Senin, 04 Agustus 2008

Dilema Muslim di Negara Non Islam

DILEMA MUSLIM DI NEGARA NON ISLAM
Ustadz Abu Fida At-Tamimi

Beberapa tahun yang lewat muslimin, rakyat Republik Indonesia, dikagetkan oleh berita ditangkapnya Panglima Lasykar Jihad, Ustadz Ja’far Umar Thalib (JUT) diduga melakukan pembunuhan terencana. Sedangkan muslimin memandang apa yang sudah dilakukan Ja’far Umar sebagai pelaksanaan ibadah, yang berhak memperoleh perlindungan negara. Mengapa Ustadz Ja’far ditangkap polisi ? itulah pertanyaan yang muncul di benak mereka. Padahal betapa besarnya jasa JUT pada republik, kecintaannya pada republik tidak perlu diragukan lagi, ia mengerahkan pengikutnya untuk menjadi milisi sukarela menentang RMS demi mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesetiaannya pada Republik Indonesia membuat ia tak segan segan menyatakan bahwa NII, adalah musuh (Lihat majalah Salafy tahun pertama nomor 01).

Urusan RMS yang sebenarnya masalah peperangan yang harus dihadapi TNI sebagai unsur militer RI, karena tanggung jawabnya yang sangat besar, didorong oleh kesadaran agamanya yang sangat tinggi, JUT tak tahan melihat ‘kelambanan’ TNI dalam menghadapi RMS membuatnya berinisiatif membentuk milisi dan menghadapi agen agen RMS tersebut. Tentu saja ini sangat menguntungkan RI, sebab bila dihadapi TNI, persoalan RMS bisa mencuat ke forum internasional. Belajar dari kasus Timor Timur, nampaknya TNI tidak mau terpancing dua kali, TNI tidak mau terjatuh pada lubang yang sama dua kali. Dan dengan kehadiran lasykar jihad, maka persoalannya bisa dibatasi sebagai kasus horizontal, rakyat berhadapan dengan rakyat, sehingga “Kasus Ambon” tetap merupakan problem internal RI yang tidak bisa dicampuri negara lain.
Jasa JUT sangat besar, bukan saja menghemat anggaran militer, tapi juga menyelamatkan RI dari terseret dalam sengketa internasional dengan RMS yang memiliki pemerintahan pengasingan di Belanda tersebut.
Namun ketika JUT melaksanakan hukum pidana Islam, kontan saja pihak RI merasa kecolongan, sebab berlakunya hukum pidana di luar KUHP resmi RI, dianggap sebagai ancaman bagi kedaulatan hukum RI. Tanpa mempertimbangkan lagi betapa besarnya jasa JUT terhadap RI, kini ia berkhalwat dalam tahanan, ditangkap oleh pemerintahnya sendiri. Tragis memang, namun pasti ada hikmah di balik segala yang terjadi, setidak tidaknya semoga bisa membuka mata hati JUT dan pengikutnya, bahwa RI memang bukan negara yang pantas dibela ! Sudah saatnya penegak Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengisi menggalang Negara Kurnia Allah, Negara Islam Indonesia yang nyata nyata berdasar Islam dan menjadikan Al Quran dan Sunnah sebagai hukum tertinggi. Insya Allah kasus penahanan JUT tidak akan pernah terjadi dalam NII berjaya kelak.
Keheranan muslimin warga RI atas kasus ini memang wajar, karena mereka selama ini memang senantiasa berharap semakin hari semakin bisa melaksanakan hukum Islam di negara yang dicintainya itu. Namun sayang negara mereka tidak dibuat untuk memenuhi apa yang mereka harapkan tadi, terbukti awal berdirinya saja ditandai dengan mencoret kewajiban menjalankan Hukum Islam.

Arti Negara dan Peranannya

Negara adalah lembaga hukum tertinggi dalam satu wilayah “yang dengan segala perangkat kekuasaannya”, ia memiliki kemampuan untuk memberlakukan suatu aturan, dan memaksa seluruh penduduk yang tinggal di dalamnya untuk tidak melanggar setiap peraturan yang telah diundangkan tadi.
Negara memiliki dasar falsafah dan hukum tertinggi yang menjadi pondasi berdirinya, setiap peraturan dan hukum yang berlaku mestilah selaras dan menjiwai asas dan hukum tertinggi tersebut. Demikian pentingnya posisi dua hal di atas hingga dikokohkan sedemikian rupa, tidak mungkin berubah kecuali bila negaranya berubah pula. Sebab perubahan asas negara berarti merubah seluruh sistem hukum berarti pula memporak porandakan sistem nilai yang telah lama dianutnya.
Artinya dimana saja anda menemukan suatu negara yang tidak berdasarkan Islam, maka sampai kapanpun, negara tadi tidak akan pernah memberlakukan Islam sebagai perundang undangan di dalamnya. Mungkin saja negara tersebut akan memberikan kebebasan pada beberapa aspek ajaran Islam, tapi tidak bagi hukum perdata dan pidananya ! Ini akan difahami oleh siapa saja yang memahami hakikat sebuah negara.
Mereka yang tidak tahu arti negara, sering menyimpan harapan yang salah, berharap negara Non Islam, bisa memberlakukan hukum Islam suatu sa’at, sebuah impian yang manis ......
Dalam pemahaman kita atas hakikat suatu negara, yakinlah bahwa hukum Islam hanya akan berlaku di dalam negara yang berasaskan Islam, sebagaimana perundang undangan yang berjiwa liberalis hanya akan terwujud di negara negara liberal. Faham liberalis mungkin saja dipeluk sebagian orang di bukan negara liberal, tapi cuma sebatas wacana, tidak akan pernah mewujud menjadi undang undang, sebelum negara tadi berubah jadi negara liberal, harap jelas !
Perlu disadari, bahwa memang negara bukan jaminan bagi Islaminya seluruh manusia, sebab urusan ketho’atan kepada Alloh dalam Islam sama sekali tiada paksaan [S.2:256, S.10:99]. Adanya negara semata mata untuk menjamin tegaknya hukum Alloh, dalam arti berdaulat atas satu wilayah dimana didalamnya dihuni aneka corak karakter manusia. Sebab Islam akan membawa rahmat bagi dunia manakala tanpil dalam sosoknya yang utuh, sedang keutuhan itu tidak mungkin tanpa perlindungan struktur yang Islami pula.
Bisa saja orang tidak menerima Islam [S.18:29], kita tidak memaksa maksa, namun mereka harus tahu bahwa yang diyakininya itu salah dan merusak bila berkembang. Karenanya mereka hanya boleh melaksanakannya sebatas kalangan mereka sendiri, seraya tetap harus memberi jalan bagi terlaksananya ajaran Islam yang menyelamatkan dunia ini. Disinilah fungsi Daulah Islamiyyah, ia hadir bukan untuk memaksa keyakinan pribadi seseorang, tapi menjamin terlaksananya tata hukum Alloh di bumi Alloh. Secara pribadi orang bisa[1] saja kafir, tapi hukum Islam yang berjalan jangan diganggu gugat, harus Islam seperti Islamnya langit dan bumi pada aturan Ilahi.
Bisa bisa saja kalau orang tidak mau naik dalam kapal Nuh, perkara dia tenggelam itu resiko dia sendiri. Namun orang yang beriman tetap harus memiliki perahu, yang menyelamatkannya dari karam dekadensi moral yang mengharu biru dunia. Hanya Ulul Albab sajalah yang bisa mengambil pelajaran.... Jangan karena orang senang berenang renang di air banjir, lantas kita berfikir tidak perlu perahu. Sebab daya renang itu terbatas, pada akhirnya akan tenggelam juga ! Seperti itulah hajat kita pada negara di tengah tengah kecamuknya dunia.
Persoalan mana yang harus didahulukan [negara atau orangnya dulu ?], memang sulit diuraikan, dan tidak perlu dijawab[2]. Yang jelas kedua duanya harus ada ! Rakyatnya sholeh, negaranyapun menerapkan aturan yang Islami pula. Jika satu ada sedang lainnya ditiadakan, maka nikmatnya Islam tidak mungkin dirasakan secara sempurna dan utuh. Negara dan rakyat Islam merupakan dua sisi mata uang yang menentukan nilai uang itu sendiri.
Sebenarnya kita tidak perlu bingung dengan pertanyaan “Ayam - Telur” ini, sebab bagi kita negaranya sudah ada, tinggal mempertahankan dan mengokohkannya, seraya mengisi dan memperbaiki diri di dalamnya, serta berjuang beramal sholeh demi kelangsungan tegaknya. Mengapa mesti bingung bingung[3] ? ?
Taruhlah sekarang rakyatnya tho’at melaksanakan Islam, tapi kalau hukum yang diabsahkan negara itu tidak Islam, maka masyarakat hanya bisa Islami pada bagian bagian yang tidak dikuasai hukum tersebut, selebihnya mau tidak mau ia harus mengikuti aturan main yang ditegakkan oleh hukum non Islam tadi. Sebaliknya bila Negaranya sudah Islam, tapi ada rakyat yang durhaka, maka negara akan menegakkan “Law enforcement” sehingga kedurhakaan tadi tidak jadi ‘ngetrend’ di masyarakat, itulah sebabnya hukum Islam demikian tegas dan keras, sehingga bukan sekedar menggantikan hukuman di akhirat bagi pelakunya, tapi juga jadi pelajaran yang menakutkan bagi yang lain.

"Tapi kan walaupun negaranya Islam, kalau orangnya mau jahat, tetap saja kejahatan itu bisa berlangsung ?!" begitu kata orang.
Benar ! Dalam negara Islam saja kejahatan bisa terjadi[4], apalagi di negara yang ukuran baik dan buruk diserahkan pada pribadi pribadi ! Mungkin saja pelanggaran dan kemakshiyyatan terjadi di negara Islam, namun jelas tidak seleluasa di negara non Islam[5].

Kitapun kini tengah memprioritaskan pembinaan manusia, namun bukan puas dengan sekedar baik dan indah dalam jambangan bunga orang lain, bukan untuk dijadikan barang komoditi, sehingga menarik pihak lain untuk menyumbang dan membantu. Kita ingin menjadi diri kita yang besar di negara kita sendiri.

Dilema Kaum Muslimin dalam Negara Non Islam

Bila kaum Muslimin jadi penduduk negara yang tidak berdasar Islam, apalagi jika negara itu mendudukan Islam sama saja seperti agama agama lain yang diakuinya, dimana sistem hukumnya lebih berorientasi pada terjaganya perasaan manusia daripada tegaknya wahyu dan terjaminnya keadilan.
Kondisi demikian, tidak menutup kemungkinan bagi terlaksananya kebaikan bagi muslimin dalam sebagian kasus dan aspek ajaran Islam, namun BUKAN untuk keseluruhan ajarannya ! Maksimal kebaikan yang bisa dilakukannya, setinggi tinggi ketho’atan yang bisa ditunaikannya, hanyalah sebatas “islam” yang telah ditundukkan di bawah hukum nasional tadi !
Sayang tidak banyak orang yang menyadari .... Sebenarnya pada tekanan dan kungkungan situasi seperti ini, mereka bukan sedang melaksanakan Islam yang asli dan utuh sebagaimana ditegakkan nabi SAW, tapi “islam” yang telah dijinakkan penguasa Darul Kuffar !
Yang diamalkannya bukanlah Islam yang hakiki, sekedar berkarya dan berkreasi sebatas perundang undangan nasional. Bedanya dengan warga negara yang lain, ia melaksanakannya dalam “versi islam”.
Kalau ia tidak bohong, tidak menipu, tidak mabuk mabukan, tidak korupsi, ia berperan sebagai rakyat yang baik, yang tunduk pada hukum negara, di dorong dan dilatar belakangi keimanannya pada 'islam'. Seperti rekan senegaranya tidak bohong dan tidak memalsu semata takut hukuman penjara dan sedikit dilatar belakangi iman kristen.
Kenapa tidak bisa dikatakan otomatis mentho’ati ajaran Islam ? Terbukti ketika ada perintah atau larangan yang yang diabaikan negara, maka ia tak berkutik, tidak berbuat apa apa, seakan sungkan memaksimalkan diri beramar ma'ruf nahyi munkar dalam kasus tersebut. Ia tunduk pada “islam” yang dialas negara, dan menjadi baik dalam batas batas tadi. Ia tetap “berhutang” pada Alloh atas kewajiban kewajiban yang tidak bisa ia laksanakan sebab terhalang hukum hukum nasional tadi. Ja’far Umar Thalib termasuk orang spesial di RI, ia berani mengambil terobosan baru, menjalankan Hukum Islam meski ia sadar negaranya bukan Negara Islam, dan kini kita melihat bagaimana negara mengantisipasi rakyatnya yang spesial ini. Memang menyakitkan, tapi begitulah kepribadian negara RI, dari awal memang anti hukum Islam.
Muslimin di Negara Non Islam tumbuh dan berkembang, ibarat bunga di dalam jambangan, bersih, resik asri, diberi fasilitas, disirami, namun dibatasi pertumbuhannya. Ia hanya boleh berkembang dalam batas batas yang dikehendaki pemilik rumah. Berani berkembang lebih dari itu, dipangkas ! Ia indah, tapi sekedar hiasan, bagian dari kepunyaan orang lain, dirinya bukan miliknya, terbukti tidak dapat tumbuh seperti yang seharusnya !
Tidakkah orang orang menyadarinya ? ? Kalau hari ini tidak dilarang sholat dan haji, bukan berarti Islam diberikan kebebasan, namun karena yang dilaksanakan, memang masih dalam batas batas yang diidzinkan. Coba minta yang lebih dari itu .. dipangkas !
Cuma karena selama ini orang tahunya Islam itu sekedar sholat -shoum - zakat dan haji, ia tidak menyadari kalau sebenarnya tengah berada dalam kondisi "siap dipangkas". Baru setelah kasus JUT terjadi, semua mata terbelalak, “Ooo h begini rupanya RI” Alhamdulillah kini bukan hanya warga NII yang menyadari masalah ini.
Sebagai contoh, kejahatan pencurian merajalela merusak ketentraman penduduk muslim, namun mereka tidak bisa menghapusnya dengan therapi Islami [hukum potong tangan], jika pencurinya “ketangkap”,harus diserahkan pada aparat negara yang akan menghukumnya 6 atau 8 bulan, yang setelah ke luar justru potensi maling sang pencuri tadi jadi makin meningkat dan menghebat daya rusaknya di kalangan masyarakat muslim. Hal ini sudah betul di negara RI yang tidak melaksanakan Hukum Islam, dan itulah harga yang harus ditelan bagi muslimin yang tinggal di dalamnya !
Mereka tidak berdaya dengan kasus kasus pengkhianatan keluarga dan penyelewengan cinta, sebab hukuman bagi pezina yang sudah berkeluarga tidak ditegakkan, begitu juga dengan pintu pintu yang mengarah pada eksploitasi seksual yang dibiarkan lebar terbuka. Pembunuh bisa melakukan aksi sampai lima enam kali pembunuhan, sebab tidak dihukum qishos pada pembunuhan yang pertama. Penjahat nampak lebih berwibawa dari ulama dibawah tatanan hukum yang tidak berakar pada wahyu.
Para ulama hanya dimintai fatwa atas masalah masalah yang sebenarnya bukan dampak dari diterapkannya ajaran Islam [seperti pengguguran kandungan, menikahkan gadis hamil, dakwah ke lokalisasi wts]. Sang alim tadi secara tak disadari telah menjatuhkan nilai dirinya bila mau menjawab hal hal tersebut.
Islam semestinya tidak bertanggung jawab atas hal hal yang ditimbulkan oleh sistem di luar dirinya. Seharusnya mereka membuka jalan bagi terlaksananya Dienul Islam lebih dahulu, nanti kalau masalah masalah seperti yang ditanyakan itu tetap ada, baru tanyakan mengapa dan bagaimana penyelesaiannya. Kalau dijawab sekarang percuma ! Sebab jawaban tadi tetap harus tunduk pada sistem hukum yang ada.
Baru baru ini timbul polemik boleh tidaknya menikahkan wanita yang telah hamil sebelum nikah dengan lelaki yang menghamilinya. Jawabannya bingung dan setengah setengah, timbul pro dan kontra, kalau dijawab “boleh” berarti bertentangan dengan beberapa petunjuk nabawi, kalau dilarang, kasihan, betapa banyak wanita yang beban mental, melahirkan anak tanpa suami, sedang yang seperti itu banyak di masyarakat.

Untuk menjawab persoalan seperti ini, jelas amat dipengaruhi oleh kondisi negara dimana masalah di atas timbul. Bila negara Islam sudah berjaya, defacto, maka yang hamil di luar nikah itu tidak langsung dinikahkan, tapi dijilid 100 kali, atas keputusan hakim [S.24:2-3]. Adapun pada kondisi hukum belum tegak, pelaku mesti keluar dari struktur yang membuatnya berani berbuat makshiyyat, masuk ke dalam pangkuan Daulah Islamiyyah Berjuang dan beramal Islami di dalamnya. Insya Alloh kejahatannya akan berganti jadi kebaikan [S.25:68-71].
Memutuskan boleh atau tidaknya menikahkan, tanpa menyinggung nyinggung masalah hukum pidana Islam mengenai hal itu, merupakan tanda rendah diri dan menutup mata dari kewajiban ilahi. Menyatakan boleh, tanpa mengingatkan bahwa “sebenarnya anda jadi berani berbuat begitu, karena dibesarkan dalam pangkuan struktur yang tidak menghargai syari'at, dan menunjukkan cara taubat yang sebenarnya. Hanya membuat orang semakin gampang berbuat dosa. Pembolehan itu membuat gembira para syetan yang tengah merajut jaring jebakannya !
Mengapa tidak dilaksanakan hukum pidana Islam di luar negara Islam ? Di sinilah letak keluasan dan keluwesan hukum Islam. Ia baru menghukum pelaku kejahatan, manakala sistem keadilan Islam dibuka, sehingga tertutup semua pintu kejahatan. Dan bila dalam sistem yang sedemikian tertib dan adil masih ada juga yang berani menyimpang, maka ia benar benar keterlaluan, dan pantas dihukum berat, sebagai penebus dosa baginya di akhirat dan pelajaran bagi yang lain.
Berdasarkan Sunnah, bilamana kondisi dalam Darurat Perang, atau kondisi sedang berada dalam wilayah yang sedang dikuasai musuh, maka tidak diperbolehkan melaksanakan hukum had Qishos dan Rajam. Sebab kalau dipaksanakan dilaksanakan, maka ummat Islam belum tentu mampu meredam effek negatif yang timbul daripadanya. Bagaimana kalau si terhukum membelot kepada musuh, bagaimana kalau keluarganya tidak rela dan menuntut balas. Lagi pula setiap pelaksanaan hukum pidana Islam harus diputuskan lewat lembaga pengadilan Islam, dimana semuanya dibuktikan di sana.
Abul Qosim Al-Khroqi dalam risalahnya meriwayatkan bahwa Bisyr bin Arthaah menangkap seorang tentara (mujahid) yang mencuri barang miliknya. Dia berkata:”Sekiranya aku tak mendengar sabda Rasulullah SAW, diwaktu perang, tangan-tangan tak boleh dipotong, pasti akan kupotong tanganmu”. (Diriwatkan oleh Abu Daud).
Imam Ahmad, Ishak bin Ranaiwah, Azauza’i juga yang lainnya menentukan, bahwa hukum tidak boleh dilaksanakan di daerah yang dikuasai musuh. Khalifah Umar bin Khathab mengumumkan pelarangan terhadap pelaksanaan hukum dera di waktu perang[6].
Dilema lain muncul sa'at berada dalam sistem Non Wahyu, adalah bercampur aduknya golongan yang saling bermusuhan dalam satu wadah, terasa keperihan konfrontasi yang tanpa henti, dan tak bisa berbuat banyak untuk membela dan melindungi diri. Mengapa ? Sebab semua agama diakui kebenarannya, dilindungi eksistensinya, dibiarkan menyebar, tetap punya hak yang sama untuk berkembang. Misi Rosululloh SAW Muhammad untuk memenangkan Islam jadi penyelamat dunia, di atas semua agama lain yang telah tercemar tidak bisa dilanjutkan, sebab dianggap tidak toleran.
Muslimin tak berkutik, menahan hati, menelan ludah dipaksa mengakui semua agama sama, walaupun ia tahu dalam agama lain nabi nabi yang dihormatinya dihina dan dicaci maki.
Bagaimana mungkin seorang muslim yang baik bisa menerima kalau Allohnya sama dengan Alloh yang pernah dikalahkan Yakub ? [Kejadian 32:22-32]. Bagaimana mungkin harus mengakui kitab suci yang didalamnya disebutkan bahwa nabi nabi kita yang mulia melakukan hal yang tercela. Nabi Nuh dikatakannya pernah mabuk sampai telanjang [Kejadian 9:20-25], Nabi Luth berzina dengan kedua anaknya sampai kedua duanya berputera [Kejadian 19:30-38]. Nabi Daud berzina dengan Batsyeba dan mencelakakan suaminya [II Samuel 11:1-27]. Nabi Sulaiman [kata mereka merupakan anak hasil Zina Nabi daud dengan Batsyeba -lihat I Raja Raja 2:13-25] juga dibilang "sex maniak" beristri 700, bergundik 300 dan durhaka kepada Alloh [I Raja raja 11:1-13].
Bisakah anda menghormati 'kitab suci' yang berisikan cerita cerita jorok begitu ? Bisakah anda mengijinkan orang berkhutbah dan menyebarkan ajaran seperti ini ? Tentu tidak, maka dari itu kita menyingkir dan berhijrah dari negara seperti itu
Muslim Dzimmi warga Darul Kuffar, tersinggung dengan khutbah saudaranya sebangsa, mereka ingin berteriak :"Hentikan penyebaran dusta dan fitnah terhadap para nabi suci itu, jangan lagi katakan Alloh beranak pinak !" Mereka ingin melaksanakan S.9:29, tapi ada kuasa struktur lain yang menahan tangan dan mulutnya.
Apakah ini menyakitkan ? ? Tidak, itulah harga yang harus mereka telan bila jadi warga Darul Kuffar ! Mengapa ? Itulah nasib hati menjadi warga RI, bukankah baik buruk juga negaranya ? yang mereka dituntut untuk membelanya sampai mati ?
Disekolah sekolah anak anak diajari untuk menghormati semua agama, dan berpendapat merekapun memiliki kitab suci seperti kita memiliki kitab suci Quran. Adakah penghinaan yang lebih menyakitkan selain ini ? ? Bagi muslim dzimmi, hal ini sungguh menyakitkan, makanya dimana mana mereka terus memprotes pemerintahnya.

Tapi bagi warga negara Islam berjuang, justru membangkitkan kesadaran, begitulah hakikat hidup di Darul Kuffar, Ia tidak akan protes, sebab memang bukan negaranya. Hanya tentu saja semua yang dilihat dan didengarnya semakin membangkitkan tekad untuk membangun kekuatan dalam Negaranya sendiri yang amat menghormati Islam ini, Aamiin.
Kedua pihak yang berperang ini, mengalir beriringan tapi bukan berarti sama, masing masing berbuat maksimal untuk negaranya. Hanya saja yang satu tengah menang bertempur yang satu masih mengumpulkan kekuatan untuk bangkit kembali. Ini yang tidak disadari muslim dzimmi .....
Mestinya mereka menyadari, bahwa bercampur dengan mereka yang memalsu kitab menghina nabi, dibiarkan koeksis [sama sama hidup] dengan hak sama, merupakan 'adzab tersendiri, sayang banyak orang yang senang hidup di dalam 'adzab [S.6:65].
Mungkin dengan penjelasan ini ada yang balik sinis bertanya : « Mana NII itu tidak ada, mana buktinya kalau ada, NII itu negara hantu, ada namanya tidak ada wujudnya, yang jelas adanya itu RI, inilah negara yang kita !! Orang yang ngaku ngaku warga NII itu bermimpi di siang bolong ! » Orang ini tidak faham bahwa ada atau tidaknya negara juga tidak lepas dari pengakuan rakyat. Republik Indonesia terasa adanya, sebab hari ini lebih dari 200 juta manusia mengakui adanya, coba kalau besok 200 juta orang tadi mengakui adanya NII, maka pasti NII yang ada itu menjadi terasa. Justru hari ini NII tidak terasa adanya, karena kebanyakan orang tidak mau mengakui keberadaannya. Jadi siapa yang sebenarnya mengubur hidup hidup negara Islam ? Tega teganya seorang muslim mengubur hidup hidup negara Islam hanya untuk memelihara eksistensi Darul Kufar, tapi apa hendak dikata, begitulah kenyataanya. Dan orang yang sinis tadi adalah salah satu daripadanya.
Terkadang kita heran malah muslimin di luar Indonesia, bisa terbuka hati menyambut perjuangan NII. Yah, memang sebenarnya tidak sulit untuk menerima kebenaran perjuangan NII, yang sulit adalah melepaskan kewarganegaraan RI yang sudah puluhan tahun berurat berakar dalam jiwa mereka. Buktinya, mereka yang tidak terbelenggu oleh itu, dengan tulus memberikan sambutan mulia :
DR. Yusuf Qardhawi mengulas tentang perjuangan NII ; “Di Indonesia, terdapat pengalaman Darul Islam yang berlindung di gunung, mereka berperang sebagai pahlawan pahlawan. Dan ini berlangsung beberapa tahun. Mereka telah melakukan contoh contoh yang menakjubkan, dan kepahlawanan yang jarang bandingannya. Kemudian, mereka diusir oleh pesawat pesawat tempur[7] ..”
Hafidz Muhammad Al Ja’bari, beliau pernah menjadi Rektor Universitas Ummul Qura, Makkatul Mukarramah, menuliskan tentang Darul Islam dan Al Qoid Kartossuwiryo : “Adapun tatanan dan prinsip prinsip gerakan ini tidaklah keluar dari tuntunan Allah dan rosulNya serta hal hal yang pernah dilaksanakan oleh para sahabat rasulullah saw dan yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Undang undang negaranya adalah syariat Allah dan kekuasaan mutlak adalah pada syari’at[8]. Dari segi akidah orang tak ragu bahwa Al Qoid[9] Kartosuwiryo pengikut kaum salaf. Putra putri DI Indonesia telah mengikat diri dengan kuat. Hal itu dibuktikan dengan kerasnya Al Qaid dan keinginan beliau akan berdirinya Negara Islam Indonesia berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rosulullah saw. Beliau sangat kokoh menghadapi kelompok kelompok yang ingin memasukkan tatanan dan undang undang yang didatangkan ke negeri ini, mengganti kedudukan kitab Allah.[10]
Hanya sedikit saja “Muslimin RI” yang berkata “agak lumayan” tentang NII, diantaranya M. Isa Anshary. Bila dalam parlemen di pisah menjadi Sayap Kanan dan Kiri (pihak yang pro pemerintah dan bersebrangan denan pemerintah), maka tidak tanggung tanggung Isa Anshary menggambarkan para gerilyawan NII sebagai kekuatan yang jauh lebih kiri dari pada kiri[11]. Isa Anshari benar, bahwa kita jauh lebih kiri dari kiri, bahkan di luar RI :) Inilah yang ia tuliskan dalam “Sebuah Manifesto” :
“Mereka orang pergerakan, orang perdjuangan. Mereka orang jang sangat fanatik, tak mudah dikalahkan. Mereka orang jang “konsekwen”, tak mudah dibudjuk. Mereka menamakan diri kaum proklamator, anti imperialis dan kapitalis. Mereka anti KMB, tak boleh ditawar. Haluan politiknja lebih kiri daripada kiri. Lebih radikal dan revolusioner dari orang lain. Karena fanatiknja, ,,membang-kang” tak sudi bertolak angsur. Karena revolusionernja, tak sudi menjerah-kalah, bertekuk lutut kepada ,,lawan”. Warna mereka berlain-lain. Tjoraknja berbeda-beda. Ada jang merah, ada jang hidjau. Tapi perdjuangannja paralel, sedjalan. Bukan setudjuan dan seasas. Pada pokoknja mereka mempunjai kejakinan. Kejakinan politik. Kejakinan perdjuangan. Tempo2 kejakinan itu merupakan “mistik”. Perdjuangannja jang mistik itu, tidak lagi berdasarkan perhitungan akal dan pikiran. Tetapi berdasarkan kejakinan mistik, kebatinan halus jang berpegang kepada jang ghaib, tidak berdasarkan perhitungan alam jang sjahadah. Jang demikian itu adalah Darul Islam, jang telah mendjadi buah tutur orang banjak itu. Itulah kaum jang telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949. Lepas dari Republik Indonesia. Mereka mempunjai Undang-undang Dasar sen-diri, terdiri dari 34 fasal. Mereka mempunjai tentara sendiri, bernama Tentara Islam Indonesia. Apa dan bagaimana kejakinan politiknja? Apa dan bagaimana kejakinan perdjuangannja? Mari kita ikuti analisa-kupasannja tentang djalannja revolusi Indonesia.”[12]
Yah begitulah saudara kita seagama (sayang masih jadi rakyat musuh) memandang kita, mari kita buktikan dengan amal bahwa kita jauh lebih baik dari gambaran yang mereka terima dari pemerintahnya (RI).
[1] Ingat bisa tidak sama dengan boleh yang didalamnya terkandung unsur pembenaran.
[2] Pertanyaan model begini hanya muncul dari ‘muslim’ yang tidak punya Daulah Islam. Karena dia Rakyat Darul Kuffar, makanya dia bingung, salah sendiri .....
[3] Anda tidak usah bingung seperti mereka, sebab bagi kita pertanyaan seperti itu sudah basi. Kalaupun mau didiskusikan harusnya dulu dulu sebelum tahun 1936. Karenanya biarlah mereka bermain main dalam kebingungannya itu, sementara kita mari fokuskan pada pembenahan diri dan peningkatan daya juang dalam Daulah Islam ini, Insya Alloh, Aamiin
[4] makanya dipersiapkan hukum hukumnya dalam Quran, dengan sanksi yang begitu keras.
[5]Bandingkan dengan kenyataan hari ini dimana [dalam negara non Islam] tiap pihak dibiarkan berdakwah, berkampanye walaupun untuk hal yang nista. Di Amerika kaum homosex berhasil meraih posisi dengan gembar gembornya selama ini, laki laki bisa kawin secara resmi dengan laki laki lagi, dilindungi dan memperoleh hak sebagai warga negara lain yang hidup normal. Subhanalloh, bisakah negara diharapkan baiknya bila undang undang selemah itu ? ? ? ?
[6] Contoh lain : Dalam Perang Qodisiah, Abu Maljam ditemui sedang minum Khamar oleh Sa’ad bin Abi Waqqos, olehnya tidak dihukum dera, tapi diperingatkan kepada anak buahnya supaya mengikat kedua kaki Abu Maljam. Sewaktu Abu Maljam melihat kuda-kuda dihalau untuk dipersiapkan menyerbu musuh, dan dirinya dikerumuni orang, Abu Maljam meminta kepada Ibna Hafsah supaya dilepaskan kakinya dengan janji, bilamana selesai berperang ia masih hidup, dirinya akan kembali untuk diikat kakinya. Apabila aku mati, kalian (yang melepaskan) terbebas dari pertanggungan jawab mengenai diriku !” Begitulah ketegasan Abu Maljam.
Setelah dilepaskan kakinya, kemudian maju menyerbu musuh. Ketika itu Sa’ad bin Abi Waqqos sedang luka-luka tidak memimpin perang, namun dinaikkan ke atas sebatang pohon, sambil mengawasi situasi berperang. Melihat hal itu, maka Abu Maljam melompat ke atas kuda Sa’ad, dengan bersenjatakan tombak, ia menerjang musuh dengan gesitnya, puluhan musuh terbunuh olehnya. Ada Malaikat ! teriak seorang shahabat. Sesudah tentara Islam mengalahkan musuh, Abu Maljam kembali mengikat sendiri kedua kakinya. Ibna Hafsah menanyakan mengenai Abu Muljam kepada suaminya. Sa’ad bin Abi Waqqos berkata:” Demi Allah, aku takkan mendera orang yang memberi kemenangan kepada muslimin”. Abu Maljam lalu dibebaskan. (Lihat buku “ Syareat Islam Ditantang Zaman”, oleh Dr.Yusufh Qardhawi, penerjemah Abu Zaky, hal.34,cet.pertama Juli 1990, Penerbit Pustaka Progressif. Surabaya.
[7] Al Halul Islamiy, Muassatur Risalah, Beirut, thn 1974. Edisi Indonesia : Pedoman Ideologi Islam, Gema Risalah Press, Bandung, 1988 hal 195
[8] Al Harakah al Ba’ts Al Islam, edisi Indonesia : Gerakan Kebangkitan Islam, Studi Literatur Gerakan Islam Kontemporer dan Teori dalam Berbagai Reformasi Islam. hal 276.
[9] Sang Pemimpin, demikian Hafidz Muhammad Al ja’bari menyebut beliau.
[10] Ibid, hal 281.
[11] Jangan mengartikan kiri di sini sebagai “komunis”, memang komunis dikenal beraliran kiri, karena dimana mana selalu bersebrangan dengan kelompok “status Quo”. Namun dalam terminologi politik, kaum kiri tidak selalu bermakna kaum kominis, harap jelas !
[12] Di kutip dari M. Isa Anshari, Sebuah Manifesto, Bandung: Badan Penerbit Pacifik, 1954, hal. 52.

Tidak ada komentar: