Kamis, 07 Agustus 2008

Kajian Fiqih


MENSIKAPI MUSLIMIN YANG BERPIHAK PADA DARUL KUFR,
SERTA HUKUM MENEGAKKAN SHOLAT BERJAMA’AH BERSAMA MEREKA

Muqaddimah
Adalah suatu kenyataan di Nusantara, bahwa banyak orang orang yang mengaku beriman kepada kitab Allah (Al Quran) namun dalam praktek kesehariannya bertahkim kepada thoghut. Bagaimana mensikapi kenyataan seperti ini? Amat disayangkan ada diantara sebagian kecil harakah (aktivis Jihad) di Indonesia yang mengambil jalan pintas dengan mengkafirkannya, atau setidaknya menganggap tidak syah berimam kepada mereka di dalam sholat. Walaupun tidak langsung mengkafirkannya, tetapi dengan memandang tidak syah berjama’ah sholat bersama mereka, berarti telah mengeluarkan mereka dari golongan “Ahlul Qiblat”.
Sikap yang saya anggap tepat, menghadapi fenomena demikian, adalah seperti yang dijelaskan Al Quran berkenaan dengan masalah ini. Dimana setelah Allah menjelaskan adanya fenomena seperti di atas dalam S.An Nisa : 60 - 62, di ayat ke 63 nya Allah memerintahkan cara terbaik untuk bersikap terhadap mereka : “Mereka itulah orang orang yang Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah pada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka”.
Sikap terbaik bukanlah memberikan label pada mereka sebagai kafir, tetapi berpaling (tidak memerangi) mereka seraya terus memberikan nasihat, pelajaran pada mereka dengan memilih perkataan yang akan berbekas kesannya pada jiwa mereka.
Yang saya tarik pelajaran dari ayat itu, bukanlah mendeklarasikan bahwa mereka itu kafir, tapi memposisikan mereka sebagai “sasaran dakwah” dan mengusahakan sedemikian rupa agar dakwah kita sampai dan berbekas dalam jiwa mereka. Bila kita perhatikan kata demi kata dari S. An Nisa(4): 60 - 63 :
1. Di awal ayat ke 60 bukan menjelaskan keadaan orang orang kafir, tetapi keadaan yang Allah nyatakan sebagai “mengaku beriman kepada apa yang Allah turunkan” namun ternyata mereka “bertahkim kepada thoghut”. Di ujung ayatnya Allah nyatakan bahwa syetan ingin untuk “menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh jauhnya.”
2. Pada ayat ke 61, Allah nyatakan bahwa ketika mereka diseru untuk “kembali (tunduk) kepada Hukum Allah dan Rosulnya” namun seperti dinyatakan di ayat itu, “orang orang munafiq menghalangi manusia dengan sekuat kuatnya untuk mendekati kamu”. Ayat ini berkenaan dengan dengan orang munafiq (yang menyatakan diri sebagai seorang muslim) dan bertengkar dengan seorang yahudi, dan dia (si munafiq tadi) ingin agar kasus persengketaannya diputuskan oleh seorang kahin (dukun), bukannya minta diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw.
3. Dan ketika dikatakan pada mereka, atau dinasihati, diperintahkan untuk meninggalkan perbuatan tadi (yang jelas menjadi satu keburukan, mushibah buat mereka). Mereka tidak menjawab, malah pergi mencari penyelesaian hukum di luar syari’ah Islam. Dan ketika mereka ditegur, mereka mengemukakan alasan yang lemah dengan mengatakan “Demi Allah, kami sekali kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna.”
4. Keadaan hati mereka tidak tersembunyi bagi Allah, seperti yang dinyatakan dalam ayat ke 62, mungkin saja di hati mereka memang benar benar ada kekufuran yang nyata. Namun kita tidak diperintahkan untuk menebak-nebak dan menyatakan apa yang tersembunyi itu. Allah mencukupkan dengan kalimat “Mereka itulah orang orang yang Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka.” Adapun untuk muslimin diperintahkan “berpalinglah dari mereka dan berilah mereka pelajaran dan katakanlah pada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” Berpaling dalam arti tidak memerangi, tapi mengingatkan mereka dengan peringatan yang berbekas pada jiwa mereka. Tidak melakukan takfir atas mereka tapi giat mengingatkan mereka tentang kewajiban untuk mengkufuri Thoghut (S.16:36, 4:60)
5. Satu hal yang masih merupakan “modal” yang ada pada mereka adalah, bahwa mereka tidak menentang (juhd) atau mendustakan (takdzib) terhadap Islam, seperti disebutkan di ujung ayat 62, mereka bahkan berkilah dengan perkatan “Demi Allah, kami sekali kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik (ihsana) dan kecocokan (taufiqo).” Apapun yang ada dalam hati mereka, tentu Allah tahu. Namun karena yang didengar dan terlihat oleh kita sebagai manusia adalah bukan pernyataan terbuka menentang Islam. Karena itu mereka bukan harus dikafirkan, tapi diberi nasihat yang berbekas hingga ke lubuk hati mereka.
6. Dalam sejarah yang berkenaan dengan sababun nuzul ayat itu, tidak terdapat kabar bahwa Rosulullah dan para shahabat menyatakan bahwa pelaku tahkim itu murtad, keluar dari Islam ataupun dinyatakan kafir. Demikian pula kita, bila melihat fenomena yang sama, hendaknya tidak mendahului Rosul dalam mensikapi orang orang seperti ini.
7. Kesimpulannya, sikap berpaling (tidak memerangi) dan memberi nasihat adalah “pilihan tindakan” yang diperintahkan Allah kepada kita, bukan mengkafirkannya. (Bandingkan juga dengan tulisan Ibnu taymiyyah, Majmu Fatawa 4 : 307 dan Ali Hasan Al Halabi At Tahdir min fitnatit Takfir halaman 119 - 121).

BERHATI HATI DALAM MASALAH TAKFIR
Hal lain yang menarik dalam S. Al Hujurat (49) ayat 1 - 2 mengenai larangan Allah untuk mendahului Allah dan Rosul dan larangan bersuara lebih keras dari suara nabi, di ujung ayat dua dinyatakan : “Supaya tidak hapus amalan amalanmu sedang kamu tidak menyadarinya” Al Qurthubi menyatakan dalam tafsirnya : Tafsir of al-Qurtubi (7/6128) : Tidak berarti bahwa orang tersebut “menjadi kafir tanpa mereka sadari” (tapi “amal mereka hapus tanpa mereka sadari” -pen) sebagaimana seseorang tidak menjadi mukmin tanpa pilihan yang sadar untuk memilih iman di atas kekafiran, demikian pula seorang (Ahli Qiblat -pen) tidak bisa menjadi kafir, kecuali secara menyengaja ia memilih kekafiran atas Islam. Mengenai hal ini sudah merupakan Ijma.
Menyatakan seseorang kafir adalah hak Allah dan Rosulnya. Pada keadaan sekarang, seseorang bisa divonis kafir, atas keputusan seorang hakim yang adil, dan sebelumnya si terdakwa diberi kesempatan untuk membela diri dan dialog. Sehingga diketahui, apakah si terdakwa itu melakukan ucapan atau tindakan kekafiran, [1]karena kesengajaan dan pengetahuan serta tidak di bawah tekanan/paksaan. Atau [2]ia melakukan ucapan/tindakan kekafiran itu karena tidak tahu bahwa itu kekafiran, atau tidak senganja, atau dibawah tekanan (terpaksa). Pada kasus [1] tidak diragukan lagi, hakim bisa memvonisnya sebagai kafir, tetapi pada kasus [2] maka ia tidak bisa divonis kafir. Tetapi harus diberi tahu bila ia jahil, diingatkan bila ia tidak sengaja, dibebaskan dari tekanan bila ia memang terpaksa melakukannya.
Juga tidak boleh kita mengkafirkan seseorang yang secara terbuka telah “mengkafirkan kita” walaupun ada hadits yang mengatakan “Barangsiapa yang mengatakan pada saudaranya “hai kafir!” maka sebutan itu akan kembali pada salah seorang dari mereka”. Tidak boleh hanya berbekal hadits itu lantas kita kafirkan orang yang mengkafirkan kita, hanya karena kita “tidak merasa kafir”. Karena menghukumi seseorang sebagai kafir tetap merupakan hak Allah, sehingga tidak bisa seseorang disebut kafir kecuali kalau dia nyata nyata melakukan tindakan kekafiran (yang disebutkan dalam Al Quran dan hadits) secara menyengaja.
Sebagaimana kita tidak boleh balas berdusta pada orang yang berdusta kepada kita, tidak boleh balas menzinahi isteri seseorang yang dianya telah menzinahi isteri kita. Sebab tindakan dusta dan zina itu diharamkan oleh Allah swt. Demikian pula tidak boleh kita balas mengkafirkan orang yang mengkafirkan kita. (lihat Ibnu Taymiyyah, Manhaj Sunnah 5 : 244)
Bila demikian, maka dengan alasan apa kita memulai mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan kita. Bahkan apa yang mereka lakukan selama ini, juga besar kemungkinan bukan karena sengaja memilih kekafiran dan meninggalkan Islam. Tapi karena ketidaktahuannyalah, sehingga membuat orang yang menyatakan dirinya beriman hari ini (khususnya di Nusantara) bertahkim pada thoghut yang tidak menjalankan syari’at Islam. Saya merasa lebih aman untuk memilih sikap menyeru mereka (dakwah) dengan tidak menetapkan hukum kafir kepada mereka. Justru dengan mengakui ada iman dalam dada mereka, kita menyeru mereka dengan Al Quran dan Sunnah pada tempat yang seharusnya mereka berada dan berjuang membangun peradaban Islam di dalamnya.
Dalam S. At Taubah (9) : 115 “Dan Allah sekali kali tidak menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskanNya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesunguhnya Allah maha mengetahui segala sesuatu”. Mengisyaratkan bahwa seseorang tidak bisa dihukumi sesat apalagi kafir, kecuali kalau telah dijelaskannya kepada mereka hukum hukum Allah. Permasalahan kita hari ini adalah belum sempurnanya dakwah, sehingga upaya dakwah lah yang harus didahulukan, daripada menetapkan hukum kufur pada mereka. Apa yang mereka lakukan adalah satu tindakan kesesatan (S.4:60) tanpa mereka menyadarinya. Menyatakan mereka telah keluar dari Islam, atau setidak tidaknya mengeluarkan mereka dari Ahli Qiblat, dengan menyatakan tidak syah berjama’ah dengan mereka, bukan saja tindakan yang tidak effektif tapi juga melanggar perintah Allah yang seharusnya kita mendekati dan menyampaikan perkataan yang membekas pada jiwa mereka (lihat kembali S.4:63).
Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Negara Islam Indonesia Bab V Pasal 16 ayat 1 : “Barang siapa membunuh Kafir Dzimmi, atasu membunuh orang yang belum diberi dakwah, dijatuhkan hukuman menurut pasal 12, ayat 2” Membunuh orang yang belum kena dakwah artinya, menghalalkan darahnya, dan ini bisa disebabkan karena menganggap mereka bukan Ahli Qiblat lagi. Jelas berdasarkan KUHP NII perbuatan ini (tindakan menghalalkan darah orang yang belum didakwahi) dipandang sebagai tindakan melawan hukum.
Imam Abul Qasim ibnu ‘Asakir Dalam Tabyin Kadzib Al Muftari (hal 373) menuliskan suatu riwayat : “Kami sedang duduk melingkar di Al Kufa bersama Abu Hurairah, ketika itu seorang muda lewat, lalu salah seorang dari kami yang duduk mengatakan : “Itulah si kafir ahli neraka”. Abu Hurairah lantas bangkit dan menuju pemuda tadi dan bertanya : “Siapakah engkau?” si pemuda menjawab : “Saya si anu anak si anu” Abu Hurairah mengatakan : “Semoga Allah memberikan keselamatan kepada orang tuamu”. Lantas pemuda itu melihat ke sekitar, Abu Hurairah bertanya : “Apa yang kamu cari?” pemuda menjawab “Saya belum sholat”. Abu Hurairah berkata lagi: “Jadi kamu suka mengerjakan sholat?” Pemuda menjawab “Subhanallah!” Abu Hurairah berkata lagi “Jadi kamupun mengucap Subhanallah?” Pemuda itu mengatakan “La ilaha illallah!” Abu Hurairah berkata lagi : “Bahkan kamu berkata La ilaha illallah?” Pemuda itu berkata : “Saya lebih menyukai sholat dari apapun yang ada di muka bumi ini!” Abu Hurairah berkata : “Semoga Allah memberikan keselamatan kepadamu” Kemudian Abu Hurairah kembali ke tempat duduknya dalam halaqah itu dan berkata: “Barang siapa yang memberikan kesaksian untuk saudaranya yang muslim, kemudian yang dipersaksikan itu tidak seperti demikian, maka bersiap siaplah untuk duduk di atas api neraka!”
Dalam Surat An Nisa (4) : ayat 94 : “Hai orang orang yang beriman apabila kamu pergi berperang di jalan Allah, maka telitilah (lakukan tabayyun)! Dan janganlah kalian mengatakan kepada orang orang yang mengucapkan salam kepada kalian: “Kamu bukan orang mukmin”, dengan maksud mencari harta benda duniawi…”. Ayat ini jelas mengharamkan kita untuk menolak mengakui kemukminan orang yang mengucapkan salam pada kita, Bahkan Allah menyindir jangan jangan sikap tergesa gesa menyatakan “seseorang bukan mukmin” itu hanyalah demi untuk melegalisir (membenarkan) perampasan harta atau pembunuhan kepada yang mengucapkan salam itu. Ayat di atas bahkan menyatakan bahwa ucapan “salam” saja sudah cukup menjadi bukti bahwa mereka adalah muslimin. Pada zaman Rosul pernah terjadi dimana seorang shahabat tetap membunuh orang tersebut karena dicurigai pengakuannya itu hanya dusta atau untuk menyelamatkan diri belaka, Rosul marah dan mengatkan : “Mengapa tidak sekalian engkau belah saja dadanya!”
Ibnu Atsir dalam An Niyahah 4:187 : “Jangan memanggil Ahlul Qiblat (muslimin) sebagai kafir!”
Abu Dawud dalam Kitab Jihad 15 : 33 : “Tiga hal yang merupakan pokok keimanan: satu diantaranya adalah menahan diri dari orang yang menyebutkan Lailaha illallah”, artinya jangan mengatakan mereka kafir karena dosanya dan tidak mengeluarkan mereka dari kemusliman karena kesalahannya. Dalam pengertian saya : Selama seseorang merasa dirinya muslim (bagaimanapun kualitas kemuslimannya) maka harus tetap diakui bahwa mereka itu muslim, kecuali jika mereka tidak lagi merasa bahwa dirinya muslim, maka barulah kita nyatakan mereka sebagai kafir, sebab orang itu tidak mengaku diri sebagai Ahlul Qiblat lagi. Adalah termasuk ‘aqidah ahlus sunnah wal jama’ah adalah tidak mengkafirkan seorang pun diantara Ahlul Qiblat (Syarah Aqaid Nasfi hal 121).
Dalam banyak riwayat, kita diingatkan untuk sangat berhati hati dalam urusan takfir ini:
Hadits Shahih riwayat Muslim: “Siapa berkata pada saudaranya: “Hai Kafir!”, maka kembalilah kekufuran itu pada salah seorang dari keduanya. Kalau memang sebenarnya saudaranya itu seperti yang ia katakan (benarlah ia), tetapi kalau tidak, niscaya kembalilah kekufuran itu pada dirinya sendiri”
Hadits Shahih riwayat Muslim: “Barang siapa mengkafirkan seseorang atau ia pangil dia “Hai musuh Allah!”, padahal yang dipanggil tidak begitu, melainkan kembalilah panggilan itu kepada dirinya sendiri”.
Dalam Kitab At Tafriqah bainal Iman waz zandaqah, Imam Ghazali menuliskan : “Sudah selayaknya seseorang menjaga diri dari menkafirkan seseorang yang lain, selama ia mendapatkan jalan untuk itu, karena sesungguhnya menghalalkan darah (nyawa) muslimin yang mengikrarkan tauhid (mengakui diri sebagai Ahli Qiblat) adalah kesalahan besar. Kesalahan membiarkan seribu orang kafir tetap hidup adalah lebih ringan daripada dosa menumpahkan darah satu orang muslim.”
Dalam Majmu Fatawa jilid 19 : hal 216 - 219. Ibnu Taymiyah menjelaskan tentang keadaan Raja Najasyi: Karena tekanan situasi dan kondisi, Raja Ethiofia ini tidak memungkinkannya untuk menerapkan semua syari’at Islam, padahal dia yang paling berkuasa di negeri itu, tidak juga mampu menampakkan kemuslimannya, karena khawatir rakyat akan mengingkari dan memberontak terhadap kerajaannya. Raja Najasyi tidak ikut berhijrah, tidak ikut berjihad, tidak juga mengerjakan haji, bahkan telah diriwayatkan bahwa ia tidak mengerjakan shalat lima waktu, tidak puasa Ramadhan, tidak membayar zakat. Ketika raja Najasyi wafat, tidak seorangpun di sana yang menyolatkannya. Maka Nabi Muhammad saw menuju musholla dan sholat janazah atasnya, dan beliau memberitahukan kepada para shahabat akan kematian raja Najasyi dengan berkata: “Sesungguhnya seorang saudaramu yang sholeh dari penduduk Habasyah (Habsyi) telah meninggal dunia”. Raja Najasyi tidak menjalankan hukum Allah, padahal dia seorang penguasa, namun hal itu tidak membuat dia keluar dari keluarga besar Ahli Qiblat. Raja Najasi akan berurusan di hadapan Allah berhubungan dengan kewajibannya, dan muslimin masa itu pun telah tunai pula dalam melaksanakan kewajiban yang Allah bebankan kepada mereka atas raja Najasyi ini. Nabi dan shahabat tidak menyibukkan diri dengan takfir, tapi malah mengajak ummat untuk memohonkan ampun untuk raja Najasyi lewat sholat janazah tersebut.
Hal di atas dikemukakan bukan berarti kita menggampang-gampangkan syari’at, seperti fitnah NII KW-IX Abu Toto, Kita harus ketat pada diri sendiri, dan longgar pada orang lain, bukan sebaliknya. Seperti Umar bin Khatthob ra, ia memberikan toleransi yang sangat kecil bagi dirinya, ia benar benar mujahadah di atas syari’at, namun demikian ia memberikan toleransi yang besar pada orang selain dirinya. Lihat Islam Ekstrim Yusuf Qardhawi, edisi Indonesia hal. 168 - 179.

KEKAFIRAN NEGARA TIDAK MENGKAFIRKAN ORANG YANG ADA DI DALAMNYA
Bahwa mereka berada dalam negara kafir (Darul Kufr) Negara kesatuan Republik Indonesia, adalah satu hal yang nyata, karena memang Negara kesatuan Republik Indonesia bukan negara Islam, bahkan telah mencoret kewajiban menjalankan syari’at Islam dari dasar negaranya. Tetapi orang-orang yang ada di dalam negara Negara kesatuan Republik Indonesia, tidaklah kafir semuanya, diantara mereka ada mukmin yang belum hijrah, ada muslimin yang tidak menyadari kesesatan bertahkim kepada thoghut, bahkan banyak yang tidak tahu sama sekali apa itu thoghut. Bagaimana mungkin mereka dikeluarkan dari Ahli Qiblat dan menyatakan tidak syah berjama’ah bersama mereka?
Hari ini ada gejala yang menggelikan, sekalipun Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari awal tidak menyatakan, bahkan menolak untuk diproklamasikan sebagai negara Islam, tapi ada ulama-ulama yang bersikeras menyatakan bahwa NKRI adalah negara Islam. Subhanallah kebodohan macam apa ini? Mengapa mereka harus memaksa-maksakan dalil untuk menetapkan NKRI sebagai negara Islam, padahal semenjak RI diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, ataupun NKRI dibentuk tahun 1950, ke dua negara ini tidak pernah dinyatakan sebagai negara Islam oleh para pendirinya? Bahwa banyak orang di dalam NKRI beragama Islam, berstatus muslim adalah sebuah kenyataan, sayangnya mereka tidak mau mengakui kenyataan bahwa NKRI bukanlah negara Islam.
Bahwa kita tidak mau berwala pada Negara kesatuan Republik Indonesia, adalah satu hal yang prinsip, kita menyadari dan mengetahui banyak alasan syar’i untuk tidak menyerahkan wala pada negara non Islam ini. Tetapi tidak berarti kita boleh mengkafirkan orang orang yang masih berwala kepada Negara kesatuan Republik Indonesia, tidak boleh mengkafirkan para aparatnya sekalipun mereka menjalankan hukum yang tidak Allah turunkan. Karena menurut Ibnu Abbas, wamal lam yahkum bima anjalallahu fa ulaika humul kafirun (ujung ayat S.5:44) bahwa itu adalah kufur di bawah kufur, artinya kekafiran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari kemuslimannya.
Dengan catatan bahwa bila ia menjalankan hukum selain Islam itu dengan menyatakan bahwa hukum selain Islam itu lebih baik dari pada hukum Allah, maka nyatalah bahwa ia kafir. Tetapi jika si pelaksana hukum itu tetap mengakui hukum Allah maka ia berdosa besar, namun dosa besar itu tidak mengeluarkan mereka dari kemuslimannya. Bagi kita kesesatan, dosa besar atau apapun namanya, walaupun tidak mengeluarkan dari keIslaman, tentu kita hindari sekuat tenaga, sebab semua itu (baik kekafiran maupun kesesatan) akan berakhir di tempat yang sama (Neraka, walaupun dengan tingkat siksa dan lama waktu yang berbeda-beda).
Bagi kita, walaupun berbeda tingkat kekekalannya dalama neraka. Mengingat satu hari saja di dalam neraka berarti 1000 tahun dalam hitungan manusia (S. Al Hajj : 47), kita tidak ingin diri atau ahli keluarga sampai masuk ke dalam neraka tersebut. Itulah sebabnya kita tidak mau cenderung pada orang-orang yang dzalim (S.Hud:111, Al Maidah : 45, lihat pula S. Ibrahim: 44 – 45 ). Itulah di antara alasan mengapa kita meninggalkan kesetiaan kepada Negara Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai satu negara yang zalim karena tidak melaksanakan hukum Allah. Sekali lagi dengan tidak harus mengkafirkan orang-orang yang hari ini masih berpihak (baik sadar atau tidak) kepada Negara kesatuan Republik Indonesia. Saya tetap merasa PD (percaya diri) untuk terus berjuang menegakkan kalimatullah dalam Negara Islam Indonesia, walaupun tidak mengkafirkan muslimin di luar Pemerintahan Islam Berjuang ini.
Justru karena mengakui mereka itu saudara saya seagama, justru karena saya mengakui mereka muslim, maka saya mengajak mereka untuk memenuhi kewajiban setia pada Ulil Amri Islam yang saya berjuang bersamanya.
Dalam Surat Al Anfal (8) : 72 dikatakan: “.. dan terhadap orang orang yang beriman tetapi belum berhijrah” menunjukkan bahwa muslimin yang tinggal di Darul Kufur tetap disebut orang yang beriman, hanya saja, seperti disebutkan dalam Kitab Bulughul Marom Bab Jihad hadits no 1288 bahwa nabi pernah bersabda : “Saya berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal bersama musyrikin.” Hadits ini dengan tegas sekali, menyatakan bahwa tinggal di wilayah Darul Kufr tidak mengeluarkan Ahli Qiblat dari kemuslimannya. Namun demikian kehadiran mereka di darul Kuffar tetap dicela sebagai orang orang yang menganiaya dirinya sendiri, lihat S. An Nisa (4) : 97
Dalam S. Al Fath (48) : “…dan kalau tidaklah karena laki laki yang mukmin dan perempuan yang mukminat yang (tinggal di Makkah dan) tiada kamu ketahui..” menunjukkan bahwa, orang yang tinggal di Darul Kufur tetap diakui sebagai orang yang beriman, hanya saja seperti disebutkan di ujung ayat, bahwa keberadaan mereka di Darul Kufur menghalangi jatuhnya keputusan yang final dari Allah terhadap orang orang kafir yang memerangi mereka. Keimanan mereka tidak membuat mereka merasa aman di akhirat (lihat S.6:82)

HAL YANG BISA MENYEBABKAN JATUHNYA SEBUTAN KAFIR
Untuk menjadi kafir yang sempurna diperlukan tiga hal, ucapan lisan, tekad dan perbuatan. Perbuatan kekafiran, tidak mengeluarkan pelakunya dari kemusliman, selama ia tidak mentekadkan dan mengikrarkan secara terbuka bahwa perbuatan itu boleh dan halal. Bahkan menyatakan kekafiran pun tidak serta merta membuat orang yang menyatakan satu kekafiran itu sebagai kafir, apabila pernyatannya itu dalam keadaan terpaksa (ikrah).
Demikian juga dengan tekad kekafiran seseorang tidak mengeluarkan dirinya dari keluarga besar muslimin (harus tetap diperlakukan sebagai muslim) selama ia tidak menyatakan kekafirannya secara terbuka (sebagaimana kasus orang munafiq di Madinah, selama mereka menyembunyikan kekafirannya, mereka tetap diperlakukan sebagai bagian dari muslimin). Sebab urusan hati adalah urusan Allah, sedang kita diwajibkan untuk berinteraksi dengan hal hal yang nampak (Fahkum bidhowahir).
Syaikh Ali Hasan bin Ali bin Abu Hamid menyatakan: Sebagaimana Iman dalam pandangan Ahlus sunnah terdiri dari perkataan, perbuatan dan keyakinan; demikian juga Kufur terdiri dari perkataan, perbuatan dan keyakinan. Namun demikian dalam prinsip ahlus sunnah, dan ini sangat penting, tidak setiap seseorang terjatuh ke dalam perbuatan kufur lantas kemudian digelari kafir. Karena untuk memutuskan seseorang kafir atau tidak diperlukan adanya syarat tertentu, disamping hilangnya hal hal yang bisa mencegah (menghalangi) dia untuk disebut kafir:
· Syarat pertama adalah Ilmu, sedang pencegahnya adalah kebodohan (jahl).
· Syarat ke dua adalah adanya pilihan, sedang pencegahnya adalah keterpaksaan.
· Syarat yang ketiga adalah sengaja meniatkan untuk melakukan perbuatan tadi, sedang pencegahnya adalah ketidak sengajaan, tersalah, atau ijtihad maupun takwil.
(diambil dari : “The creed of Imam AlBani on Takfir and Riddah”)
Yang saya fahami dari pernyataan di atas bahwa seseorang Ahli Qiblat baru bisa dikatakan kafir bila secara sengaja ia melakukan kekafiran, dengan kesadaran dan ia tahu bahwa yang dilakukannya itu adalah kekafiran. Maka orang demikian bisa disebut kafir. Karena hal ini menuntut kejelasan, kita tidak bisa menebak-nebak dari perbuatannya secara sepintas, maka keputusan pengadilan atas dakwaan murtad pada orang itu, disertai pemeriksaan yang jelas, akan membuat “vonis” tersebut selamat dari kekeliruan atau salah alamat. Artinya seorang Ahli Qiblat yang melakukan kekafiran, tanpa sengaja, atau terpaksa melakukannya, atau bahkan ia tidak tahu kalau itu sebuah kekafiran, maka kita tidak boleh mengeluarkan Ahli Qiblat tadi dari kemuslimannya. Justru sudah menjadi kewajiban yang sadar, yang tidak terpaksa dan berilmu untuk mengingatkannya, membebaskan dari keterpaksaan-nya dan mengajarinya. Sekali lagi, memberikan penerangan, bukan malah melakukan takfir atas mereka.
Bandingkan dengan S. An Nisa (4) : 17 dimana Allah memberi taubat pada orang yang melakukan kejahatan bijahalatin, juga S. An Nahl (16) : 106 dimana orang yang terpaksa tidak dimurkai Allah bila melakukan satu perbuatan kafir (baik perkatan maupun tindakan), juga S. Al Baqoroh (2) : 286 dimana kita memohon ampun dari perbuatan yang dilakukan secara tidak sengaja atau terlupa. Bandingkan pula dengan hadits Rufi’al qolam. Seseorang yang salah dalam berijtihad, tidak dikeluarkan dari Ahli Qiblat dengan kesalahan ijtihadnya, sebab ia tidak menyengaja untuk membuat kesimpulan yang kufur. Sebagaimana Ahlus sunnah tidak mengkafirkan kaum Jahmiyyah ataupun muktazillah, sekalipun kesimpulan kesimpulan mereka ditentang keras dan diluruskan.
Dengan sedikit catatan, walaupun ada seorang yang tidak menyengaja melakukan kekufuran, atau tidak tahu sebuah perbuatan adalah perbuatan kufur ia bisa disebut kafir bila tidak mengakui dirinya sebagai Ahli Qiblat. Contoh : Seorang Nashrani tidak bermaksud untuk kufur dengan menyatakan trinitas, bahkan mereka meyakininya sebagai doktrin iman. Mereka tetap disebut Kafir sebab mereka bukan Ahli Qiblat. Begitu juga dengan apa yang disebutkan dalam S. Az Zumar (39) : 3 atau pada Surat Luqman (31) : 25 Sekalipun mereka mengakui Allah sebagai pencipta, atau meyakini bahwa apa yang diperbuatnya itu sebagai jalan untuk mendekatkan diri pada Allah, tetap dihukumi kafir karena sebelumnya mereka tidak merasa sebagai Ahli Qiblat (muslim).
Ibnu Taymiyyah dalam As Sariimul Maslul hal 513 - 515 diantaranya dinyatakan : Seseorang yang menyatakan kekufuran tanpa ada keterpaksaan untuk melakukannya, dia melakukannya dengan sengaja padahal dia tahu bahwa itu adalah kekufuran, maka dia kafir lahir dan bathin. Tidak bisa dikatakan lagi bahwa kemungkinan ada iman di dalam hatinya. Demikian juga siapa yang memaki Allah dan Rosulnya (secara sadar dan tidak terpaksa dan ia mengetahuinya -pen) maka kafir lahir bathin.
Dan diantara perbuatan yang bisa menimbulkan kafirnya seseorang, sekalipun tidak mengikrarkannya dengan lisan, adalah tindakan tindakan yang nyata nyata merupakan kekafiran, sama saja dengan seolah olah dia menyatakan kekafiran itu dengan lisannya (mengeluarkan dirinya sendiri dari Ahli Qiblat -pen) misalnya seseorang yang mengetahui itu Al Quran tapi malah menendangnya atau membuangnya ke comberan, atau menyengaja sujud pada berhala, sengaja mengolok olok perbuatan ibadah, sekalipun hanya dengan mimik muka atau gerak anggota badan (Quran Surat At Taubah : 65-66). Lihat juga Nashiruddin Al Bani “fitnatut Takfir” hal 72, Ibnul Qoyyim “Kitabus Sholah” hal 53-54, dan Imam Nawawi “Rawdatut Talibin” 7:283-284)

ANTARA KEKUFURAN DAN SEBUTAN KAFIR TIDAKLAH SAMA
Kesempurnaan Iman adalah dalam tiga hal, pembenaran hati, ikrar lisan dan pembuktian dengan perbuatan. Bila tidak terpenuhi ketiganya, bukan berarti Imannya hilang, hanya tidak sempurna. Boleh jadi, menjadi iman yang tidak membuat dirinya aman dari ancaman Neraka. Dengan demikian manakala seseorang telah menyatakan dengan lisannya (bahwa dia Ahlul Qiblat), harus tetap diperlakukan sebagai Ahli Qiblat, kita tidak boleh mengkafirkannya. Kalaupun ternyata karena kelemahan imannya ia melakukan dosa besar (zina, misalnya) maka (dalam negara berjaya) ia diadili dan dihukum dengan hukum Islam, dengan tetap tidak mengeluarkannya dari keluarga besar Ahli Qiblat. Bila dosa besar itu terjadi dalam negara berjuang, maka ia diseru untuk bertobat, lihat S.Al Furqan (25) : 68 B 71. Karena dosa ‘tidak menghilangkan’ iman (saya menggunakan single quote `` dan ini beda deengan kalimat yang sama tanpa single quote). Perhatikan betapa Allah masih menyebut “hai orang orang yang beriman”, ketika Beliau memerintahkan untuk bertaubat (S. At Tahrim:8).
Berbeda sekali dengan sikap ekstrimitas yang menggejala hari ini, terhadap pelaku dosa itu, bukannya mengadili dengan hukum Islam atau menyeru mereka untuk bertobat, bahkan malah mengeluarkannya dari keluarga besar Ahli Qiblat (takfir). Nyata ini sebuah kekeliruan berfikir dan memutuskan. Antara “melakukan tindakan kekufuran” dengan “menjadi kafir” tidaklah sama, seperti beda antara “orang yang membuat satu sya’ir” dengan “seorang penyair”. Dari penjelasan Ibnu Abbas, bisa kita ambil kesimpulan bahwa kufur, fasiq ataupun dzalim itu ada dua macam, [1] ada yang mengeluarkan seseorang dari kemuslimannya dan [2] ada yang tidak sampai membuat seseorang menjadi murtad.
Seseorang yang menyatakan kemusliman baik dengan lisan maupun perbuatan (melakukan syi’ar Islam, yang paling ringan adalah mengucapkan salam misalnya) maka cukup bagi kita untuk memperlakukan mereka sebagai seorang muslim. Lihat kembali Surat An Nisa (4) : 94.
Apabila orang yang menyatakan dirinya Ahli Qiblat itu, ternyata sebenarnya hatinya mendustakan pernyataannya, maka itulah kemunafikan yang Allah ketahui, namun tidak jadi alasan bagi kita untuk memperlakukan dia sebagai bukan muslim. Sebagaimana Rosulullah dan para shahabat tetap memperlakukan orang-orang munafiq dan orang yang berpenyakit hati sebagai bagian dari muslimin. Ini bukan berarti kita menyatakan bahwa iman itu cukup dengan lisan, walaupun tanpa pembenaran hati, sama sekali tidak bermaksud begitu. Ini hanya berkenaan dengan keharusan bersikap; bahwa terhadap seseorang yang memperlihatkan sikap bahwa dirinya seorang muslim, sudah seharusnya diperlakukan sebagai muslim (Ahli Qiblat) adapun masalah hati, kita serahkan kepada Allah (kaidah : fahkum bi dhowahir). Bahwa Allah tidak meridhoi orang yang menyembunyikan kekafiran adalah hal lain, begitu pula dengan kewajiban untuk berwaspada atas gerak gerik mereka, juga merupakan satu hal lain pula. Tetapi memposisikan mereka sebagai bagian dari Ahli Qiblat tetap merupakan suatu keharusan.
Seorang yang menyatakan dirinya Ahli Qiblat, kemudian berdosa besar, seperti berzina, meninggalkan sholat, shoum dsb, selama ia tidak menyatakan bahwa zina itu halal dan sholat itu boleh ditinggalkan (istihlal Qolbi), dan ia masih merasa berdosa karena meninggalkan kewajiban-kewajiban tadi, maka mereka tetap diperlakukan sebagai muslim, bahkan ketika atas mereka dijatuhkan hukum Islam, (didera, dirajam) sekalipun, mereka menjalani hukuman itu sebagai seorang muslim, yang layak menerima vonis tadi. Bukan sebagai kafir yang dihukum.
Dalam Silsilah Ash Shohihah 1:117 Imam Nashirudin Al Bani menyatakan : “Bila seseorang meninggalkan sholat karena malas tetap dihukumi sebagai muslim (yang melakukan dosa besar -pen) selama tidak ada hal yang secara terbuka bisa mengorek rahasia hatinya” Tapi bila kepadanya diberikan pilihan bertobat dan kembali menegakkan sholat atau dihukum mati (sebagaimana disebutkan dalam straf retch NII), dan ternyata dia memilih hukuman mati daripada menegakkan sholat, maka jelaslah bahwa orang tersebut telah kafir. Ibnu Taymiah dalam Majmul Fatawa 2:48 : Jika seseorang (Ahli Qiblat -pen) tetap menolak untuk melaksanakan sholat, sekalipun diancam dengan hukuman mati, maka nyata bahwa ia tidak termasuk orang yang meyakini kewajiban shalat, dan tidak pula mau melaksanakannya, maka dengan demikian jelas ia telah kafir.
Banyak orang yang melakukan tindakan kufur, tetapi tidak mengeluarkan mereka dari kemuslimannya, selama hatinya tidak menghalalkan perbuatan itu. Seperti yang terjadi dewasa ini, hidup bergelimang dengan riba sebagai hal yang sulit dihindarkan dalam masyarakat global yang dikuasai kapitalist (yang memang mendasarkan kehidupan ekonomi di atas riba). Mereka tetap harus diperlakukan sebagai Ahlul Qiblat.
Mengenai bagaimana keberadaan dirinya di hadapan Allah, atau bagaimana nasibnya di akhirat, maka Allah lebih berhak untuk menentukan hal tersebut dari pada kita. Cukuplah kita mewajibkan diri untuk menyerunya pada jalan kebenaran, bukan malah melakukan takfir atas mereka. (Bandingkan dengan Nashiruddin Al Bani “Fitnatut Takfir” : 71 - 74).
Ibnu Taymiyah dalam majmul Fatawa 2:229 : “Saya termasuk orang yang dengan keras dan ketat melarang seseorang dinyatakan sebagai kafir, fasiq, fajir, mujrim sampai jelas terbukti dalil yang tegas atas perbuatan seseorang tersebut. Karena boleh jadi seseorang melakukan kekafiran pada suatu ketika, melakukan kefasikan pada suatu ketika, melakukan dosa pada suatu ketika dan kemudian Allah mengampuninya.” Dalam pemahaman saya alangkah berbahayanya bila kita menyatakan seseorang Kafir, Fasiq, Fajir misalnya atau satu dosa yang kita lihat dia perbuat, padahal siapa tahu, ketika kita nyatakan seseorang itu sebagai kafir, fasiq, fajir misalnya, padahal saat itu Allah sudah mengampuninya, karena Allah ridho atas amal selanjutnya dari orang tersebut, yang kita tidak mengetahuinya (misalnya bertobat, atau berbuat kebaikan lain yang bisa menutupi kesalahannya, lihat S. Hud (11) : 113.
Bahwa kekufuran, kefasikan dan kezaliman itu ada dua macam, ada yang mengeluarkan pelakunya dari Islam dan ada yang tidak. Karena itulah kita harus berhati hati, jangan sampai mudah mengkafirkan orang atas satu perbuatan yang kita lihat sebagai satu dosa besar, tanpa mempertimbangkan kondisi spesial tiap tiap individu tadi ketika melakukannya. Seperti misalnya dalam Surat Yusuf (12) : 106: “Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan sambil musyrik” Ini menunjukkan adanya orang yang beriman kepada Allah sambil musyrik, apakah ini bermakna bahwa ada kemungkinan seseorang tetap dihukumi sebagai Ahli Qiblat walaupun ia melakukan kemusyrikan kecil seperti Riya, dan lainnya? Ini yang nampaknya harus diputuskan secara hati hati oleh para ulama Darul Islam pada pertemuan yang mulia ini. Atau dalam kacamata pejuang Negara Islam Indonesia dalam memandang muslimin yang tinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak merasa terganggu imannya dengan berideologikan Pancasila. Jika peluang seperti ini ada, yakni tidak mengeluarkan mereka dari kemuslimannya, sekalipun melakukan perbuatan syirik, sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran tadi, maka saya berkeyakinan bahwa muslimin di Negara kesatuan Republik Indonesia tetap Ahlul Qiblat.
Adapun saya tidak berwala pada NKRI, karena saya berkeyakinan keimanan seperti itu adalah keimanan yang tercampur dengan syirik dan ini tidak menjamin keamanan di akhirat (S. Al An’am : 82). Itulah yang menjadi alasan saya meninggalkan kesetiaan pada NKRI tanpa harus mengkafirkan Ahlul Qiblat yang masih ada di dalamnya. Bahkan dengan keyakinan mereka muslim itulah saya terus menyerukan untuk wala (bersetia) pada pemerintahan Islam berjuang Negara Islam Indonesia, dan Baro (berlepas diri) dari pemerintahan yang tidak melandaskan ideologi negaranya pada Islam.

SHOLAT DI BELAKANG MUSLIMIN WARGA NEGARA NON ISLAM
Persoalan menjadi melebar bukan hanya bagaimana hukum sholat di belakang muslimin warga NKRI, tapi juga berjama’ah bersama muslimin warga Amerika Serikat, muslimin warga Singapura dsb. Hal yang pertama harus dibahas adalah, apakah muslimin yang berkewarganegaraan Darul Kufur masih tergolong Ahli Qiblat atau bukan? Bila masih bisa dikatagorikan sebagai Ahli Qiblat, maka tak diragukan lagi, bahwa sholat di belakang Ahli Qiblat adalah “syah”, baik “sholatnya” maupun nilai “jama’ahnya”. Hal demikian sudah merupakan kesepakatan pendapat Ahlus Sunnah.
Ada beberapa hadits yang menjadi pertimbangan sebagian ikhwan akan tidak syahnya sholat dibelakang orang yang berbuat dosa seperti :
Dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Ibnul Mundzir : Telah berkata As Saib ibnul Khallad: “Bahwasanya Rosulullah saw pernah melihat seorang laki-laki mengimami satu golongan, kemudian ia (sang imam tadi) meludah ke arah Qiblat. Kemudian setelah sholat itu selesai, Rasulullah saw bwrsabda: “Tidak boleh ia mengimami kamu!” Di kemudian hari orang tadi hendak mengimami lagi mereka, maka mereka menolaknya sambil memberi tahu kepadanya apa yang telah disabdakan Rosulullah saw. Kemudian dia (yang pernah jadi imam itu) bertanya kepada Rasulullah saw. Maka beliau menjawab: “Betul (aku telah melarang mereka) oleh sebab engkau telah menyakiti Allah dan Rosulnya.” Menurut penilaian ahli hadits, riwayat di atas tidak dapat dijadikan dalil, karena ada cacat pada isnadnya. Kalaupun ditaqdirkan shohih tetap tidak bisa dijadikan dalil tidak syahnya sholat mereka, terbukti Rosulullah saw tidak memerintahkan makmum untuk mengulangi sholat mereka.
Hadits Riwayat Ibnu Majah : Telah berkata Jabir ra. Telah berkata Rosulullah saw: “Jangan sekali kali perempuan mengimami laki-laki, dan jangan orang arab gunung mengimami muhajir, dan jangan sekali kali orang durhaka mengimami orang mukmin, melainkan apabila ia dipaksa dengan kekuatan yang ia takut akan pedangnya atau cemetinya.”
Hadits Riwayat Ahmad bin Isa, Al Muayyad billah, Abu Thalib, Al Amir Husain: Telah berkata Ali bin Abi thalib: Nabi saw pernah bersabda: “Jangan sekali kali mengimami kamu orang yang berani melanggar agamanya” Hadits ini pun lemah di sisi para Ahli Hadits sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.
Hadits riwayat Ad Daruquthni dan Ibn Asakir: Telah berkata Ibnu Abbas: Rasulullah saw pernah bersabda: “jadikanlah imam imam kamu orang orang yang paling baik di antara kamu, karena sesungguhnya mereka perwakilan antara kamu dan robb kalian”
Hadits ini pun lemah karena dalam sanadnya ada Sulaiman bin Sulaiman al Madaini yang dilemahkan oleh imam Abu Hatim, Ibnu Adi, Al Aqili dan lainnya
Hadits riwayat Al Hakim: telah berkata Martsadul Ghanawi: Rasulullah saw bersabda: “jika kalian ingin diterima shalat kalian, maka hendaklah yang mengimami kamu orang yang terpilih di antara kamu, karena imam itu adalah utusan antara kamu dan robb kalian” Hadits ini pun tidak syah, bahkan ada hadits shahih riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim yang meriwayatkan bahwa Rosulullah sendiri sebagai orang terbaik, pernah bermakmum kepada ‘Abdur Rahman pada saat perang Tabuk. Artinya Imam tidak mesti orang yang terbaik, walaupun untuk afdholnya memang demikian.
Hadits Riwayat Ahmad dan Bukhari: “Imam sholat itu jadi imam kamu dalam sholat, bila imam itu benar dalam sholatnya, maka pahalanya bagi mereka dan bagi kamu, tapi jika imam itu salah maka pahalanya buat kamu, dan kesalahannya buat mereka sendiri.” Bukhory dalam tarikhnya : berkata Abdul Karim Al Bakka : “saya pernah berjumpa sepuluh orang dari shahabat nabi saw mereka semua mau sholat di belakang imam imam yang durhaka (A-immatal Jauri)”
Keterangan di atas saya kutip dari jawaban Ust Muhammad Makmun dalam Kitab Soal Jawab A. Hassan halaman 151 B 157. Sebagaimana diketahui, bahwa baik ust A. Hassan maupun Ust. Muhammad Makmun adalah ulama yang berwala pada Negara Islam Indonesia.
Demikian, kiranya tulisan ini yang saya sampaikan bermanfaat dan sebagai bahan masukan bagi para mujahidin di nusantara. Billahi fi Sabilillah, Inna fatahna laka fathan mubina.

Tidak ada komentar: