Rabu, 06 Agustus 2008

Artikel (1)

REVOLUSI ISLAM
DALAM PANDANGAN IMAM
S.M. KARTOSOEWIRJO
DAN PERANG YANG DIPAKSAKAN ATAS NII
(Bagian Pertama)
Oleh : Ust. DR. Rahmat Abdullah, MA.
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Martin Van Bruinessen, seorang ilmuwan Belanda, sempat menjadi Dosen Tamu di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, pernah menulis dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran: “Dan bagaimana dengan Darul Islam dan Gerakan Usroh? Dua-duanya dapat dianggap gerakan sempalan juga, baik dalam arti bahwa mereka tidak dibenarkan oleh lembaga-lembaga agama resmi, maupun dalam arti bahwa mereka memisahkan diri dari mayoritas. Namun saya tidak pernah mendengar kritik mendasar terhadap aqidah dan ibadah mereka. Yang dianggap sesat oleh mayoritas ummat adalah amal politik mereka. Seandainya pada tahun 1950-an bukan Republik yang menang tetapi Negara Islam Indonesia-nya Kartosoewirjo, merekalah yang menentukan ortodoksi dan mainstream Islam. Tidaklah mustahil dalam hal itu, sebagian mainstream Islam sekarang ini oleh mereka akan dianggap “sempalan”.”[1]
Mengelompokkan satu pihak sebagai sempalan atau tidak bukan masalah yang gampang, sebab akan disusul dengan pertanyaan lain, menyempal dari mana? Mana aliran induknya (mainstream), dan yang mana yang memperoleh pengakuan sebagai pemegang orthodoksi? Tanpa tolok ukur ortodoksi, istilah “sempalan” menjadi tidak ada artinya, kita pertama tama harus mendefinisikan mainstream yang ortodoks (asli).
Sebagaimana diketahui, sepanjang sejarah Islam telah terjadi berbagai pergeseran dalam paham dominan, dan ini dipengaruhi oleh situasi politik yang terjadi. Suatu pemahaman bisa berkembang, dari minoritas yang dianggap menyempal, kemudian berkembang dan memperoleh pengakuan setahap demi setahap dan akhirnya menjadi bagian dari mainstream.
Contoh yang paling tepat adalah gerakan Islam reformis Indonesia awal abad ini: Al Irsyad dan muhammadiyyah, atau bahkan apa yang disebut Bruinessen sebagai gerakan pemurni yang paling tegas di Indonesia: Persatuan Islam (Persis)[2], pada mulanya organisasi-organisasi ini dianggap sempalan karena dengan tegas menentang ‘ortodoksi’ para ulama, namun kemudian kaum tua terpaksa mengakui keberadaannya. Pertanyaan kita adalah: “Adakah kemungkinan gerakan yang dianggap sempalan hari ini juga berpotensi menjadi ortodoksi di masa depan?” Ini ditentukan dengan kekuatan mereka melaksanakan nilai-nilai yang dianutnya dan membuat ia diterima masyarakat. Ini adalah persoalan keshahihan ilmu dan perjuangan untuk mensosialisasikannya.
Dalam banyak hal -kata Bruinessen- ortodoksi adalah paham yang didukung oleh penguasa, sedangkan paham yang tidak disetujui dicap sesat; gerakan sempalan seringkali merupakan penolakan paham dominan dan protes sosial atau politik sekaligus.[3] Namun jika semata mata didasarkan pada mayoritas dan tidak mayoritas, maka definisinya menjadi tidak pernah tetap. Sehingga mau tidak mau, kita harus kembali kepada nilai yang paling tinggi, yakni Al Quran, dimana diantara kriteria kesesatan adalah, bertahkim kepada thoghut:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dankepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thoghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu. Dan Syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (Q.S.4:60).
Dan risalah semua Rosul adalah memisahkan ummat dari thoghut, terpimpin dan sesat ditandai dengan sejauhmana mereka bergerak menjauhi thoghut dan berpihak kepada Allah:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rosul pada tiap-tiap ummat(untuk menyerukan): “Sembahlah Allah saja dan jauhilah thoghut!” maka di antara ummat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rosul-rosul).” (Q.S. 16:36).
Bahkan kembali kepada Allah (taubat – inabah) juga baru sempurna bila dibuktikan dengan menjauhi thoghut: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku”
Apakah thoghut itu, mengapa menjadi sedemikian penting sehingga berada dan keluar dari lingkungan thoghut, menjadi ukuran sesat dan tidaknya seseorang? Terjemah Depatemen Agama RI yang sekarang dianggap pemegang ‘ortodoksi’, arti thoghut diantaranya : orang yang menetapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu (catatan kaki no. 312). Kemudian ketika menjelaskan hablum minallah dan hablum minan nas: perlindungan yang ditetapkan dalam Al Quran dan Pemerintahan Islam atas mereka. (catatan kaki no. 218).
Dalam pandangan orang Darul Islam, yang sesat adalah yang tetap berada dan mendukung hukum-hukum bukan Islam, yang tidak berhablum minannas adalah mereka yang berada di luar pemerintahan Islam. Dan lucunya, karena berkeyakinan seperti inilah mereka dinilai sebagai kelompok sesat dan sempalan. Inilah perjuangan untuk menginterpretasikan keadaan. Benar kata Bruinessen, andai saja di tahun 1950-an Negara Islam Indonesia menang, maka mana yang sesat dan mana yang menyempal akan berbeda dengan yang hari ini berkembang di masyarakat.
Sampai dengan tahun 1963 Negara Islam Indonesia adalah perjuangan menegakkan hukum Allah dengan akhlaq yang mulia di wilayah yang telah dibebaskannya, tidak ada penafsiran yang aneh-aneh, semata mata berusaha menegakkan Al Quran dan hadits shohih. Kaum Darul Islam tidak memiliki aqidah yang tersendiri, satu-satunya perbedaan denan muslimin yang lain, adalah karena mereka dipaksa mengangkat senjata untuk mempertahankan negaranya.
Namun pasca 1963, setelah angkatan bersenjatanya dilumpuhkan (TII) mulailah ada usaha musuh untuk merusak NII dari sisi doktrinnya, orang-orang yang bukan ulama, bahkan anti Negara Islam mulai menyelinap masuk dan pura-pura mendakwahkan NII. Apa yang bisa diharapkan dari penyeru yang menyimpan benci terhadap negara Islam? Muncul lah penafsiran yang aneh-aneh, bahwa Indonesia kembali ke posisi Makkah Jahiliyyah sebelum turun wahyu, belum ada perintah sholat, kerudung tidak wajib sampai nanti Nusantara memasuki era Madinah. Demikian juga dengan pandangan yang menggumpal: diluar warga NII, kafir semuanya, halal harta dan darahnya, dilarang menikah dengan bukan warga NII, dilarang berhubungan dagang dengan orang kafir, sekalipun mereka mengaku muslim. Kalaupun mereka masih menegakkan sholat, tapi dilarang bermakmum kepada non Darul Islam, jangan sholat di masjid-masjid mereka, sebab semuanya adalah masjih dhiror!
Sungguh suatu pemahaman yang baru, yang tidak pernah ada di era 1949 – 1963, dengan tegas Hukum Pidana Negara Islam Indonesia mengancam orang yang meninggalkan sholat dengan hukuman berat:
Pasal 24, Tarikh'sh -- Shalah (T)
1. Siapa orang yang meninggalkan shalat dengan beriqad tidak mewajibkan shalat,dijatuhi hukuman sebagaimana yang termaktub dalam pasal 23, ayat 1, 2, dan 3.
2. Siapa yang sengaja meninggalkan shalat denagn beri'tiqad bahwa shalat itu tidak wajib, maka Imam wajib memerintahkan shalat.
3. Kalau ia tidak mau menurut, ia dijatuhi hukuman berat (dibunuh mati).
4. Orang yang meninggalkan shalat karena lupa atau tertidur, tidak ada hukumannya, hanya diwajibkan membayar shalatnya.
5. …..
Demikian juga, seperti ditegaskan Imam Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, bahwa Imam asy syahid tidak menghukumi muslimin yang tinggal di daerah Republik Indonesia sebagai kafir, malah mereka diseru agar menjadi muslimin yang bertanggung jawab dengan negara Islam. Hal ini ditegaskan dalam Maklumat Imam no 6, tanggal 20 Safar 1368 H, 21 Desember 1948 M.:

3.Djangan dikira, bahwa dengan djatoehnja Pemerintah Repoeblik (Soekarno-Hatta) dan ditanda tanganinja soeatoe naskah sematjam jang diramalkan diatas, keadaan akan aman dan tenteram, rak’jat akan makmoer dan soeboer.Tidak, sekali-kali tidak! Melainkan djatoehnja Pemerintah Repoeblik Soekarno-Hatta dan pil-pahit jang terpaksa ditelan oleh ra’jat itoe, insja Allah bagi Oemmat Islam, jang masih berideologi Islam, akan mendjadi sebab bangkit dan bergeraknja, mengangkat sendjata, menghadapi moesoeh djahanam.
Oleh sebab itoe, tiada djalan lain bagi Oemmat Islam Bangsa Indonesia, istimewa jang tinggal di daerah Repoeblik, melainkan: sanggoep menerima Koernia Allah, melakoekan Djihad fi Sabilillah, melakoekan Perang Soetji, bagi mengenjahkan segenap moesoeh Islam, moesoeh Negara dan moesoeh Allah, dan ,,Last but not least” mendirikan Negara Koernia Allah, ialah: Negara Islam Indonesia.
Seroean kami: Boelatkanlah niat soetji, niat membela Agama, Negara dan Oemmat, dengan tekad ,,Joeqtal aoe Jaghlib” dan dengan kejakinan jang tegoeh, bahwa Allah akan memberi perlindoengan kepada orang-orang dan Bangsa serta Oemmat jang memperdjoeangkan Agama-Nja. Insja Allah.

Jika demikian halnya, maka hubungan ritus diniyah antara dua warga-negara ini, seperti sholat, nikah dan sebagainya, tidak haram. Bahkan justru lewat hubungan ini, bisa membawa muslimin bangsa Republik Indonesia sadar akan nilai-nilai penghayatan Islam yang dimiliki muslimin Bangsa Islam Indonesia (warga NII). Tentunya hubungan ini harus menghasilkan interaksi yang positif, membuat muslimin warga darul kufur menyadari keharusan untuk berpihak pada darul Islam, bukan sebaliknya. Bila pada kasus tertentu ada individu yang karena kurang wawasan malah terseret mundur, maka berjaga-jaga dan waspada dari kemungkinan ini memang diperlukan. Tapi bukan dengan jalan mengkafirkan muslimin yang masih tinggal di darul kufur tersebut, demikian, harap jelas!
Lantas darimanakah mengapa muncul paham-paham yang sesat dan menyesatkan yang diatas-namakan NII, siapa dalang yang memproduk kesesatan itu? Diperlukan pemahaman atas sejarah, sehingga pembaca bisa mengenal dari mana kesesatan itu berasal dan sejak kapan.

"Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, 18. Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal." (Qs. 39 : 17-18).


[1] Jurnal Ulumul Quran Volume III, No.1 th 1992, hal. 18
[2] ibid hal. 22.
[3] ibid hal. 17.

Tidak ada komentar: