Selasa, 12 Agustus 2008

Artikel (3)

REVOLUSI ISLAM
DALAM PANDANGAN IMAM
S.M. KARTOSOEWIRJO
DAN PERANG YANG DIPAKSAKAN ATAS NII
(Bagian Ketiga)
Oleh : Ust. DR. Rahmat Abdullah, MA.
Revolusi di mata Imam

Maka karena itu serulah (mereka kepada Dienul Islam ini) dan tetaplah [Istiqamah] sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah : "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah Robbuna wa Robbukum (Pemelihara kami dan pemelihara kalian, Pengatur kami dan pengatur kalian). Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali ".Dan orang-orang yang membantah (Dien) Allah sesudah Islam itu diterima maka bantahan mereka itu sia-sia saja, di sisi Allah (Robb) mereka. Para pembantah itu mendapat kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang sangat keras. (Q.S.42:15 – 16)

Revolusi Islam dalam pandangan Imam pertama Negara Islam Indonesia (Asy Syahid S.M. Kartosoewirjo) bukanlah sebuah pemberontakan, bukan sebuah 'pesta darah' yang mendirikan bulu roma, tetapi sebuah perubahan yang indah. Sebuah hijrah (perpindahan) dari apa yang dilarang Allah (Pemerintahan non Wahyu) pada apa yang diperintahkan Ilahi (Menegakkan Keadilan Islam dalam ujud Negara yang Baldatun Thayyibatun wa Robbun Ghafur). Sebenarnya kepergian S.M. Kartosoewirjo menuju Malangbong - Jawa Barat, meninggalkan hiruk pikuk politik kaum pribumi yang menghendaki kemerdekaan lewat tawar menawar politik dengan pemerintah kolonial Belanda, beliau tinggalkan semua para politikus itu, semata-mata menghendaki satu bentuk hijrah yang cantik, seperti yang disebutkan Al Quran: Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik (hajron jamila). (Q.S Al Muzammil : 10)

Namun panggilan suara hatinya sebagai seorang negarawan Islam, menuntutnya untuk merubah revolusi nasional yang dicetuskan Proklamasi 1945, menjadi sebuah revolusi Islam dengan lahirnya Negara Islam Indonesia lewat Proklamasi 1949, karena alasan-alasan yang akan dijelaskan di bawah nanti.

Semoga analisis ini bisa membuka wacana baru, sehingga para pembaca sendiri bisa menilai, benarkah selama ini fitnah yang dituduhkan pada Negara Kurnia Allah, Negara Islam Indonesia, atau ada pihak lain yang bertanggung jawab atas kelamnya sejarah Revolusi Islam di Indonesia itu.

Mengenal S.M. Kartosoewirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo demikian nama lengkap dari S.M. Kartosoewirjo, yang dilahirkan pada tanggal 7 Januari[1] 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah.[2] Kota Cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik. Begitulah S.M. Kartosoewirjo, dia lahir dalam situasi yang sedemikian menguntungkan sehingga —karena kedudukan "istimewa" orang-tuanya— ia termasuk dalam salah seorang anak-anak negeri ini yang berkesempatan mengecap pendidikan modern kolonial Belanda yang sangat maju di zamannya.

Tidaklah mengherankan, kalau S.M. Kartosoewirjo nantinya telah tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik dan sekaligus memiliki integritas keIslaman yang tinggi. Buktinya ialah semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java,[3] di organisasi ini dia terpilih menjadi ketua cabang Jong Java di Surabaya. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota–anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keIslamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). S.M. Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya, bukan pada paham nasionalisme, dan tak lama setelah masuk dalam organisasi ini dia terpilih menjadi ketua cabang JIB Surabaya. Namun ia tidak lama dalam jabatan ini, karena harus pindah ke Jakarta, pindah karena jabatannya dalam organisasi Islam.

Pada bulan Desember 1927 di Pekalongan, saat kongres PSIHT (Partai Sjarikat Islam Hindia Timoer) S.M. Kartosoewirjo terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT. Kemudian diputuskan juga melalui kongres, bahwa pimpinan partai harus dipindahkan ke Batavia. Setahun kemudian tepatnya pada bulan Oktober 1928, S.M. Kartosoewirjo pernah menjadi peserta Kongres Pemuda Indonesia mewakili partainya di Batavia,[4] pada kongres tersebut S.M. Kartosoewirjo memberikan pandangan tentang hakikat pendidikan pada masa yang akan datang. Namun pandangannya itu bertentangan dengan pemikiran ketua kongres Sugondo. Sehingga, debat sengit pun tak dapat terelakan. Ketika S.M. Kartosoewirjo tetap mempertahankan argumentasinya, terpaksa Sugondo memukulkan palu di atas meja, maka berakhirlah perdebatan itu.[5]

Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT, S.M. Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1928 S.M. Kartosoewirjo banyak melakukan perjalanan ke provinsi-provinsi dalam rangka tugasnya, berkaitan dengan jabatannya sebagai Sekretaris Umum PSIHT dia mengunjungi cabang atau ranting di daerah-daerah. Dan sempat dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong, di sana dia bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera, yang pernah tertangkap oleh Belanda beberapa bulan karena terlibat dalam peristiwa Cimareme.[6] Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum[7] putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929, di saat itu usianya lebih muda dua tahun dari S.M. Kartosoewirjo.

Dengan kepindahan dia ke Malangbong, maka terangkatlah diri S.M. Kartosoewirjo menjadi orang yang sangat terpandang di daerah tersebut. Bukan hanya karena reputasi mertuanya saja yang sangat berpengaruh di daerah Malangbong, akan tetapi reputasi dia juga cukup tinggi, di mana dia pernah merasakan sekolah di NIAS, menjadi sekretaris pribadi HOS Tjokroaminoto, menjabat sebagai sekretaris umum PSIHT dan anggota staff harian Fadjar Asia. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.

Pada tahun 1929, dalam usinya yang relatif muda sekitar 22 tahun, S.M. Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur mulailah dia menerbitkan beberapa artikel-artikel. Langkah awal dalam artikelnya sudah berani mengkritik, sasaran pertama kritiknya ditujukan untuk menentang bangsawan-bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan Belanda.[8] Di antara yang diserang oleh S.M. Kartosoewirjo adalah Sultan Solo, ketika Sultan ini mengadakan resepsi ulang tahunnya yang ke-64, Sultan Solo itu hanya memperhatikan wartawan-wartawan Belanda. Tentang Sri Sultan S.M. Kartosoewirjo menulis sebagai berikut:

“Rasa kebangsaan ta’ ada, keIslaman poen demikian poela halnja, kendatipoen ia menoeroet titelnja mendjadi kepala agama Islam. Agama kebangsaan kita di tanah toempah darah ini. Bangsanja dibelakangkan dan bangsa lain diberi hak jang lebih dari batas..., jang soedah terang dan njata ialah: Boekan karena tjinta bangsa dan tanah air…, melainkan karena keperloean diri sendiri belaka, keperloean jang bersangkoetan dengan kesoenanannja.”[9]
Selanjutnya dia menulis, bahwa tidak ada perbedaan, siapa yang berkuasa, apakah itu pemerintah sendiri atau pemerintahan bangsa lain, hasilnya sama saja, yaitu bahwa rakyat tidak memiliki kemerdekaan.
“Semendjak zaman keradjaan Padjadjaran sampai ke zaman Browidjojo, maka jang boleh dianggap merdeka tjoema radjanja sadja. Tetapi rakjatnja sedjak zaman itoe sampai ini waktoe tetap tinggal dalam gelombang perhambaan dan perhinaan jang serendah-rendahnja dan sedalam-dalamnja”.[10]

PSIHT selalu berupaya untuk membela rakyat dan bangsanya, agar supaya kelak di kemudian hari Indonesia menjadi Indonesia merdeka dan agama Islam menjadi agama nasional bangsa Indonesia, demikian tulis S.M. Kartosoewirjo.[11] "Nasionalisme dalam Islam boekan satoe sport atau peloeang waktoe dan joega boekan satoe tempat kesenangan melainkan adalah soeatu kewadjiban jang berat atau ringannja haroes ditanggungkan.”[12]

S.M. Kartosoewirjo melihat saatnya telah tiba, di mana rakyat telah terjaga dari tidurnya yang selama berabad-abad lamanya dan sadar akan kewajiban dan haknya serta sama-sama menemukan suatu persatuan yang berjuang untuk kepentingan rakyat.[13] Persatuan ini bagi S.M. Kartosoewirjo adalah PSIHT. Dia mengeritik, bagaimana dengan cepatnya seseorang dituduh komunis,[14] termasuk anggota PMI (Pemoeda Moeslim Indonesia) yang dituduh sebagai gerakan komunis yang dapat membahayakan keamanan dan tata tertib.[15]

S.M. Kartosoewirjo memperhatikan nasib para petani kecil, “yang menyewakan tanahnya kepada perusahaan Barat atau pada kapitalis pribumi”.[16] Dia juga marah sekali atas kenaikan pajak sawah hingga 90%. Dia juga mengeritik kerja rodi (Heerendienst) yang diganti dengan pembayaran tahunan, hanya karena tidak ada lagi lapangan kerja, akibat krisis ekonomi di Hindia Belanda pada masa itu.[17] Ketika beberapa petani di Lampung yang diusir dari tanah mereka oleh “sekelompok kapitalis asing”, petani ini meminta bantuan kepada partai, S.M. Kartosoewirjo menulis tentang itu:

“Orang-orang Lampoeng dipandang dan diperlakoekan sebagai monjet belaka, ialah monjet jang dioesir dari sebatang pohon ke sebatang pohon lainnja.”[18]
“Katanja ada Madjlis ini dan Madjlis itoe, ada Volksraad ada Vinciale Raad dan Madjlis Negeri (Tweede Kamer) dan segalanja boeat melindoengi ra’jat boeat menertibkan keamanan dan keadilan.” Tapi mana buktinya, tanya Kartosoewirjo. Bukankah ini semua: “omong kosong belaka?”[19]

Dia mengajak para buruh untuk memperbaiki keadaan mereka: “Djanganlah berkeloeh-kesah! Djanganlah meminta-minta! Djanganlah tinggal diam sadja! Kalau takoet mati djanganlah hidoep! Kalau hendak hidoep, djanganlah takoet mati.”[20]

S.M. Kartosoewirjo juga mencela hubungan orang-orang Belanda di perkebunan-perkebunan dengan wanita-wanita pribumi. Dan dia mengajak para orang kulit putih terutama pers Belanda untuk menjernihkan masalah ini:

“Kalau mereka sesoenggoehnja menghendaki perlakoean jang manis dari fihak kita, hendaklah mereka memboeang segala perlakoean jang tidak lajak kepada bangsa Indonesia.”[21]
Kemerdekaan bangsa Indonesia hanya bisa dicapai dengan pengorbanan yang besar, demikianlah keyakinan S.M. Kartosoewirjo pada saat itu:

“Sebab kemerdekaan tanah air tidaklah sedikit harganja, jang oleh karena harganja, tentoe bakal memakan korban loear biasa.”[22]

Karena artikel-artikel itu, S.M. Kartosoewirjo mendapat banyak musuh, tapi justru bukan di pihak penguasa kolonial, melainkan di pihak bangsanya sendiri, terutama di kalangan kaum nasionalis yang netral agama.

Perbedaan pendapat antara kaum nasionalis Islami dan yang netral agama lebih jelas nampak pada tahun 1928/29, dan yang lebih menonjol lagi ketika PNI lebih dominan di dalam pergerakan kebangsaan Indonesia dan di lain pihak mundurnya Partai Serikat Islam Hindia Timoer (PSHIT). Ketika kemunduran partainya tak dapat dibendung lagi, Kartosoewirjo meluapkan kekecewaannya dan menyerang para Nasionalis netral agama, terutama mereka yang menjadi anggota PNI.[23] Maka dia dalam bulan-bulan terakhir jabatannya sebagai redaktur dan wakil pimpinan Fadjar Asia[24] menyerang kaum Nasionalis netral agama. Artikel-artikelnya yang paling tajam tidak lagi ditandatanganinya dengan nama aslinya, melainkan dengan nama samaran “Arjo Djipang.”[25]

Sasaran kritiknya adalah pimpinan redaksi Bintang Timoer, Parada Harahap yang dimakinya dengan kata-kata emosional tanpa meninggalkan analisis intelektualnya. Koran Bintang Timoer disebutnya reaksioner, Parada Harahap sendiri disebut sebagai penjual Bangsa Indonesia[26] dan "Binatang tikoes dari Krekot.”[27] Tentang Parada Harahap dia menulis sebagai berikut:
“Si Parada Harahap mendjilat-djilat pantat dan mentjari moeka dan perlindoengan kepada kaoem Nasionalis (PNI), Mendjilat pantat dan mentjari moeka, karena ia perloe akan hal itoe sebab boleh djadi Parada Harahap takoet kalau ia lantaran berboeat berchianat terhadap kepada bangsa dan tanah-air kita --mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh djadi ia mendjadi tidak sadar kalau tidak mampoes sama sekali.”[28]

Dan dia bertanya, “Parada Harahap kaja dari mana? Ta’ melainkan dari mendjilat pantat kaoem kapitalis dan mendjoeal boedi rochnja kepada orang asing.”[29]

Keresahan yang besar di antara para Nasionalis timbul karena artikel Kartosoewirjo mengenai bank nasional. Apa itu, tanyanya: “Jang dinamakan “national” jang tak lain melainkan bank setjara barat, bank systeem tiroean, bank jang menimboelkan kapitalisme, bank jang mendorong kita ke arah persesatan, bank jang akan memperoleh hasil karena memoengoet rente.”[30]

Koran harian Darmo Kondo di Solo menulis, bahwa artikel ini menggoncangkan kaum nasionalis Indonesia dan mendidihkan darah mereka.[31] Darmo Kondo menganggap Nasionalisme kita ini aneh, tulis Kartosoewirjo. Dan dia melanjutkan: “Kebangsaan kita dianggap aneh oleh Darmo Kondo. Djanganlah kira kalau kita kaoem kebangsaan jang berdasarkan kepada Islam dan ke Islaman tidak berangan-angan ke Indonesia merdeka. Tjita-tjita itoe boekan monopolinja collega dalam Darmo Kondo. Dan lagi djangan kira, bila kita orang Islam tidak senantiasa beroesaha dan ichtiar sedapat-dapatnja oentoek mentjapai tjita-tjita kita, soepaja kita dapat menguasai tanah air kita sendiri. Tjoema perbedaan antara collega dalam Darmo Kondo dan kita ialah, bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia bagi Nasionalisme jang dinjatakan oleh redaksi Darmo Kondo itoe adalah poentjaknja jang setinggi-tingginja, sedang kemerdekaan negeri toempah darah kita ini bagi kita hanjalah satoe sjarat, soeatoe djembatan jang haroes kita laloei, oentoek mentjapai tjita-tjita kita jang lebih tinggi dan lebih moelia, ialah kemerdekaan dan berlakoenja agama Islam di tanah air kita Indonesia ini dalam arti kata jang seloeas-loeasnja dan sebenarnja. Djadi jang bagi kita hanja satoe sjarat (midel) itoe, bagi redaksi Darmo Kondo adalah maksoed dan toejoean (doel) jang tertinggi.”[32]

Dengan demikian pengertian Kartosoewirjo tentang kebangsaan sesuai dengan pandangan Tjokroaminoto yang menulis sebagai berikut: “Islam itoelah tjita-tjita kita jang tertinggi, sedang nasionalisme dan patriotisme itoe ialah tanda-tanda hidoep kita sanggoep akan melakoekan Islam dengan seloeas-loeas dan sepenoeh-penoehnja. Pertama-tama adalah kita Moeslim, dan didalam ke Moesliman itoe adalah kita Nationalist dan Patriot, jang menoedjoe kemerdekaan negeri toempah darah kita tidak tjoema dengan perkataan-perkataan jang hebat dalam vergadering sadja, tetapi pada tiap-tiap saat bersedia djoega mendjadikan korban sedjalan apa sadja jang ada pada kita oentoek mentjari kemerdekaan negeri toempah darah kita.”[33]

Pemerintah kolonial merasa khawatir akan dinamika baru di dalam pergerakan kebangsaan terutama yang ditimbulkan oleh PNI, karena dari permulaan, partai ini mengambil sikap radikal dan non-kooperatif dengan pemerintah kolonial. Tuntutannya jelas-jelas “kemerdekaan Indonesia”. Sehingga pemerintah mengambil tindakan respresif berupa pelarangan mengunakan istilah-istilah seperti “Merdeka” atau “Kemerdekaan” di dalam pidato-pidato Soekarno.[34] Dan pada akhir tahun 1929 Soekarno bersama dengan tokoh-tokoh nasionalis lainnya ditangkap oleh polisi kolonial karena kegiatan politiknya sudah sangat meresahkan pemerintah kolonial. Tidak lama setelah itu PNI malah dibubarkan sendiri oleh tokohnya, Mr. Sartono. Sementara pada tahun yang sama Kartosoewirjo masih relatif tanpa rintangan dapat mengeluarkan gagasan-gagasan politiknya dalam Fadjar Asia.

Kecewa akan perkembangan politik pada umumnya dan karena kejatuhan partainya sendiri, Kartosoewirjo menulis: “Dikelak kemoedian hari, djika soedah terbit perang “Brontojoedo Djojobinangoen” kita berdiri di muka barisan kita. Sekarang ini baroe perang gagal sadja.”[35]

Selama dia bekerja di Batavia, Kartosoewirjo hidup sangat sederhana, “Sebagai seorang lulusan ELS dan “putus kuliah” di NIAS, sesungguhnya dia dapat hidup cukup mampu sekiranya dia mau menjadi pegawai pemerintah atau bekerja pada kantor swasta. Tetapi Kartosoewirjo tampaknya lebih suka dalam kehidupan yang sederhana (qana’ah) serta mengabdikan semua tenaga dan pikiran bagi kehidupan partai dan jurnalistiknya. Ketika H.O.S Tjokroaminoto jatuh sakit, pada bulan September 1929 Kartosoewirjo mengambil alih pimpinan redaksi Fadjar Asia. Tidak lama setelah dia memangku jabatan sebagai pimpinan redaksi, Kartosoewirjo pun jatuh sakit disebabkan penyakit beri-beri. Karena ketekunan, kesungguhan dan kegairahan pengabdian yang tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya di harian Fadjar Asia, untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan. Sehingga, untuk sementara waktu dia dibebaskan dari tugas kesehariannya di Batavia, kemudian dia pulang ke kampung halaman istrinya di Malangbong untuk beristirahat sejenak menyembuhkan penyakit yang dideritanya.

Pada waktu Kartosoewirjo pindah ke Malangbong, di akhir tahun 1929 dalam kongres partai PSII, Kartosoewirjo terfpilih menjadi wakil Partai tersebut untuk daerah Jawa Barat. Selama dia menjalankan tugas-tugasnya di Malangbong, dia tidak muncul di pentas percaturan politik. Sejarah tentang Jawa Barat ini perlu kita pahami terlebih dahulu sehingga kita bisa mengerti mengapa Kartosoewirjo memilih geografi Sunda ini sebagai tempat dikristalkannya Darul Islam, tempat dimulainya satu pernyataan sikap seorang mujahid. Tindak kekerasan di wilayah pedalaman Jawa semakin meningkat pada awal tahun 1924 ketika bermunculan kelompok-kelompok yang menamakan diri 'sarekat hijau', terutama di Priangan. Kelompok-kelompok tersebut merupakan gerombolan-gerombolan penjahat, para anggota polisi, dan para kyai yang mendapat dukungan pemerintah Belanda dan pejabat-pejabat priyayi. Pada awal tahun 1925 sekitar 20.000 orang anggotanya menyerang rapat-rapat PKI dan SI serta mengancam para anggota mereka. Pengawasan pemerintah semakin diperketat, dan apa yang tersisa dari pimpinan PKI sering berada dalam tahanan.[36]

Pada tahun 1911 kaum muslim Indonesia di Jawa Barat mengambil langkah-langkah pertama ke arah pembaharuan secara hati-hati. Guru-guru Syafi'i membentuk Persyarikatan Ulama (Perserikatan Para Ilmuwan Agama); tetapi mereka juga terbuka menerima beberapa ide pembaharuan paham modern dan sedikit sekali berhubungan dengan kalangan pesantren yang bergaya lama. Keterbukaan dimulai ketika Persyarikatan Ulama membuka sebuah sekolah di tahun 1916, juga mendirikan sebuah panti asuhan yang dikelola oleh cabang wanitanya, serta melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan ekonomi, seperti percetakan, pertenunan, dan pertanian.[37] Oleh karena itu kesempatan bagus tidak disia-siakan oleh Kartosoewirjo untuk menggunakan pengaruhnya demi meluasnya kegiatan PSII di daerah itu. kesempatan ini dipergunakan juga untuk menjalin hubungan pribadi dengan ulama setempat, bukan hanya di sekitar Malangbong, bahkan juga di daerah-daerah lain di Priangan Timur. Di bawah bimbingan mertuanya Ardiwisastera yang menjadi salah seorang anggota PSII terkemuka dari daerah itu dan seorang guru agama yang sangat masyhur dibantu para ulama yang lain Kartosoewirjo memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam.[38] Usaha Kartosoewirjo tidak berlalu begitu saja, pada kongres Partai PSII tahun 1931 dia menjabat sebagai Sekretaris Umum PSII.[39]

Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) merupakan kelanjutan dari Sjarikat Islam (SI) yang dibentuk Hadji Samanhudi tahun 1912 di Solo.[40] Sjarekat Islam itu sendiri berkembang dari Sjarekat Dagang Islam yang dibentuk oleh para pedagang pribumi sebagai jawaban atas gerakan emansipasi Cina pada awal abad ke-20.[41]

Hanya dalam waktu 3 tahun sejak berdirinya SI, partai ini merupakan suatu gerakan massa yang beranggotakan hampir setengah juta orang.[42] Setelah itu partai ini tidak pernah lagi beranggota sebanyak itu. Sebagai gerakan massa yang pertama dan hanya satu-satunya pada saat itu, Sjarikat Islam berusaha untuk mempersatukan sebanyak mungkin rakyat Indonesia di dalam satu organisasi, dan partai ini untuk pertama kali memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mewujudkan keinginannya.[43] SI merupakan wadah bagi kekuatan politik yang bermacam-macam, dimulai dari PanIslamist yang konservatif, hingga para Marxist radikal. Keaneka-ragaman kekuatan politik yang berwadah dalam partai ini menjadi problem yang utama, karena tidak lama kemudian muncul gejala-gejala perpecahan. Ketika Kartosoewirjo memasuki partai ini pada tahun 1927 yang sekarang disebut PSII, proses tersebut telah terjadi.[44]

Sebelum membicarakan reaksi SI terhadap ideologi-ideologi modern ini, sebuah catatan singkat tentang Marxisme di Indonesia perlu disertakan. Marxisme atau kemudian lebih dikenal dalam baju komunisme pertama kali diperkenalkan oleh tokoh-tokoh Marxis Belanda, yang diketuai oleh H.F.J. Sneevliet.

Pada tahun 1913 H.J.F.M. Sneevliet (1883-1942) tiba di Indonesia. Dia memulai karirnya sebagai seorang penganut mistik Katolik tetapi kemudian beralih ke ide-ide sosial demokratis yang revolusioner dan aktivisme serikat dagang. Dia kemudian bertindak sebagai agen Komintern di Cina dengan nama samaran G. Maring. Pada tahun 1914 kelompok Marxis ini mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratsche Vereeninging, Organisasi Sosial Demokrat Hindia Belanda),[45] di Surabaya. Partai kecil beraliran kiri ini dengan cepat akan menjadi partai Komunis pertama di Asia yang berada di luar negeri Uni Soviet. Anggota ISDV hampir seluruhnya orang Belanda, tetapi organisasi ini ingin memperoleh dasar di kalangan rakyat Indonesia. Pada tahun 1915-6 partai ini menjalin persekutuan dengan Insulinde (Kepulauan Hindia), sebuah partai yang didirikan pada tahun 1907 dan setelah tahun 1913 menerima sebagian besar anggota Indische Partij yang berkebangsaan Indo-Eropa, yang radikal. Anggota Insulinde berjumlah 6000 orang termasuk beberapa orang Jawa yang terkemuka, tetapi organisasi ini jelas bukanlah suatu alat yang ideal untuk menarik rakyat sebagai dasarnya. Oleh karena itulah, maka perhatian ISDV mulai beralih kepada Sarekat Islam, satu-satunya organisasi yang memiliki jumlah pengikut yang besar di kalangan rakyat Indonesia.[46]

Lewat organisasi inilah kemudian gagasan-gagasan dan slogan-slogan Marxis diekspor ke dalam tubuh SI. Dengan menginfiltrasi SI diharapkan ISDV dapat menguasai massa. Pada tanggal 23 Mei 1920 sayap kiri partai SI di bawah pimpinan Semaun mengubah menjadi PKI[47] (Partai Komunis Indonesia), dengan SI cabang Semarang sebagai pusatnya.[48] Semaun dipilih sebagai ketuanya yang pertama, sekalipun pada waktu itu masih tetap sebagai anggota SI. Strategi dasar PKI ialah bagaimana menghancurkan pengaruh tokoh-tokoh SI yang lain dan membawa SI secara keseluruhan melalui infiltrasi ke dalam kamp komunis.[49] Pada mulanya anggota PKI juga tetap menjadi anggota SI.[50] Pengaruh kiri di dalam Sarekat Islam semakin bertambah besar karena ISDV berusaha memperoleh rakyat sebagai landasan. Pada tahun1914 seorang pemuda Jawa buruh kereta api yang bernama Semaun (lahir tahun 1899) menjadi anggota SI cabang Surabaya. Pada tahun 1916 dia pindah ke Semarang, di mana Sneevliet aktif dalam Sarikat Buruh Kereta Api dan Trem (VSTP: Vereniging Spoor en Tramweg-personeel). Kini Semaun juga bergabung dengan ISDV. Jumlah anggota SI Semarang berkembang pesat mencapai 20.000 orang pada tahun 1917, dan di bawah pengaruh Semaun cabang ini mengambil garis anti kapitalis yang kuat. Cabang ini menentang peran serta SI dalam kampanye Indiƫ weerbaar, menentang gagasan untuk duduk dalam Volksraad, dan dengan sengit menyerang kepemimpinan Central Sarekat Islam (CSI). Dalam kongres SI tahun 1917 kelompok radikal tampak memperoleh dukungan yang sangat besar. Tjokroaminoto merasa takut akan dimulai pertikaian intern dengan mereka dan setuju melontarkan kecaman terhadap kapitalisme yang berdosa; dengan demikian, nyata-nyata mengecam modal asing dan Cina tetapi bukan modal yang ada pada para Haji Indonesia dan lain-lain. Abdul Muis (1890-1959), seorang Minangkabau yang pernah menjadi wakil SI di dalam delegasi Indiƫ weerbaar ke negeri Belanda, melangkah sedemikian jauh ketika mengatakan bahwa apabila ternyata Volksraad gagal, SI akan memberontak.[51]

SI kini terpecah menjadi beberapa kelompok, dan Kelompok aliran kiri yang dipimpin oleh cabang Semarang sangat menggebu-gebu dan berusaha keras untuk mendapatkan kekuasaan. Disamping itu pada tahun 1917 di daerah Jawa Barat telah didirikan suatu cabang revolusioner rahasia.[52] Sangat sulit diharapkan dari mereka, disamping ketidak jelasan arah perjuangan juga keanggotaan rakyat sulit dikendalikan karena sebagian besar mereka cenderung terhadap tindakan kekerasan. Badai perpecahan di dalam tubuh SI ini ketika tahun 1915 muncul satu kekuatan baru di dalam tubuh SI. Pada tahun itu seorang Minangkabau bernama Haji Agus Salim (1884-1954), yang bekerja sebagai mata-mata polisi turut hadir dalam satu acara rapat yang diselenggarakan SI. Pada saat itula dia berubah niat justru ingin mendukung tujuan SI, dan membawa bersamanya komitment pada Pan-Islam dan Modernisme sebagai dasar yang tepat untuk menjalankan kegiatan politik partai.[53]

Ketika diadakan pemilihan anggota Volksraad sekitar awal tahun 1918 sekaligus mengumumkan hasilnya---Abdul Muis dari CSI dan Abdul Rivai seorang Minangkabau yang menjadi anggota Insulinde, berhasil terpilih menjadi anggota,---namun seorang Gubernur bernama Jenderal van Limburg Stirum tidak puas dengan hasil ini. Dia menggunakan hak penunjukannya untuk mengangkat Tjipto Mangunkusumo (yang sudah kembali dari pengasingan) dari Insulinde dan Tjokroaminoto dari SI yang lebih bisa diajak bekerja sama. Adapun dari orang Eropa yang berhasil terpilih adalah anggota yang lebih progresif daripada sebagian besar anggota yang berkebangsaan Indonesia. Oleh karena itu Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (Persekutuan Liberal Hindia Belanda) yang berkecenderungan terhadap politik Ethis bekerja bersama-sama dengan kaum Sosialis Belanda (Sociaal Democratische Arbeiderspartij: Partai Buruh Sosial Demokrat) dan orang-orang Indonesia yang lebih liberal mengadakan satu koalisi dengan membentuk suatu mayoritas dari anggota-anggota yang terpilih.[54]

Tjokroaminoto yang ingin mempertahankan persatuan pergerakan nasional agak sedikit apologetik dengan memberikan kesempatan atau peluang pada golongan kiri.[55] Tjokroaminoto mengatakan bahwa sosialisme Islam “lebih awal dan lebih baik dari sosialisme ciptaan Marx, baik dalam teori maupun praktek.”[56] Lebih jauh dikatakan bahwa gagasan-gagasan sosialime sudah inheren dalam Islam. “Kita muslim, jadi kita sosialis,”[57] ucap Tjokroaminoto. Ketika SI pada tahun 1921 memberlakukan peraturan baru dalam rangka melaksanakan disiplin partai yang tidak lagi memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda,[58] akhirnya terjadilah perpecahan yang nyata dalam SI yang selanjutnya mempertegas wajah ke-Islamannya. Dan pada tahun 1930 SI berubah nama menjadi PSII (Partai Sjarikat Islam Indonesia).

Organisasi PSII memiliki tradisi non kooperasi yang panjang usianya. Kebijaksanaan politik tentang ini pertama-tama dirumuskan pada Kongres pertama partainya pada tahun 1923 dan 1924.[59] Dengan menemukan ilhamnya dalam gerakan Mahatma Ghandi di India, dikembangkanlah konsep-konsep berdikari (swadeshi) dan dilenyapkannya struktur kolonial yang berlaku (hidjrah).[60]

Sifat yang agak agresif dari politik non kooperasi PSII tercermin dalam kombinasi swadeshi dengan hidjrah. Jadi swadeshi sendiri yang sudah mengandung penolakan pengaruh kolonial, selanjutnya diperdalam oleh gagasan hidjrah, yang memungkinkan PSII merumuskan politik non kooperasi yang agresif tanpa perlu menggunakan pemberontakan terang-terangan.

Selanjutnya di dalam tubuh partai PSII terdapat pertentangan antara kedua kelompok besar, yaitu antara Dewan eksekutif (Ladjnah Tanfidzijah) di bawah pimpinan Abikusno Tjokrosujoso (adik Tjokroaminoto) yang tetap memperjuangkan politik non kooperasi, di mana dia tidak mau bekerja sama dengan fihak kolonial. Dan di satu pihak Dewan Partai di bawah pimpinan H. Agus Salim yang cenderung pada sikap untuk bekerja sama dengan kekuasaan kolonial. Dia khawatir, kalau politik non kooperasi diteruskan, akan ada kerugian forum politik yang akan mempercepat keruntuhan partai dan dia mendesak supaya diadakan suatu referendum tentang masalah ini.[61]

Juga Roem berpendapat, bahwa rakyatlah yang paling menderita karena haluan yang dijalankan Abikusno ini. Sebab partai tidak lagi mewakili kepentingan rakyat di Volksraad dan semua itu hanyalah demi kepentingan politik partai.[62] Meskipun sudah banyak alasan yang dikemukakan oleh Salim tetap tidak berhasil usul-usulnya itu diterima oleh partai, justru sebaliknya Abikusno menuduh Salim hanya untuk mencari kursi dalam Volksraad.[63] Sebelum usul-usul Salim dapat diperdebatkan pada kongres partai yang berikutnya, Abikusno telah meletakkan jabatannya sebagai ketua partai pada akhir tahun 1935, sebab yang dikatakannya, dia tidak mau menghalangi Salim dalam usahanya itu.

Kartosoewirjo yang pada saat itu masih menjabat sebagai sekretaris Dewan Eksekutif, (Ladjnah Tanfidzijah), mengikuti langkah Abikusno meletakkan jabatannya.[64]

Pada kongres partai ke 22 di Batavia bulan Juli tahun 1936 Abikusno terpilih menjadi ketua partai PSII. Setelah cara pemilihan pimpinan partai yang baru diberlakukan, yaitu kongres partai hanya harus memilih ketua partai saja. Di kongres ini terlihat jelas bahwa Abikusno lebih kuat dibandingkan dengan Agus Salim, dengan demikian Abikusno terpilih menjadi formatur, yang dapat memilih sendiri anggota-anggota pimpinan lainnya. Dan melalui rapat formatur ini Abikusno segera mengangkat Kartosoewirjo menjadi wakilnya. Jabatan sebagai wakil ketua PSII dipegang Kartosoewirjo sampai ia keluar dari partai dalam tahun 1939.

Setelah terpilihnya Abikusno menjadi ketua partai dia mengumumkan bahwa pertentangan mengenai politik hidjrah telah berakhir dan memerintahkan semua cabang-cabang partai tersebut untuk tidak mengambil peduli pada saran-saran Salim.

Dalam bulan November 1936 dengan perasaan yang sangat kecewa atas sikap Abikusno itu Salim membentuk suatu fraksi sendiri dalam tubuh partai PSII di bawah pimpinan Moehammad Roem. Fraksi tersebut diberi nama “Barisan Penjadar PSII” dan Salim berharap, bahwa di suatu saat nanti usul-usulnya untuk bekerja sama dengan pemerintahan kolonial akan disetujui.[65] Setelah mendengar khabar bahwa Salim membentuk fraksi baru tersebut, Abikusno segera memberikan responnya dan mengumumkan kepada anggota-anggota PSII , bahwa politik hidjrah menjadi politik resmi partai tersebut, dan dia melarang cabang-cabang partai dengan ancaman pemecatan, bila mereka mendiskusikan usul-usul Salim atau mendukung fraksi Salim.[66] PSII hanya mencontoh Sunnah Rasulullah dan bukan mengikuti pola pergerakan Barat, kata Abikusno.[67] Anggota-anggota fraksi Salim merasa bahwa mereka yang sudah sangat berjasa untuk partai dan berjasa untuk “Oemat Islam dan kaoem sebangsa Indonesia, oleh poetjoek pimpinan “Baroe” dibentjana namanya dan kehormatannja.”[68] Pucuk pimpinan kekurangan kesadaran sebagai pimpinan partai Islam yang hendak menjunjung agama Islam. Tulis Sabirin.[69] Sabirin sebagai anggota fraksi Salim yakin, bahwa PSII akan menjadi satu perhimpunan rakyat “dalam pengawasan polisi, tertutup langkahnja dalam politik.”[70] Begitu juga Moh. Roem sebagai ketua Barisan Penjadar menulis bahwa dari pergerakan politik Indonesia akhirnya hanya tinggal namanya saja.[71] Hak-hak dasar demokrasi dianggap rendah oleh pimpinan partai, hak untuk mengeluarkan pendapat secara bebas bagi anggota partai dilanggar, tulis Moehammad Roem. “Partai memboetoehkan ketentraman, ketentraman jang akan terdapat djika “doodsklok” soedah diboenjikan, ketentraman di liang koeboer.”[72]

Dalam bulan Januari 1937 Salim, Roem, Sabirin, Sangadji, Muslich dan 23 anggota fraksi Salim yang lainnya dikeluarkan dari keanggotaan PSII. Dengan demikian terjadilah perpecahan PSII lebih lanjut, karena Salim segera membentuk suatu partai Islam baru yang berdiri sendiri, yang disebutnya “Pergerakan Penjadar”.[73]
Kritikan juga dilancarkan oleh Kartosoewirjo kepada Agus Salim ketika diadakan kongres partai, dan Kartosoewirjo menuntut suatu penerapan politik hidjrah yang tidak mengenal kompromi. Kartosoewirjo menerangkan, bahwa politik ini merupakan suatu jalan tengah antara Non-kooperasi dan Kooperasi.[74] Oleh karena itu, dalam kongres Abi Kusno menugaskan Kartosoewirjo untuk menyusun suatu brosur tentang sikap hidjrah partai PSII.

Abikusno Tjokrosujoso membuat pernyataan bahwa kongres PSII Juli 1936 telah menyetujui politik Hijrah dan telah diuraikan secara terperinci oleh Kartosoewirjo dalam suatu brosur dua jilid mengenai masalah ini yang judulnya berbunyi “Sikap Hidjrah PSII” dan untuk Kata Pengantarnya sendiri akan dibuat olehnya serta ditandatanganinya sebagai presiden dan Arudji Kartawinata sebagai sekretaris PSII.

Hasil kongres yang telah diputuskan bersama itu mendapat kritikan dari anggota-anggota fraksi Salim, mereka menyatakan bahwa penjelasan tentang politik hidjrah tidak dapat diperoleh melalui pimpinan partai apalagi melalui brosur-brosur Kartosoewirjo. Semua itu kelihatan hanya sebagai suatu bungkusan yang indah tetapi tanpa isi, tulis Sabirin.[75] Kenyataannya politik Hidjrah atau politik Non kooperasi PSII juga tetap tanpa hasil seperti pada tahun-tahun sebelumnya.[76] Kritik Moh. Roem terhadap brosur Kartosoewirjo terutama ditujukan pada bab akhir, di mana Kartosoewirjo di dalam brosurnya menerangkan politik Hidjrah. “Mengapa tidak diterangkan setjoekoepnja? Tanya Moehammad Roem. “Oentoek pengertian jang lebih djelas, lebih baik diadakan sadja dhoekir “baroe” jaitoe, mengoetjapkan perkataan “Politik Islam “100 kali”, begitu sarannya.[77]

Pertanyaan tentang Non Kooperasi atau Kooperasi tidak dibahas Kartosoewirjo di dalam brosur-brosurnya, hal itu sesuai dengan petunjuk Abikusno. Masalah Non Kooperasi tidak penting bagi PSII dan tidak ada gunanya. Hanya untuk memikirkan hal tersebut sudah merusak pikiran kita, tulis Kartosoewirjo.[78] Sebagian besar brosurnya ditujukan pada pembahasan arti sebenarnya dan maksud hijrah. Dibedahnya Al-Quran yang memuat kata hijrah dan dijelaskan artinya dalam konteks yang relevan. Penafsiran dan pandangan Kartosoewirjo tentang perubahan konsep pada konteks kolonial sangat teliti dan jauh jangkauannya. Dengan mendasarkan diri pada Al-quran dinyatakan hijrah sebagai kewajiban “semua pria dan wanita, tua dan muda,” kecuali mereka yang lemah, dan hijrah tidak boleh dihentikan “sebelum Falah (Keselamatan) dan Fatah (Kemenangan atau Pembukaan) tercapai.[79]

Menurut Kartosoewirjo PSII berdiri di luar badan/lembaga yang dibentuk oleh pemerintah kolonial, tetapi partai ini tidak akan tinggal diam, bila rakyat dan bangsa akan dirugikan.[80] Program politik PSII dia bandingkan dengan Jihad selama waktu Hidjrah. Menurut Kartosoewirjo, politik PSII adalah politik Islam, yang ia terangkan sebagai berikut: “Jang dimaksoedkan dengan politik dalam paham Party Sjarikat Islam Indonesia ialah politik Islam, politik sepandjang adjaran-adjaran Islam. Dan dari sendirinja, maka politik jang didjalankan oleh PSII ialah politik Islam. Boekan politik barat atau politik membarat! Boekan politik jang tidak ada sangkoet-paoetnja dengan Islam dan boekan poela politik jang “Boekan politik Islam” atau politik di loear Islam”![81] Dalam brosurnya jilid I, Kartosoewirjo membahas hubungan antara manusia dan agama, begitu juga antara agama dan politik. Sejarah PSII antara tahun 1912-1936 dia bagi dalam tiga tahap,[82] tahap I, zaman Qouliyah yaitu antara tahun 1912-1923. Pada tahap ini perhatian partai kebanyakan ditujukan pada hal-hal duniawi. Tahap yang kedua adalah zaman Fi’liyah yaitu antara tahun 1923-1930, suatu zaman peralihan, dan tahap yang ketiga adalah zaman I’tiqadiyah setelah tahun 1930. Pada tahap ini manusia sadar akan kewajiban-kewajiban agamanya. Kartosoewirjo menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan suatu dunia Islam yang murni. Dalam dunia Islam manusia harus menjalankan perintah-perintah Allah dan nabinya secara sungguh-sungguh dan benar.[83]

Dalam jilid II, Kartosoewirjo menjelaskan penafsiran arti-arti hidjrah, yang bagi PSII merupakan kewajiban dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia.[84] Berbeda dengan Non Kooperasi yang mempunyai arti yang lebih negatif, Hidjrah merupakan sikap yang positif,[85] demikian Kartosuwiryo. Dia juga menentang pendapat yang tersebar luas di Barat, bahwa jihad selalu harus berarti perjuangan fisik. Dia membedakan dua macam Jihad, yaitu jihad kecil (jihad ul asghar) untuk melindungi agama terhadap musuh-musuh luar, dan jihad besar (jihad ul akbar) yang ditujukan untuk memerangi musuh dalam diri manusia itu sendiri.[86] Dan karena tidak ada Hidjrah tanpa Jihad, maka PSII menyusun suatu program Jihad yang menjadi bagian dari “jihad PSII”.[87]

Pada kongres partai PSII yang ke 23 tahun 1937 di Bandung, di bawah pimpinan Kartosoewirjo dibentuk suatu komisi yang harus menyusun suatu “program aksi hidjrah” (Daftar Oesaha Hidjrah PSII).[88] Di mana penyusunan program tersebut telah diputuskan juga dalam kongres partai yang berikutnya pada tahun 1938 di Surabaya. Serta diputuskan juga akan didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama “Soeffah PSII”, yang akan dibuka pada tanggal 20 Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri sebagai wakil presiden PSII, yang bertujuan untuk pendidikan politik bagi kaum muslimin Indonesia, agar dengan demikian mereka dapat memerintah negara mereka sendiri bila saatnya nanti telah tiba, khususnya bagi anggota PSII yang laki-laki.[89]

Akan tetapi sangat disayangkan sekali program yang baik tersebut tidak bisa terwujud melalui partai seperti yang direncanakan semula, karena dalam beberapa tahun kemudian situasi dalam partai PSII mengalami perubahan haluan politiknya.

Pada tahun 1939 Kartosoewirjo terlibat dalam pertengkaran yang sengit dengan mayoritas pimpinan PSII yang diketuai Abikusno. Sebagai pimpinan partai Abikusno mengajak Kartosoewirjo untuk memutar haluan politik partai dengan bergabung ke GAPI (Gabungan Politik Islam) dalam mengatasi tekanan Pemerintah Kolonial yang makin mendesak. Tetapi Kartosoewirjo tidak ikut melaksanakan perubahan arah balik politik ini dan tanpa kompromi tetap istiqomah pada pendiriannya, di mana satu-satunya haluan yang benar adalah politik Hidjrah. Menurut Kartosoewirjo tuntutan GAPI, adalah pembentukan suatu parlemen Indonesia, dan itu merupakan “sikap kooperasi juga namun, dengan corak yang lain”.

Perubahan politik PSII dari garis non kooperasinya yang dulu membuat brosur Sikap Hidjrah PSII yang dibuat oleh Kartosoewirjo begitu besar arti dan nilainya, kini sudah tidak berguna lagi. Pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh Kartosoewirjo dicap sebagai anakronisme (yang tidak berkesesuaian).[90] Maka untuk mempertahankan kebenaran sikap PSII, Kartosoewirjo dengan anggotanya yang sealiran antara lain Jusuf Taudjiri, dan Kamran membentuk partai baru yaitu Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK-PSII). Karena dimaksudkan untuk bergerak di dalam PSII. Pada awal tahun 1939 Dewan Eksekutif PSII mengeluarkannya dari partai, yang sebelum pemecatan Kartosoewirjo dituduh telah menyalahgunakan uang partai.[91] Dengan tindakan yang sepihak dari partai ini Kartosoewirjo tidak menghiraukannya dan terus melanjutkan rencananya semula untuk melaksanakan program aksi hidjrah dan pembentukan lembaga pendidikan kader.

Pada kongres partai yang ke 25 dalam bulan Januari 1940 di Palembang, melalui keputusan yang diambil komite eksekutif partai resmilah pemecatan Kartosoewirjo, Joesoef Taudjiri, Akis, Kamran, dan Sukoso dengan perimbangan 134 suara setuju, 9 suara netral. Dan diputuskan juga dalam kongres tersebut bahwa pelaksanaan program aksi Hidjrah tidak lagi diteruskan dan komisi yang sebelumnya ditugaskan untuk menyusun program ini, akan dibubarkan. Serta semua anggota PSII dilarang untuk memasuki Partai yang dibentuk oleh Kartosoewirjo.

Dalam bulan Maret 1940 melalui rapat umum komite Kartosoewirjo memutuskan mengubah KPK-PSII menjadi sebuah partai independen, yang berkantor pusat di Malangbong. Maksud yang terkandung sesungguhnya di belakang ini adalah bahwa komite akan berkembang menjadi PSII yang sebenarnya. Karena PSII Abikusno Tjokrosujoso dirasakan terdiri dari orang-orang yang telah mengkhianati haluan politik partai PSII yang telah dirintis oleh pembesar-pembesar partai sebelumnya dan berkhianat atas perjuangan masyarakat Islam yang sebenarnya.

Dengan memakai anggaran dasar dan peraturan-peraturan PSII yang lama, Kartosoewirjo ingin menegaskan bahwa KPK PSII adalah kelanjutan yang sebenarnya dari PSII yang lama. Sebab Kartosoewirjo merasa yakin bahwa partainya ini adalah partai PSII yang benar.[92]

Menurut Horikoshi, pada sidang KPK-PSII yang pertama dalam bulan Maret 1940, dihadiri oleh enam cabang PSII yang lama dari Jawa Barat di antaranya dari Cirebon, Cibadak, Sukabumi, Pasanggrahan, Wanaraja dan Malangbong.[93] Dalam sidang itu, keluar juga Daftar Oesaha Hidjrah PSII yang penyusunannya ditugaskan kepada Kartosoewirjo ketika dia masih menjabat sebagai wakil ketua PSII. Daftar Oesaha Hidjrah PSII tersebut masih keluar dengan judul aslinya dan dicetak oleh penerbitan yang didirikan oleh Kartosoewirjo di Malangbong, yaitu “Poestaka Darul Islam”.

Kartosoewirjo juga masih merencanakan untuk menerbitkan suatu penafsiran tentang program tersebut (Tafsir Daftar Oesaha Hidjrah) tetapi rencana ini tertunda. Dalam kata pengantar brosurnya, Kartosoewirjo tidak menyebut pemecatan dirinya dari PSII yang terjadi sebelumnya dan juga tidak menyinggung bagaimana terjadinya pembentukan KPK-PSII. Bahkan dia memberi kesan, bahwa dia sekarang mewakili PSII yang sebenarnya. Dia hanya menyayangkan, bahwa Daftar Oesaha Hidjrah PSII[94] tidak lagi dapat diterbitkan sebelum berlangsungnya kongres PSII di Surabaya seperti yang direncanakan. Dalam Bab I brosurnya, Kartosoewirjo membahas struktur masyarakat yang menurut dia terdiri dari tiga macam masyarakat yang berbeda-beda dalam hukum dan haluannya, dalam susunan dan aturannya dan dalam sikap dan pendiriannya, tetapi hidup bersama-sama dalam satu negeri.

Ketiga macam masyarakat tersebut adalah masyarakat Hindia Belanda atau “masyarakat kejajahan” yang berkuasa; berikutnya adalah masyarakat Indonesia yang belum mempunyai hukum maupun hak dan tidak mempunyai pemerintahan sendiri, dan yang ketiga adalah masyarakat Islam atau “Darul-Islam”. Perbedaan antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Islam menurut Kartosoewirjo adalah sebagai berikut: “…masyarakat kebangsaan Indonesia mengarahkan langkah dan sepak terdjangnja ke djoeroesan Indonesia Raja, agar soepaja dapat berbakti kepada Negeri toempah darahnja, berbakti kepada Iboe-Indonesia. Sebaliknja, kaoem Moeslimin jang hidoep dalam masjarakat Islam atau Daroel-Islam, “tidaklah mereka ingin berbakti kepada Indonesia atau siapa poen djoega, melainkan mereka hanja ingin berbakti kepada Allah jang Esa belaka”. Maksoed toedjoeannja poen boekan Indonesia Raja, melainkan Daroel-Islam jang sempoerna-sempoernanja di mana tiap-tiap Moeslim dan Moeslimah dapat melakoekan hoekoem-hoekoem agama Allah (Islam), dengan seloeas-loeasnja, baik jang berhoeboengan dengan sjahsiyah maoepoen idjtima’iyah.[95]

Pada bab berikutnya, Kartosoewirjo menyebutkan alasan-alasan turunnya “harkat derajat manusia atau bangsa”, yaitu karena “membelakangkan dan membohongkan agama Allah”.[96] Kartosoewirjo mengharapkan persatuan dunia Islam dengan umatnya secara keseluruhan. Dan dia yakin, hanya dengan cara demikian dapat tercipta suatu dunia baru atau “Darul Islam”.[97] Program aksi Hidjrah dia bagi dalam bidang-bidang politik, sosial, ekonomi, ibadah dan satu bidang tentang mistik Islam serta “ajaran Islam yang lainnya”.[98] Dalam bagian tentang politik dia tanpa memberikan keterangan lebih lanjut hanya menyebut politik Islam nasional, politik Islam Internasional dan politik Islam terhadap dunia non Islam. Selanjutnya Kartosoewirjo menulis bahwa “kalau kita Hidjrah dari Mekkah Indonesia ke Madinah Indonesia…, boekanlah sekali-kali kita haroes berpindah kampoeng dan negeri beralih daerah dan wilajah, melainkan hanjalah di dalam sifat, thabi’at,, amal, itiqad dan lain-lain sebagainja.”[99] Untuk mencapai Darul Islam yang sesempurna-sempurnanya, tulis Kartosoewirjo selanjutnya, manusia harus melepaskan “sifat, thabi’at dan laku ke-Mekkah-an dan beralih kepada sifat, thabi’at dan laku ke-Madinah-an.”

Tentang perekonomian dia menerangkan, bahwa sistem perekonomian harus berlandaskan pada solidaritas dan kolektivitasme. Harta yang berlebihan dari pada keperluan diri masing-masing atau rumah tangga haruslah disetorkan ke dalam tempat perbendaharaan umum seperti Baitul-Mal yang kemudian akan digunakan untuk membantu mereka yang berekonomi lemah. Dengan cara demikian tidak terdapat penumpukan kekayaan yang berlebihan dan kemiskinan akan dapat diperangi. “Ini adalah gambaran dunia Islam yang kita inginkan” demikian tulis Kartosoewirjo.[100]

Pada bulan Maret 1940, rencana Kartosoewirjo diterima oleh kongres KPK PSII yang mengesahkan sebuah resolusi untuk membuka lembaga pendidikan kader “Suffah” di dekat Malangbong.[101] Lembaga Suffah tersebut dibentuk dalam gaya sebuah pesantren tradisional,[102] di mana para siswanya juga bertempat tinggal di sana. Kartosoewirjo sendiri mengajarkan bahasa Belanda, astrologi, dan ilmu tauhid kepada para siswanya. Metode pengajaran diambil dari metode H.O.S. Tjokroaminoto yang berarti bahwa para siswa di samping mendapat pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam juga dididik dalam Ilmu politik. Karena mengetahui bahwa mereka menghadapi kehilangan kekuasaan, maka pihak Jepang memutuskan untuk menghapuskan kekangan-kekangan yang masih ada terhadap kekuatan rakyat Indonesia. Angkatan Darat ke-16 mendesak unsur-unsur yang lebih bersifat hati-hati di dalam hierarki-hierarki Jepang supaya bertindak dengan cepat, karena mereka benar-benar mengetahui bahwa bibit-bibit revolusi telah tertanam dalam di Jawa. Pada bulan Maret 1945 pihak Jepang mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang mengadakan pertemuan pada akhir bulan Mei di bangunan lama Volksraad di Jakarta. Keanggotaannya mewakili sebagian besar pemimpin setengah baya di Jawa yang masih hidup yang berasal dari semua aliran pemikiran yang penting. Radjiman Wediodiningrat menduduki jabatan ketua, sedangkan Sukarno, Hatta, Mansur, Dewantara, Salim, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim, Mohammad Yamin, dan yang lain-lain duduk sebagai anggotanya. Keputusan pengangkatan para pemimpin dari generasi tua ini diharapkan oleh Pihak Jepang dapat diajak kerja samanya bila sudah merdeka nanti.[103]

Sebagai dasar pendidikannya dia menggunakan konsep Daftar Usaha Hidjrah yang terdiri dari 5 bagian itu. Siswa-siswanya tidak hanya berasal dari Jawa Barat, tetapi juga dari provinsi lainnya di Jawa dan dari Sulawesi Selatan, Sumatra dan Kalimantan.[104] Awalnya banyak siswa yang merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di lembaga Suffah yang penuh dengan disiplin, pekerjaan yang berat dan makanan yang sederhana. Ternyata dengan niat yang suci dan hati yang tulus untuk mendapatkan ridho ilahi akhirnya mereka mampu menempa dirinya dengan semangat Ruhul-Islam yang memancar dalam pribadi-pribadi kemusliman mereka, dan pada akhirnya dengan kesadaran, keyakinan dan panggilan Ilahi untuk memenangkan Agama Allah di muka bumi ini, mereka siap sedia dengan hati yang ikhlas menjadi tulang punggung kekuatan Darul Islam dan menjadi ma’mum yang setia atas imam Kartosoewirjo, yang di kemudian hari bersama-sama bahu membahu untuk tetap menggalang Negara Kurnia Allah yang diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949.

[1] Tanggal 7 Januari tampaknya adalah hari kelahiran orang-orang besar. Pada 7 Januari 1800 Fillmore Millard, Presiden AS ke-13 lahir. Juga pada 7 Januari 1912 di Indonesia lahir Soedirman, Jenderal Besar Indonesia. Selain itu, 7 Januari 1852 lahir Dr. Wahidin Soedirohoesodo, tokoh pergerakan nasional Indonesia yang terkenal di awal abad ke-20 ini.
[2] Semua data-data tentang biografi Kartosuwirjo di dalam bab ini berasal dari buku Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwirjo (terj.), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996; Sebuah biografi singkat tentang Kartosoewirjo juga terdapat dalam buku: B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, Verhandelingen KITLV, 1971; C. van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (terj.), Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1989, hal. 11-31, Hiroko Horikoshi, "The Darul Islam Movement in West Java (1948-1962): An Experience in Historical Process", dalam Indonesia, Vol. 20, hal. 62-64; juga buku yang tidak ilmiah yang ditulis oleh Pinardi, Sekarmadji Marijan Kartosuwirjo (Jakarta: Aryaguna, 1964) hal. 20-24; C.A.O. Nieuwenhuije, Aspects of Islam in Post Colonial Indonesia (The Hague & Bandung, W. van Hoeve, 1958), hal. 167; Amak Sjarifuddin, Kisah Kartosuwirjo dan Menjerahnja (Surabaya: Grip, 1965), hal. 5-7; S. Soebardi, Kartosuwirjo and the Darul Islam Rebellion in Indonesia, hal. 109-114; A.M. The, Darah Tersimbah di Djawa Barat: Gerakan Operasi Militer V (Jakarta: Lembaga Sedjarah Hankam, 1968), hal. 3-4.
[3] Pergerakan pemuda Jong Java pada tahun 1918 lahir dari Trikoro Dharmo dan seperti juga halnya Boedi Oetomo, sangat bertendensi kepada paham kebudayaan Jawa. Lihat C.S.T. Kansil & Julianto S.A., Sedjarah Perdjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1982, hlm. 36.
[4] R. Nalenan, Iskaq Tjokrohadisudiro: Alumni Desa Bersemangat Banteng, Jakarta: Gunung Agung, 1982, hlm. 38. juga Lihat Sejarah Perjuangan Pemuda Indonesia, disusun Panitia Penjusun Biro Pemuda Departemen P.D.&K., Jakarta: Balai Pustaka, 1965, hlm. 33.
[5] Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwirjo (terj.), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996 , hlm. 9.
[6] Peristiwa Cimareme terjadi pada bulan Juli 1919 di Cimareme, ketika Hadji Hasan Arief dan putra-putranya menolak menyerahkan 40 pikul beras (kurang lebih 2500 Kg) sebagai pajak. Dalam bentrok senjata yang terjadi, Hadji Hasan Arief dan enam orang pengikutnya tewas. Dalam penyelidikan yang dilakukan oleh instansi kolonial terbukti, bahwa Hadji Hasan Arief mempunyai hubungan dengan Afdeeling B Sarikat Islam yang telah merencanakan pemberontakan menentang Belanda. Untuk ini direncanakan pengiriman senjata Rusia lewat pelabuhan Cirebon ke Jawa. Lebih lanjut tentang peristiwa Cimareme lihat Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1928, hlm. 206-215; Sutrisno Kutoyo, Haji Hasan Arief: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983, hlm. 29. Tentang Afdeeling B lihat W.Oates, "Afdeeling B: An Indonesian Case Study", dalam Journal of Southeast Asian History IX. No. 1, 1986, hlm. 107-116; Mung-Cheong Yong, Conflicts within the Prijaji World of the Parahjangan in West Java 1914-1927, Field Report Series No.1, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1973, hlm. 26.
[7] Lihat Tempo tanggal 5-3-1983, hlm. 80-82.
[8] Holk H. Dengel, Darul Islam…, Op.cit., hlm. 11.
[9] S.M. Kartosoewirjo, Sambil Laloe: Soenan & Kebangsaan, dalam Fadjar Asia, 16-1-1929.
[10] S.M. Kartosoewirjo, Ra’iat dan Nasibnja, dalam Fadjar Asia, 12-2-1929.
[11] S.M. Kartosoewirjo, Bahaja jang Mengantjam Roeh dan Djiwa Ra’iat Djadjahan, dalam Fadjar Asia, 14-2-1929.
[12] S.M. Kartosoewirjo, Barisan Moeda, dalam Fadjar Asia, 6-2-1929.
[13] S.M. Kartosoewirjo, Moelai Sadar akan Hak-haknja, dalam Fadjar Asia, 16-2-1929.
[14] S.M. Kartosoewirjo, Satoe Boekti Gampangnja Hak Ra’iat Djadjahan Dilanggar atau Terlanggar, dalam Fadjar Asia, 23-2-1929.
[15] S.M. Kartosoewirjo, Halangan P.M.I Solo, dalam Fadjar Asia, 28-2-1929.
[16] S.M. Kartosoewirjo, Keberatan Ra’iat, dalam Fadjar Asia, 27-4-1929.
[17] S.M. Kartosoewirjo, Nasib Ra’iat Tjitjoeroek, dalam Fadjar Asia, tanggal 11-5-1929; Pajak sawah kelas 1 dinaikkan dari f. 27.50 menjadi f. 13.90 dan pajak kelas 2 dinaikkan dari f. 6.- menjadi f.11.50.
[18] S.M. Kartosoewirjo, "Orang Lampoeng Boekan Monjet tetapi ialah Manoesia Belaka!", Fadjar Asia, 10-6-1929.
[19] S.M. Kartosoewirjo, "Mana Hak Ra’iat?", Fadjar Asia, 8-6-1929.
[20] S.M. Kartosoewirjo, "Soe'al Kaoem Boeroeh dan Madjikan", Fadjar Asia, 3-6-1929.
[21] S.M. Kartosoewirjo, "Belanda Keboen jang Soeka Mempermainkan Anak Isteri Orang", Fadjar Asia, 6-6-1929.
[22] S.M. Kartosoewirjo, "Perajaan 1 Mei", Fadjar Asia, 6-5-1929.
[23] J. Ingleson, Jalan ke Pengasingan...., Op.cit., hlm. 142.
[24] Pada tanggal 30 April 1929, Kartosoewirjo menjadi wakil Kepala Redaksi dan penguasa penuh harian tersebut (Plaats vervangend Hoofdredacteur tevens Procuratiehouder). Lihat Fadjar Asia, 30-4-1929.
[25] Aryo Jipang atau disebut juga Aryo Penangsang adalah Adipati (Bupati) dari Jipang yang terletak dekat Cepu, yang pada pertengahan abad ke-16 termasuk daerah kekuasaan kerajaan Demak. Aryo Jipang membunuh penguasa yang kedua dari Demak yaitu Sunan Prawoto karena dendam atas kematian ayahnya. Raden Patah, penguasa pertama kerajaan Islam di Demak, menurut cerita dapat menaklukan kerajaan Hindu Majapahit pada tahun 1527 dan mengusir ayahnya sendiri, Raden Brawijaya. Kartosoewirjo yang mengaku keturunan Raden Patah merasa terpanggil untuk meneruskan Islamisasi pulau Jawa seperti yang dilakukan Raden Patah. Lebih lanjut tentang Aryo Jipang lihat Theodore G. Th. Pigeaud, & H.J. de Graaf, Islamic States in Java 1500-1700.
[26] S.M. Kartosoewirjo (dengan nama samaran Arjo Djipang), "Tipoe Moeslihat", dalam Fadjar Asia, 4-6-1929.
[27] Teks aslinya berbunyi sebagai berikut: “Djikalau orang moesti seboet siapa diantara journalis bangsa kita jang amat sombong, tidak salah lagi kalau kita seboetkan itoe pentol dari B(inatang) T(ikoes) dari Krekot”, lihat: S.M. Kartosoewirjo (nama samaran Arjo Djipang), "Goblok tapi Sombong", dalam Fadjar Asia, 17-6-1929.
[28] S.M. Kartosoewirjo, (nama samaran Arjo Djipang), "Neutraal, Onpartijdig dan Kemoenafikan," Fadjar Asia, 14-6-1929/15-6-1929.
[29] S.M. Kartosoewirjo, "Alamat Perpisahan", Fadjar Asia, 26-6-1929.
[30] S.M. Kartosoewirjo, "Penjiar Perchabaran Palsoe", Fadjar Asia, 22-6-1929.
[31] S.M. Kartosoewirjo, "Berekor Pandjang", Fadjar Asia, 2-7-1929.
[32] S.M. Kartosoewirjo, "Roedjak Sentoel", Fadjar Asia, 17-7-1929.
[33] H.O.S. Tjokroaminoto, "Islam dan Nasionalisme", Fadjar Asia, 24-5-1929
[34] John Ingelson, Jalan ke…., Op.cit., hlm.87.
[35] S.M. Kartosoewirjo, "Memboeta Toeli", Fadjar Asia, 29-1-1929.
[36] M.C. Ricklefs, op.cit., hlm. 271.
[37] Ibid., hal. 259.
[38] Menurut Noer, Kartosoewirjo dulu telah mempunyai hubungan dengan Kiai Mustofa Kamil (Tasikmalaya), Kiai Ramli dan Kiai Jusuf Taudjiri (Wanaraja); untuk ini lihat D. Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), 1980, hlm. 166, lihat juga Pinardi, Sekarmadji …, Op.cit., hlm. 28.
[39] Pinardi, Sekarmadji…., Op.cit., hlm. 24.
[40] Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Tengah, Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, hlm. 39, R. Wiyono, Organisasi Kekuatan Sosial Politik Indonesia, Bandung: Alumni, 1982, hlm. 9, lihat juga Bernard Dahm, The History of Indonesia in the Twentieth Century, London: Praeger Publisher, 1971, hlm. 40. Tentang berdirinya SI dan riwayat hidup pendirinya lihat buku karangan Muljono & Sutrisno Kutoyo, Haji Samanhudi, Jakarat: Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983, hlm. 39.
[41] Tentang tanggal berdirinya Sarikat Dagang Islam terdapat berbagai uraian dan data yang berbeda-beda, pada umumnya tahun 1911 dianggap sebagai tahun berdirinya SDI. Untuk itu lihat M.R. Karim, Perajalanan Partai Poltik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta: Rajawali, 1983, hlm. 19, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1977, S. 5, Gani dan Amin menyebutkan tahun 1905 sebagai tahun berdirinya SDI. Untuk ini lihat M.A. Gani, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 9; M.M. Amin, Saham H.O.S Tjokroaminoto dalam Kebangunan Islam dan Nasionalisme di Indonesia, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980, hlm. 16.
[42] Pada tahun 1915 SI mempunyai 490.120 anggota, sebaliknya pada tahun 1916 hanya 356.163 anggota. Umumnya di daerah dibuka kantor pusat dan dimana saja, bila anggotanya cukup banyak, dibuka kantor cabang (Afdeeling), yang kemudian terbagi lagi dalam ranting (kring) dan anak ranting (groep). Seluruh organisasi SI ini mula-mula dipimpin oleh Central Comitee Sarekat Islam Hindia Timoer di Solo. Untuk ini lihat: Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur, Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, hlm. 54.
[43] Sarekat Islam mendukung kepentingan para pedagang pribumi dan juga mendukung ide suatu negara Islam, dan menentang politik kristenisasi dan kolonialisme. Untuk peranan SI sebagai pergerakan Nasional yang pertama lihat skripsi Dimjati, Peranan Sarekat Islam sebagai Usaha Organisasi Politik Nasional Pertama di Indonesia, Bandung: Skripsi Fakultas Sastra UNPAD, 1968, dan thesis A.T. Jaylani, The Sarikat Islam Movement: Its Contribution to Indonesian Nationalism, M.A. thesis, Institute of Islamic Studies, Faculty of Graduate Studies and Research, Montreal: Mc. Gill University, 1959.
[44] SI berganti nama pada tahun 1923 menjadi Partai Sarikat Islam (PSI), pada tahun 1927 menjadi Partai Sarikat Islam Hindia Timoer (PSIHT) dan pada tahun 1930 menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Lihat Amelz, H.O.S. Tjokroaminoto: Hidup dan Perdjuangannja, Jilid 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1952, hlm. 15; E.S., Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya, Bandung: Pustaka-Perpustakaan Salman ITB, 1983, hlm. 222.
[45] Lihat Akira Nagazumi, The Dawn of Indonesian Nationalism, (Tokyo: Institute Developing Economies, 1972), hlm. 91; Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hlm. 86.
[46] M.C. Ricklefs, Op.cit., hlm. 260-261.
[47] Jaylani, The Sarekat Islam Movement: Its Contribution to Indonesian Nationalism, M.A., thesis, Mc Gill University, Monterial, 1959, hlm. 76.
[48] Donald Hindley, The Communist Party of Indonesia 1951-1963, Berkeley, and Los Angeles: University of California Press, 1964, hlm. 18.
[49] Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, The Hague and Bandung: W.van Hoeve, 1960, hlm. 358.
[50] Anhar Gonggong, Pemanfaatan Islam oleh Komunis Indonesia (1914-1927), dalam Persepsi I, No.1, 1979, hlm. 61.
[51] M.C. Ricklefs, Op.cit., hlm. 262.
[52] Kelompok ini diprakarsai pendiriannya oleh Sosrokardono dari CSI dan beberapa orang aktifis lainnya, kelompok ini diberi nama 'Afdeeling B' (Seksi B) atau 'Sarekat Islam B' dan mempunyai satu program yang jelas yaitu berusaha dapat menjalankan kegiatan politik yang sah di dalam Volksraad.
[53] M.C. Ricklefs, Op.cit., hlm.262-263.
[54] Loc.cit.
[55] Dalam interpretasi program dasar PSII H.O.S. Tjokroaminoto menggunakan Program Erfurt dari partai Demokrasi Sosial Jerman tahun 1891, dan juga tolong disimak pemikiran tentang akumulasi modal dari Rosa Luxemburg seorang tokoh partai komunis Jerman. Lihat Amelz, H.O.S. Tjokroaminoto…, Op.cit., hlm. 33-39. D. Noer. Gerakan…, Op.cit., hlm. 158.
[56] Dikutip dalam Jaylani, Op.cit., hlm. 59.
[57] Ibid.
[58] A. Fitz, Sarekat Islam. Ziele, dalam Asien Lateinamerika VIII, No.4, 1980, hlm. 646, sebagaimana dikutip Dengel, op.cit., hal. 34.
[59] Deliar Noer, op.cit., hal. 142-143.
[60] C. Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995, hlm. 20.
[61] Deliar Noer, op.cit., hal. 162.
[62] Loc.cit.
[63] Lihat Moh. Roem, "Pergerakan Kesadaran dalam PSII (II)", dalam Pemandangan V, No. 25, tanggal 1-2-1937.
[64] Deliar Noer, op.cit., hal. 162.
[65] Deliar Noer, op.cit., hal. 163.
[66] Moh. Roem, "Pergerakan….", Op.cit., (III) dalam Pemandangan V, No. 26, tanggal 2-2-1937.
[67] Abikusno Tjokrosujoso, ”Perpecahan dalam Doenia PSII, Haq Datang, Bathil Berlari", dalam Pemandangan V, No. 2, tanggal 4-1-1937.
[68] Sabirin, "Pemimpin Tahan Oedji, Ra’iat Tahan Ragam", dalam Pemandangan V, No.1, tanggal 2-1-1937.
[69] Sabirin, “Non atau Co, Lajnah Tanfidziah PSII Baroe jang Pintjang", dalam Pemandangan V, No. 3, tanggal 5-1-2937.
[70] Sabirin, “Non atau Co Lt. PSII dan Kekeliroeannja", dalam Pemandangan V, No. 216, tanggal 31-12-1936.
[71] Moh. Roem, Pergerakan….., Op.cit., (I), dalam Pemandangan V, No. 24, tanggal 30-1-1937.
[72] Moh. Roem, Pergerakan….., Op.cit., (III), dalam Pemandangan V, No. 26, tanggal 2-2-1937.
[73]Alfian, Islamic Modernism in Indonesian Politics: The Muhammadijah Movement During the Dutch Colonial Period (1912-1942). Ph.D. Diss, Madison: University of Wisconsin, 1969, hlm. 113. Dengan demikian PSII terpecah menjadi tiga partai, PSII di bawah pimpinan Abikusno, PARI (Partai Islam Indonesia) di bawah pimpinan Sukiman, dan Pergerakan Penjadar di bawah pimpinan H.A. Salim yang ingin menjadarkan pimpinan partai bahwa zaman telah berubah. Untuk itu lihat Ariwiadi, Ikhtisar Sejarah Nasional Indonesia (Awal-Sekarang), Seri textbook sejarah ABRI, Jakarta: Dep. Pertahanan-Keamanan, Pusat sejarah ABRI, 1979, hlm. 88.
[74] Komando Daerah Militer VI Siliwangi Team Pemeriksa, Berita Atjara Interogasi III, Bandung, 20 Djuni 1962, hlm. 2.
[75] Sabirin, “Non atau Co….", Op.cit., dalam Pemandangan V, No. 3, tanggal 5-1-1937.
[76] Deliar Noer, op.cit., hal. 159, Susanto Tirtoprojo, Sedjarah Pergerakan Nasional Indonesia, Jakarta: Pembangunan, 1970, hal. 16.
[77] Moh. Roem, Pergerakan…, Op.cit., (III), dalam Pemandangan V, No.26, tanggal 2-2-1937.
[78] S.M. Kartosoewirjo, Sikap Hidjrah PSII, Ditetapkan oleh Madjlis Tahkim Party Sjarikat Islam Indonesia ke 22. Jilid 2, Buitonzorg: Buitenzorgsche Drukkerij, 1936, hlm. 68.
[79] S.M. Kartosoewirjo, Sikap Hidjrah PSII, Ditetapkan oleh Madjelis Tahkim Party Sjarikat Islam Indonesia ke-22: Didjelaskan oleh S.M. Kartosoewirjo, Wakil Presiden Dewan PSII, Malangbong dan Jakarta, 1936.
[80] Ibid., hlm. 65.
[81] Ibid., hlm. 64.
[82] S.M. Kartosoewirjo, Sikap Hidjrah…, Op.cit., Jilid I, hlm. 21.
[83] Ibid., hlm. 32.
[84] S.M. Kartosoewirjo, Sikap Hidjrah…, Op.cit., Jilid 2, hlm. 33.
[85] Ibid., hlm. 66.
[86] Ibid., hlm. 47.
[87] Ibid, hlm. 30.
[88] S.M. Kartosoewirjo, Daftar Oesaha Hidjrah PSII, Bagian Moeqoddimah, Tjetakan pertama, Malangbong: Penerbit Poestaka Dar-oel-Islam, 1940, hlm. 1.
[89] Beberapa Kepoetoesan conferentie peotjoek pimpinan PSII, dalam Soeara PSII II, No. 9, 1938, hlm. 156.
[90] C. Van Dijk, Darul Islam…, Op.cit., hlm. 25.
[91] Bandingkan, Hiroko Horikoshi, The Da-rul-Islam Movement…., Op.cit., dalam Indonesia, No. 20, 1975, hlm. 63.
[92] A.K. Pringgodigdo, Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 1970, hlm. 122., Holk H. Dengel, Darul Islam ......, Op.cit., hlm. 22.
[93] Hiroko Horikoshi, The Da-rul Islam…, Op.cit., hlm. 63, lihat juga A.K. Pringgodigdo, Sedjarah Pergerakan…, Op.cit., hlm. 122, Pringgodigdo menulis, bahwa KPK PSII telah memiliki 21 cabang dalam bulan Maret 1940.
[94] S.M. Kartosoewirjo, Daftar Oesaha Hidjrah..., hlm. 2.
[95] Ibid., hlm. 5.
[96] Ibid., hlm. 6.
[97] Ibid., hlm. 21.
[98] Bagian ke 5 dari Daftar Oesaha Hidjrah adalah mengenai tasawuf dan “ajaran-ajaran Islam lainnya”, lihat Ibid., hlm. 23.
[99] Ibid., hal. 25.
[100] Ibid., hal. 27.
[101]Hiroko Horikoshi, The Da-rul Islam…, Op.cit., hlm. 63., Deliar Noer, op.cit., hal. 34. Dia menulis “Yang dimaksud Suffah adalah suatu lembaga pada masa Nabi, tempat sejumlah pemuda diberi pelajaran oleh Nabi sendiri untuk menyebarkan Islam”. Lihat juga B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague, Martinus Nijhoff, Verhandelingen KITLV vol. 59.
[102] Tentang fungsi dan pembangunan sebuah pesantren lihat S. Soebardi, "The Pesantren Tarikat Surialaya in West Java", dalam Essays presented to Sutan Takdir Alisjahbana on His 70th Birthday (Jakarta: Dian Rakyat, 1978) hal. 215-236; Zamankhasyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982).
[103] M.C. Ricklefs, Op.cit., hlm. 313.
[104] S. Soebardi, Kartosuwirjo and the Darul Islam Rebellion…, Op.cit., 144.

Tidak ada komentar: