang Yahudi terbunuh didalamnya karena operasi syahadah yang dilancarkan oleh pemuda-pemuda HAMAS Mereka bertanya tentang hukum operasi ini yang mereka namakan sebagai "Bom Bunuh Diri". Apakah ini termasuk jihad fisabilillah, atau salah satu bentuk teroris? Apakah para pemuda yang mengorbankan dirinya itu termasuk para syahid atau disebut orang yang bunuh diri, karena mereka membunuh dirinya sendiri dengan ulah sendiri pula? Apakah perbuatan mereka itu termasuk dalam kategori menjerumuskan diri ke dalam kehancuran yang telah dilarang oleh Al Qur'an dalam sebuah ayatnya yang artinya:"Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan." (QS. Al Baqarah: 195).

Saya ingin katakan di sini bahwa operasi-operasi ini adalah termasuk cara yang paling jitu dalam jihad fisabilillah. Dan ia termasuk bentuk teror yang diisyaratkan dalam Al Qur'an dalam sebuah firman Allah Ta'ala : "Dan persiapkanlah kekuatan apa yang bisa kamu kuasai dan menunggang kuda yang akan bisa membuat takut musuh-musuh Allah dan musuhmu." (QS. Al Anfal: 60).
Penamaan operasi ini dengan nama "bunuh diri" adalah sangat keliru dan menyesatkan. Ia adalah operasi tumbal heroik yang bernuansa agamis, ia sangat jauh bila dikatakan sebagai usaha bunuh diri. Juga orang yang melakukannya sangat jauh bila dikatakan sebagai pelaku bunuh diri.

Orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri. Sementara pejuang ini mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri itu adalah orang yang pesimis atas dirinya dan atas ketentuan Allah, sedangkan pejuang ini adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju kepada rahmat Allah SWT.

Orang yang bunuh diri itu ingin menyelesaikan dari dirinya dan dari kesulitannya dengan menghabisi nyawanya sendiri, sedangkan seorang mujahid ini membunuh musuh Allah dan musuhnya dengan senjata terbaru ini yang telah ditakdirkan menjadi milik orang-orang lemah dalam menghadapi tirani kuat yang sombong. Mujahid itu menjadi bom yang siap meledak kapan dan di mana saja menelan korban musuh Allah dan musuh bangsanya, mereka (baca: musuh) tak mampu lagi menghadapi pahlawan syahid ini. Pejuang yang telah menjual dirinya kepada Allah, kepalanya ia taruh di telapak tangan-Nya demi mencari syahadah di jalan Allah. Para pemuda pembela tanah airnya, bumi Islam, pembela agama, kemuliaan dan umatnya, mereka itu bukanlah orang-orang yang bunuh diri. Mereka sangat jauh dari bunuh diri, mereka benar-benar orang syahid. Karena mereka persembahkan nyawanya dengan kerelaan hati di jalan Allah; selama niatnya ikhlas hanya kepada Allah saja; dan selama mereka terpaksa melakukan cara ini untuk menggetarkan musuh Allah Ta'ala, yang jelas-jelas menyatakan permusuhannya dan bangga dengan kekuatannya yang didukung oleh kekuatan besar lainnya. Mereka bukan orang-orang yang bunuh diri, bukan pula teroris, namun mereka melawan, perlawanan yang sah, melawan orang yang menduduki buminya. Mereka yang telah mengusirnya dan keluarganya, merampas hak-haknya dan menyita masa depannya. Musuh itu masih terus melakukan permusuhannya kepada mereka, sementara agama mereka memerintahkan untuk membela dirinya, dan melarangnya untuk mundur dari buminya, yang itu termasuk bumi Islam.

Juga aktivitas para pahlawan itu bukan tergolong menjerumuskan diri ke dalam kehancuran, seperti apa yang dipandang oleh sebagian orang awam. Bahkan perbuatan mereka itu termasuk perbuatan yang terpuji dalam jihad, dan sah menurut syari'at Islam. Dimaksudkan untuk bisa mengalahkan musuh, membunuh anggota musuh, menancapkan rasa takut kepada mereka dan mendorong kaum muslimin untuk berani menghadapi musuh-musuhnya.

Masyarakat Zionis adalah masyarakat militer, kaum lelaki dan wanitanya adalah prajurit dalam angkatan bersenjata, yang kapan saja bisa dipanggil segera. Jika seorang anak atau orang tua terbunuh dalam operasi ini, ia tidak bermaksud membunuhnya, namun masuk dalam kategori darurat perang. Dan segala yang darurat itu bisa membolehkan yang terlarang. Berikut ini akan saya sampaikan pendapat para ahli fiqh dalam masalah ini dan pendapat para mufasir mengenai firman Allah Ta'ala : Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al Baqarah: 195).

PENDAPAT IMAM AL JASSHASH, DARI MADZHAB HANAFI

Imam Al Jasshash, dari madzhab Hanafi, dalam kitabnya Ahkam Al Qur'an menyatakan bahwa tafsiran ayat 195 dalam surat Al Baqarah itu ada beberapa pandangan:

Pertama: apa yang diceritakan oleh Muhammad bin Abi Bakr, ia berkata: diceritakan dari Abu Dawud, ia berkata: diceritakan dari Ahmad bin 'Amr bin Al Sarh, ia berkata: diceritakan dari Ibn Wahb dari Haiwah bin Syuraih dan Ibn Luhai'ah bin Yazid bin Abi Hubaib dari Aslam Abi Umar, bahwa ia berkata: Kami pernah menyerang kota Kostantinopel, dalam rombongan perang itu ada Abdurrahman bin Al Walid. Sedangkan orang-orang Romawi saling menyandarkan punggung-punggungnya ke tembok kota. Lalu ada seseorang yang di bawah menghampiri pihak musuh, "tunggu, tunggu….! Laa Ilaaha Illallah! Ia mau menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kehancuran!" kata beberapa orang. Kemudian Abu Ayyub berkomentar:"Ayat ini tak lain diturunkan kepada kami, kaum Anshar, ketika Allah SWT memberikan pertolongan kepada Nabi-Nya dan memenangkan agama Islam, lalu kami berkata:"Ayo kita tegakkan harta kekayaan kita dan memperbanyaknya. Lalu turunlah ayat yang artinya:"Dan belanjakanlah pada jalan Allah, dan jangan menjerumuskan diri kamu ke dalam kebinasaan." (QS. Al Baqarah: 195). Maka arti menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan itu artinya adalah memperbanyak harta dan meninggalkan jihad." Abu Imran berkata:"Abu Ayyub masih saja berjihad di jalan Allah hingga dimakamkan di Kostantinopel." [i] Abu Ayyub menceritakan bahwa menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan itu adalah meninggalkan jihad fisabilillah, dan ayat yang menunjukkan hal itu sudah diturunkan. Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari Ibn Abbas, Hudzaifah, Hasan Al Bashri, Qatadah, Mujahid dan Al Dhahak. Diriwayatkan dari Al Barra' ibn Azib dan Ubaidah Al Salmani: bahwa menjerumuskan ke dalam kebinasaan itu adalah pesimis dengan ampunan karena melakukan kemaksiatan.

Kedua: Berlebih-lebihan dalam berinfaq sampai tidak bisa makan dan minum sampai akhirnya binasa.

Ketiga: Menerobos perang langsung tanpa bermaksud menyerang musuh. Inilah yang diartikan oleh beberapa orang dalam riwayat di atas yang kemudian ditentang oleh Abu Ayyub sambil menyertakan sebab turunnya ayat tersebut.

Ketiga pandangan itu bisa memenuhi arti yang dimaksud oleh ayat di atas karena ada kemungkinan-kemungkinan atas lafadznya. Atau bisa dikorelasikan antara keduanya tanpa harus ada kontradiksi didalamnya.

Adapun tafsiran yang mengatakan bahwa maksudnya adalah seseorang dibawa di arena musuh, maka Muhammad bin Al Hasan pernah menyebutkan dalam Al Siyar Al Kabir: "kalaupun ada seseorang dibawa kepada seribu orang, ia sendiri tidak ada masalah, jika ia ingin selamat atau menyerang. Namun jika tidak ingin selamat dan tidak pula menyerang, maka saya tidak setuju karena ia menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan tanpa ada manfaat buat kaum muslimin. Sedangkan jika ia tidak mau selamat atau tidak mau menyerang, tapi ingin membuat kaum muslimin lebih berani dan melakukan seperti apa yang ia lakukan sampai mereka terbunuh dan bisa membunuh musuh, maka hal itu tidak apa-apa, insya Allah. Karena kalaupun ia ingin menyerang musuh dan tidak ingin selamat, maka saya melihatnya tidak apa-apa untuk dilemparkan kepada musuh. Begitu pula jika ia menyerang yang lainnya dalam kelompok tersebut, maka itupun tidak apa-apa. Dan saya mengharap perbuatannya itu dapat pahala. Yang tidak boleh itu adalah sebagai berikut: jika dilihat dari beberapa sudut pandang, perbuatan itu tidak ada manfaatnya, walaupun ia tidak ingin selamat dan tidak mau menyerang. Namun jika perbuatan itu membuat takut musuh, maka hal itu tidak apa-apa karena cara ini adalah cara yang paling tepat dalam menyerang, dan juga sangat bermanfaat bagi kaum muslimin".

Imam Al Jasshash berkata: Apa yang dikatakan oleh Muhammad tentang pendapat-pendapat itu adalah benar, dan tidak ada pendapat yang lain lagi. Maka tafsiran dalam riwayat Abu Ayyub yang mengatakan bahwa ia menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan, itu ditafsirkan dengan membawanya kepada pihak musuh, karena bagi mereka hal itu tidak ada manfaatnya. Jika memang begitu maka tidak boleh ia memusnahkan dirinya tanpa ada manfaat bagi agama dan bagi kaum muslimin. Namun jika dalam pemusnahan diri itu ada manfaat bagi agama, maka ini adalah kedudukan yang sangat mulia. Karena Allah SWT telah memuji para shahabat Nabi SAW yang melakukan hal itu dalam banyak firman-Nya. Diantaranya adalah: Firman Allah Ta'ala : "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh." (QS. At Taubah: 111). "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki." (QS. Ali Imran: 169). "Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah." (QS. Al Baqarah: 207).

Imam Al Jasshash melanjutkan:"Oleh karena itu hukum amar ma'ruf nahi munkar harus berbentuk ketika ia menginginkan kemanfaatan bagi agama, lalu mengorbankan jiwanya sampai terbunuh, maka ia mendapatkan kedudukan syuhada yang paling tinggi. Karena Allah SWT berfirman : "Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS. Luqman: 17).

Telah meriwayatkan Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:"Semulia-mulia syahid adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan orang yang berbicara dengan kalimat yang benar di hadapan penguasa tiran lalu ia terbunuh." [ii] Abu Sa'id Al Khudri meriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda yang artinya: "Jihad yang paling mulia adalah berkata yang benar dihadapan penguasa tiran." [iii] Imam Al Jasshash di sini menyebutkan hadits Abu Hurairah yang artinya: "Sejelek-jelek orang adalah yang sangat kikir dan sangat penakut." [iv] Imam Al Jasshash menambahkan lagi:"Cara menanggulangi sifat penakut adalah dengan memunculkan dalam dirinya sifat berani yang akan membawa manfaat bagi agama walaupun ia tahu itu akan membawa malapetaka." Wallahu A'lam Bish Shawab. [v]

PENDAPAT IMAM AL QURTHUBI, DARI MADZHAB MALIKI

Imam al Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan: Ulama telah berbeda pendapat tentang masuknya seseorang dalam perang dan melawan musuh dengan sendirian. Maka Al Qasim bin Mukhirah dan Al Qasim bin Muhammad, termasuk ulama kami, berpendapat: Tidak apa-apa satu orang berhadapan dengan pasukan besar jika memang ada kekuatan dan niat ikhlas hanya kepada Allah saja. Jika tidak mempunyai kekuatan maka itu namanya kebinasaan."

Pendapat lain: jika ada yang ingin mati syahid dan niatnya ikhlas, maka boleh dibawa. Karena tujuannya adalah salah satu dari musuhnya, dan hal itu sudah jelas dalam firman Allah Ta'ala yang artinya:"Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya demi mencari keridhaan Allah." (QS. Al Baqarah: 207).

Ibn Khuwaiz Mindad berkomentar: Adapun satu orang dibawa melawan seratus orang atau sejumlah kekuatan pasukan perang, atau kelompok pencuri dan penjegal, maka ada dua kondisi: pertama, ia tahu dan kemungkinan besar terbunuh. Tapi ia selamat, maka itu yang terbaik. Kedua, begitu juga kalau ia tahu dan kemungkinan besar akan terbunuh, tetapi ia akan menyerang atau terluka, atau bisa memberikan pengaruh yang cukup berarti bagi kaum muslimin, maka itupun diperbolehkan juga. Sebab telah sampai kepadaku berita bahwa pasukan umat Islam tatkala bertemu dengan pasukan Persia, kuda-kuda kaum muslimin lari dari pasukan gajah. Lalu ada seseorang dari mereka sengaja membikin gajah dari tanah, agar kudanya bisa jinak tidak liar lagi saat melihat gajah. Esok harinya, kudanya sudah tidak liar lagi melihat gajah, lalu dihadapkan kepada gajah yang kemarin menghadangnya. Ada orang yang berkata:"Ia akan membunuhmu!", "Tidak apa-apa saya terbunuh asalkan kaum muslimin menaklukkan Persia!"jawabnya kemudian. Begitu juga pada peristiwa perang Yamamah, tatkala Bani Hudzaifah bertahan diri di kebun-kebun milik mereka, ada seseorang yang berkata kepada pasukan:"Taruh aku di dalam sebuah perisai dan lemparkan ke arah musuh!" Segerelah anggota pasukan muslimin melemparkannya ke dalam kebun, lalu bertarunglah ia sendirian sampai akhirnya bisa membuka pintu kebun.

Imam Qurthubi melanjutkan ucapannya: Dari sisi ini, ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa ada seseorang bertanya kepada Nabi SAW: "Ya Rasulullah, menurut baginda apakah yang aku dapatkan jika aku berjihad di jalan Allah dengan sabar dan mengharap ridha Allah?", "Kamu akan mendapatkan surga." jawab Nabi SAW. Lalu orang itu terjun menerobos pasukan musuh hingga terbunuh. [vi] Dalam shahih Muslim, dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW menarik mundur tujuh orang Muhajirin dan dua orang dari Anshar. Ketika orang-orang Quraisy mendesaknya, beliau berkata:"Siapa yang berani menghadang mereka, ia akan mendapatkan surga?". Lalu seorang dari Anshar maju ke depan melawan mereka hingga ia terbunuh. Satu persatu mereka lakukan hal yang sama, sampai ketujuh-tujuhnya mati syahid semuanya. Kemudian Nabi SAW berkata:"Shahabatku belum melakukan peperangan yang sebenarnya!". Ucapan beliau itu ditujukan kepada para shahabat yang lari tidak menjaga beliau saat diserang oleh pasukan Quraisy. Wallallahu A'lam bish Shawab.

Kemudian Imam Qurthubi menyebutkan ucapan Muhammad bin Al Hasan: Kalaupun satu orang dibawa berhadapan dengan seribu orang kaum musyrik sendirian, itu tidak mengapa jika memang ia ingin selamat atau menyerang musuh. Namun jika sebaliknya, hal itu dibenci (makruh), karena ia mempersilahkan dirinya untuk binasa tanpa memberikan manfaat buat kaum muslimin……. Dan seterusnya. [vii]

PENDAPAT IMAM AR RAZI, DARI MADZHAB SYAFII

Imam Ar Razi berkata dalam tafsirnya: yang dimaksud dengan firman Allah Ta'ala:"Janganlah kamu menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan" adalah janganlah kamu melakukan serangan kepada musuh dalam sebuah peperangan yang tidak menghasilkan manfaat apa-apa. Dan kamu tidak memiliki tebusan selain membunuh dirimu sendiri, kalau seperti itu maka tidak boleh. Yang diperbolehkan itu adalah jika sangat berhasrat sekali untuk menyerang, walaupun ia takut terbunuh. Sedangkan jika ia pesimis dengan penyerangan dan kemungkinan besar ia nanti terbunuh, maka ia tidak boleh melakukan hal itu. Pendapat ini disampaikan oleh Al Bara' bin Azib. Dinukil dari Abu Hurairah bahwa ia mengomentari ayat ini dengan ucapannya:"Ia adalah orang yang independen di antara dua kubu". Imam Ar Razi melanjutkan: di antara orang ada yang mengartikan salah, yaitu dengan mengatakan: pembunuhan semacam ini tidak haram dengan menggunakan beberapa dalil, diantaranya:

Pertama: diriwayatkan bahwa ada seorang dari kaum Muhajirin dibawa berhadapan dengan musuh sendirian, kemudian orang-orang meneriakinya:"Ia menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan!". Lalu Abu Ayyub Al Anshari menjelaskan duduk perkaranya seperti yang disampaikan oleh Imam Al Jashash di atas.

Kedua: Imam Syafii meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah menyebutkan surga, kemudian ada seorang dari Anshar berkata:"Ya Rasulullah, bagaimana jika aku terbunuh karena kesabaran dan mengharap ridha Allah semata?", "Untukmu surga!"jawab Rasul. Kemudian lari menyerbu ke pasukan musuh hingga syahid dihadapan Rasulullah SAW. Juga ada seorang Anshar melemparkan baju besinya saat mendengar Rasulullah SAW menyebutkan surga tadi, lalu menyerang musuh sampai ia terbunuh.

Ketiga: Diriwayatkan bahwa ada seorang dari Anshar yang tidak ikut perang Bani Muawiyah. Kemudian ia melihat burung bergerombol dekat dengan temannya yang meninggal. Lalu ada seseorang yang bersamanya segera berkata:"Saya akan maju melawan musuh agar membunuhku, dan aku akan ikut perang yang didalamnya teman-temanku terbunuh!". Orang itupun melakukannya, kemudian cerita itu diceritakan kepada Nabi SAW yang kemudian ditanggapinya dengan positif.

Keempat: Diriwayatkan ada suatu kaum sedang mengepung benteng, lalu ada seseorang berperang hingga meninggal. Dikatakan bahwa orang yang meninggal itu menjerumuskan dirinya sendiri kepada kebinasaan. Berita itu terdengar oleh Umar bin Khatab ra. Kemudian beliau mengomentarinya:"Mereka itu bohong. Bukankah Allah SWT sudah berfirman dalam Al Qur'an (yang Artinya):"Dan di antara manusia ada yang menjual dirinya untuk mencari keridhaan Allah." Adapun orang yang mendukung tafsiran ini menjawab dalil-dalil di atas dengan mengatakan: kami hanya melarang hal itu jika tidak ada bentuk serangan (perlawanan) kepada musuh, tapi kalau serangan itu ada maka kami membolehkannya. [viii]

PENDAPAT IBNU KATSIR DAN IMAM THABARI

Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Al Bara' bin Azib Al Anshari:"Jika aku dibawa dihadapkan kepada musuh lalu mereka membunuhku, apakah aku masuk dalam kategori menjerumuskan diri ke dalam kebinasan?", "Tidak!"jawabnya, lalu melanjutkan:"Allah Ta'ala telah berfirman kepada Rasul-Nya (yang artinya):"Maka berperanglah di jalan Allah sebab tidak dibebani selain dirimu sendiri." Ayat "menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan" itu dalam bab nafakah, maksudnya tidak memberikan nafakah (infaq) dalam jihad. [ix]

Imam Thabari meriwayatkan dengan sanadnya sendiri dalam tafsirnya, dari Abu Ishaq Al Subay'i berkata: Aku bertanya kepada Al Bara' bin Azib (shahabat):"Wahai Abu Immarah, ada seseorang yang berhadapan dengan seribu musuh sendirian. Biasanya kondisi semacam ini, orang yang sendirian ini selalu kalah dan terbunuh. Apakah tindakan ini termasuk dalam kategori firman Allah Ta'la:"Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan"?, "Tidak, ia berperang sampai terbunuh. Karena Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya:"Maka berperanglah di jalan Allah, karena tidak dibebankan kecuali dirimu sendiri." (QS. An Nisa': 84).

PENDAPAT IBNU TAIMIYAH

Pendapat yang hampir sama juga dikemukan oleh Ibn Taimiyah dalam kitab "Fatawa" nya tentang memerangi kaum Tatar. Berdasarkan dalil dari riwayat Imam Muslim dalam kitab "Shahih" nya dari Nabi SAW tentang kisah Ashhabul Ukhdud. Cerita itu mengkisahkan seorang bocah memerintahkan (kepada sanga raja) untuk membunuh dirinya, demi kemenangan agama (yang diyakininya) ketika meminta kepada algojo-algojo raja agar membaca: Bismillah Rabbi Ghulam (Dengan nama Allah, Tuhan boah ini) saat melemparkan panah ke arahnya. Ibn Taimiyah melanjutkan: Oleh karena itu para Imam yang empat memperbolehkan seorang muslim menyerbu sendirian dalam kubu pasukan musuh, walaupun kemungkinan besar mereka akan membunuhnya. Jika memang di situ ada kemaslahatan bagi kaum muslimin. Kami telah beberkan panjang lebar masalah ini dalam beberapa tema yang lain. [x]

PENDAPAT IMAM ASY SYAUKANI

Imam Asy Syaukani dalam tafsirnya "Fath Al Qadir" menjelaskan: yang benar dalam masalah ini adalah dengan memegang pada keumuman lafadz, bukan sebaliknya memegang teguh pada kasuistis (sebab turun ayat). Maka segala apa yang masuk dalam artian kebinasaan di dalam agama atau dunia, itu masuk dalam kategori ini. Termasuk dalam kategori ayat adalah masalah berikut: bila seseorang menyerbu dalam peperangan lalu dibawa berhadapan dengan pasukan besar, padahal ia yakin tidak bakal selamat dan tidak bisa mempengaruhi semangat perjuangan kaum muslimin. [xi]

PENDAPAT PENULIS TAFSIR AL MANAR

Di era modern ini, Syeikh Rasyid Ridha dalam tafsirnya "Al Manar" menyebutkan: termasuk dalam kategori larangan adalah ikut dalam peperangan namun tidak tahu (mengerti) strategi perang yang dipakai oleh musuh. Termasuk juga segala pertarungan yang tidak dibenarkan oleh syari'at, misalnya hanya ingin mengikuti nafsu belaka, bukan untuk menolong dan mendukung suatu kebenaran. [xii] Pemahaman ini menunjukkan bahwa pertarungan yang diperhitungkan dan dibenarkan oleh syari'at adalah yang bisa menakut-nakuti musuh Allah dan musuh kita bersama. Juga menginginkan kemenangan al haq bukan sekedar mengikuti hawa nafsu belaka. Maka hal ini tidak termasuk dalam menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan.
******
Saya (Qardhawi) yakin kebenaran itu sudah sangat jelas sekali, cahaya pagi itu sudah nampak bagi yang punya indera. Semua pendapat di atas membantah mereka yang mengaku-aku pintar, yang telah menuduh para pemuda yang beriman kepada Tuhannya kemudian bertambah yakin keimanannya itu. Mereka telah menjual dirinya untuk Allah, mereka dibunuh demi mempertaruhkan agama-Nya. Mereka menuduhnya telah membunuh diri dan menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan. Mereka itu, insya Allah, adalah para petinggi syahid di sisi Allah. Mereka adalah elemen hidup yang menggambarkan dinamika umat, keteguhannya untuk melawan, ia masih hidup bukan mati, masih kekal tidak punah. Seluruh apa yang kami minta di sini adalah: seluruh operasi itu dilakukan setelah menganalisa dan menimbangkan sisi positif dan negatifnya. Semua itu dilakukan melalui perencanaan yang matang sekali di bawah pengawasan kaum muslimin yang mumpuni . Kalau mereka melihat ada kebaikan, segera maju dan bertawakkal kepada Allah. Karena Allah SWT berfirman yang artinya:"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah itu Maha Agung dan Maha Bijaksana." (QS. Al Anfal: 49).
--------------------------------------------------------------------------------
[i]. Hadits ini dinisbatkan oleh Ibn Katsir kepada Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa'I, Abu Ya'la dan Ibnu Hibban dalam shahihnya, juga kepada Al Hakim dengan syarat Syaihain dan yang lain-lainnya. Lihat: Tafsir Ibn Katsir: 1/228-229. cetakan El Helbi.
[ii]. Diriwayatkan oleh Al Hakim dan dishahihkannya pula, namun Imam Al Dzahabi menolaknya. Sebaliknya dishahihkan oleh Imam Albani dari jalan Al Khatib dalam kitab "Tarikh" nya. Lihat "Silsilah AHadits Shahihah (374)" dengan lafadz:"Tuannya para syahid adalah Hamzah, dan orang yang berhadapan dengan pemimpin tirani, lalu ia memerintah dan melarang pemimpin tersebut, tapi malah ia dibunuh olehnya."
[iii]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibn Majah melalui jalan Athiyyah Al Ufiy. Tirmidzi berkomentar: Hadits ini Hasan Gharib. Imam Nasa'I juga meriwayatkannya dengan sanad yang shahih, seperti ucapan Al Mundziri, dari Thariq bin syihab. Lihat: Al Muntaqa (1364).
[iv]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2511), Ahmad (7977), dishahihkan oleh Syeih Ahmad Syakir dan Ibn Hibban dalam shahihnya.
[v]. Ahkam Al Qur'an, Abu Bakr Al Jashash: 1/262-263.
[vi]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Jihad, bab Perang Uhud; 3/1415 dan 1789.
[vii]. Tafsir Al Qurthubi; 3/363. Daar El Misriyyah
[viii]. Tafsir Al Fahr Razi; 2/148.
[ix]. Tafsir Ibn Katsir; 1/229. cet. El Helbi.
[x]. Lihat Majmu' Fatawa Syeikhil Islam Ibn Taimiyah; 28/540.
[xi]. Fath el Qadir, Asy Syaukani; 1/262. cet; Daar el Wafa', Mesir
[xii]. Tafsir Al Manar; 2/213.