Kamis, 07 Agustus 2008

Artikel (2)

REVOLUSI ISLAM
DALAM PANDANGAN IMAM
S.M. KARTOSOEWIRJO
DAN PERANG YANG DIPAKSAKAN ATAS NII
( Tulisan Bagian Kedua )
Oleh : Ust. DR. Rahmat Abdullah, MA.

Maraknya diskusi tentang Negara Islam dan Pemerintahan Islam akhir-akhir ini, pada akhirnya membuat fakta dan data perjuangan Negara Islam Indonesia pun tersingkap. Tiga belas tahun perjuangan para gerilyawan mempertahankan kedaulatan Islam di wilayah yang berhasil mereka bebaskan, kini menjadi pembicaraan di banyak seminar. Berbagai penilaian atas NII pun bermunculan, dalam berbagai ragam keberpihakan.
Ketika DR. Yusuf Qardhawi mengulas tentang perjuangan NII; “Di Indonesia, terdapat pengalaman Darul Islam yang berlindung di gunung, mereka berperang sebagai pahlawan-pahlawan. Dan ini berlangsung beberapa tahun. Mereka telah melakukan contoh-contoh yang menakjubkan, dan kepahlawanan yang jarang bandingannya. Kemudian, mereka diusir oleh pesawat-pesawat tempur ..” [1], orang terperangah dan berkata mengapa para pejuang itu kalah.
Ketika Hafidz Muhammad Al Ja'bari dari Universitas Ummul Quro, Makkah Al Mukarromah, menuliskan tentang Darul Islam dan Al Qoid Kartossuwiryo: “Adapun tatanan dan prinsip-prinsip gerakan ini tidaklah keluar dari tuntunan Allah dan rosulNya serta hal hal yang pernah dilaksanakan oleh para sahabat rasulullah saw dan yang mengikuti mereka dalam kebaikan. Undang undang negaranya adalah syariat Allah dan kekuasaan mutlak adalah pada syari’at.” [2] Pada halaman lain Al Ja’bari menuliskan: Dari segi akidah orang tak ragu bahwa Al Qoid[3] Kartosuwiryo pengikut kaum salaf. Putra putri DI Indonesia telah mengikat diri dengan kuat. Hal itu dibuktikan dengan kerasnya Al Qaid dan keinginan beliau akan berdirinya Negara Islam Indonesia berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rosulullah saw. Beliau sangat kokoh menghadapi kelompok kelompok yang ingin memasukkan tatanan dan undang undang yang didatangkan ke negeri ini, mengganti kedudukan kitab Allah.” [4] Orang jadi bertanya mengapa ia ditinggalkan para pengawalnya? Mengapa banyak orang menyebutnya sebagai pemberontak, pengacau dan sebutan buruk lainnya ..?
Ketika telah menjadi kesepakatan (Ijma') bahwa “Mendirikan Negara Islam merupakan suatu kewajiban yang telah disepakati ulama di segala jaman.”[5] Orang jadi bertanya mengapa NII diburu dan dihancurkan? Siapakah para penghancur itu? Dan mengapa banyak orang ingin menghancurkannya? Apakah NII didirikan di kawasan Non Muslim sehingga orang menolaknya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sungguh menggelitik, dimana sebenarnya letak ketergeseran penilaian ini? Pada Negara yang diproklamasikannya? pada Imam sang proklamator? Pada tentara yang besertanya? Pada rakyat yang mendukungnya? Atau pada interpretasi peristiwa karena kepentingan tertentu? Bukankah sejarah milik pihak yang menang?
Banyak orang mencoba coba menjawab ini, banyak analisa mencuat kepermukaan. Banyak dari analisis mereka sering kali terkesan 'miring' karena mengambil referensi dari sumber yang 'miring' pula. Sebab buku yang beredar jauh sebelum ini, memang banyak mengungkap data kejadian dengan interpretasi pribadi penulisnya, tetapi tidak menukik pada masalah yang melatar belakangi kejadian kejadian itu. Sejarah menjadi kumpulan tahun dan tanggal, tetapi menutup mata dari gagasan dasar yang menjadikan sejarah itu membentuk dirinya.

Pengungkapan Data yang Menggemparkan
Pada bulan April 1999, saya menerbitkan sebuah buku, dengan judul yang cukup panjang: "Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, Data dan Fakta Sejarah Darul Islam/DI-TII dan Mengungkap Manipulasi Semasa Orde Lama dan Orde Baru"; di dalamnya penulis mencoba menganalisis kehadiran Negara Islam Indonesia dari konsep yang mendasarinya, dari gagasan pemikiran politik proklamatornya, dengan berusaha sebanyak mungkin mengutip fikiran fikiran autentik S.M. Kartosoewirjo sendiri. Baik dalam kapasitasnya sebagai pribadi muslim yang tercerahkan maupun dalam kapasitasnya sebagai Imam Negara Islam Indonesia.
Saya tersentak melihat antusiasme pembaca atas buku ini, 9000 buku terjual habis dalam waktu satu bulan saja, diskusi-diskusi kian marak, dan topik pembicaraan kini bergeser. Bukan lagi pada masalah: “Apa dan mengapa gerombolan S.M. Kartosoewirjo?”, tetapi “Bagaimana dan ada apa dengan Negara Islam Indonesia?”. Diskusi tidak lagi terfokus pada pribadi S.M. Kartosoewirjo, tetapi lebih terpusat pada Negara dan dokumen resminya.
Ini sebuah perkembangan yang sehat dalam tataran diskusi ilmiah. Sebab sebagai pribadi baik anda maupun saya tidak ada hubungan apapun dengannya. Namun sebagai sebuah kenyataan sejarah dimana S.M. Kartosoewirjo hadir sebagai sosok yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia, maka mengenal lebih jauh pribadi ini menjadi bagian dari desakan nurani ilmu pengetahuan, seperti kita ingin mengenal sosok sejarah lainnya.

Belajar dari Sejarah
Mengenal masa silam adalah bagian dari upaya menatap masa depan secara lebih jernih. Al Quran menjelaskan tujuan diungkapkannya kisah-kisah masa lalu sebagai berikut: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”(QS.12:111). Di tempat lain, dijelaskan bahwa hikmah dibalik pengisahan para Rosul adalah: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S.11:120).
Penulis kemukakan dua ayat ini, bukan bermaksud untuk mensejajarkan perjuangan para gerilyawan Negara Islam Indonesia setara dengan para rosul di atas. Para pejuang itu hanyalah para hamba Allah yang berusaha untuk menegakkan kalimatullah di muka bumi, seperti yang pernah ditugaskan pada para rosul mulia tadi. Apalagi kehadiran mereka sebagai pengikut Nabi Muhammad saw, yang diutus untuk mengunggulkan Islam di atas Dien yang lain (Q.S. 9:33), maka perjuangan mereka bukanlah hal yang aneh bagi setiap muslim yang memahami Islam dengan benar. Dari itu, menelusuri sejarah perjuangan NII, mengenal kawan dan lawan mereka, memahami langkah-langkah perjuangan mereka, adalah bagian dari upaya memahami masa kini dengan lebih baik.
Perumpamaan yang singkat ini, cukup menjelaskan betapa pentingnya kita mengetahui sejarah. Seorang yang mengendarai mobil, lurus ke arah utara, kemudian berbelok 90 derajat ke sebelah kiri, maka dengan sadar bahwa ia tengah menuju ke arah barat (bukan lagi ke Utara). Tetapi penumpang yang tertidur ketika dibawa ke arah utara, maka di saat terbangun, ia mengira bahwa dirinya masih berjalan di jalan lurus seperti yang tadi. Karena tidak mengenal sejarah perjalanan, ia tidak menyadari kalau kini sudah diajak berbelok, bahkan 90 derajat dari jalan lurus yang semula.
Banyak Muslim yang merasa betah dan bangga menjadi bagian dari ideologi Non-Islam, dan mereka berjingkrak-jingkrak kegirangan pada setiap ulang tahun kemerdekaan bangsa Non-Islam itu (17 Agustus), padahal kalau mereka mengetahui sejarah, seharusnya mereka bersedih hati, sebab sehari setelah itu (18 Agustus) adalah hari dicoretnya kewajiban (negara) untuk menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya. Lebih menyedihkan lagi, bahwa muslimin di Indonesia, tidak mengetahui bahwa mereka telah memiliki Negara Islam, yang diproklamasikan tanggal 7 Agustus 1949. Tidak ada sedikitpun kegembiraan dengan hadirnya negara Islam ini, bahkan mereka menganggapnya sebagai noda dalam sejarah Indonesia. Ini semua karena pemahaman yang keliru tentang sejarah.

Kalah dan Menang dalam Perjuangan
Begitulah perjuangan, bila menang maka seluruh bangsa mengelu-elukannya sebagai pahlawan, tetapi bila kalah, maka pihak yang menang akan menjatuhkan harga dirinya, sebagai pengkhianat atau ungkapan jelek lainnya. Dalam muqoddimah yang singkat ini, ingin penulis ungkapkan 3 hal :

1. Apa Benar kalah dan menang jadi tolok ukur kebenaran?
2. Mengapa Ahlul Haq mengalami masa masa kekalahan?
3. Apa arti kemenangan bagi Kuffar?

1. Benarkah Kalah dan Menang Jadi Ukuran ?
Kalah tidak selamanya jadi ukuran salah, sebagaimana menangpun tidak selalu berarti benar. Apakah kekalahan Nabi Zakariya melawan raja, hingga beliau dipenggal jadi ukuran salahnya nabi Zakariya? Apakah penderitaan Nabi Isa jadi bukti bahwa ia berada pada posisi yang salah? Apakah dipenjaranya Nabi Yusuf jadi ukuran kesalahannya? Orang yang menjadikan kalah menang sebagai tolok ukur kebenaran, hendaknya merenungkan hal hal di atas
Kedua, yang diwajibkan itu usahanya bukan dituntut menangnya. Karena kemenangan tidak murni usaha kita, tapi sebagian besar merupakan anugrahNya.Betapapun kita berusaha, kalau Allah belum menghendaki, kemenangan tetap di tangan musuh. Betapapun demikian, perjuangan yang kita lakukan tidaklah sia-sia, Dia akan menggantinya dengan ampunan dan syurga. Sedang yang menang, kalau dalam posisi salah, maka kemenangannya tidak berarti apa apa, bila nanti masuk neraka. Perhatikan Firman Allah berikut : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan tanda tanda kekuasaan Kami dan sulthon yang nyata, kepada Fir’aun dan pemimpin pemimpin kaumnya. Tetapi mereka (rakyat dan para pejabatnya) malah mengikut perintah Fir’aun. Padahal perintah Fir’aun bukanlah perintah yang benar. Fir’aun (sebagai kepala negara) akan berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Neraka itu seburuk buruk tempat yang didatangi. Dan mereka (Fir’aun dan seluruh rakyat yang mengikutinya) selalu diikuti kutukan di dunia ini dan begitu pula di hari kiamat. La’nat itu seburuk buruk pemberian yang diberikan. (Q.S.11:96 – 99)

Darul Kuffar yang diperintah Ramses II ketika itu dilukiskan Quran sebagai contoh negara yang mengundang kutuk dunia akhirat, buat siapa? Pemimpin sekaligus mereka yang mengikut perintahnya. Tidakkah ini jadi pelajaran bagi mereka yang membaca Al Quran?

2. Mengapa Ahlul Haq Alami Masa Masa Kekalahan?

Perhatikan pula Firman Ilahi : "... Dan masa (kemenangan dan kekalahan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah mengetahui mana orang yang beriman (dan mana orang yang bukan), dan supaya sebagian kamu dianugrahi maqom syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang orang yang dzalim, Dan agar Allah membersihkan orang orang yang beriman, dan agar (jelas) binasa orang orang yang kafir." (Q.S.3:140-141)

Berpijak pada ayat di atas, jelas tertundanya kemenangan bagi orang mukmin, senantiasa berhikmah bagi mereka di antaranya :

i. Jadi alat pembeda mana yang sebenar benar mukmin dan mana tidak demikian. Sebab pada sa'at sa'at manis terkadang seorang munafiq yang pandai memainkan peran, bisa saja nampak lebih berharga dari seorang mukmin yang ikhlas lagi tidak menonjolkan diri. Justru pada sa'at goncang lah kualitas seseorang menampakkan aslinya (Q.S.33:10 - 13, bandingkan dengan Q.S.33:22 - 24).
ii. Sengaja Allah memberikan sa'at sa'at sulit agar dengan itu terpisah yang baik dari yang buruk (Q.S.3:179, kemudian yang buruknya disatukan dalam derita, lihat Q.S.8:37). Lewat panjangnya sa'at sa'at kalah pula, teruji mana yang betul betul shabar, dan mana yang cepat putus asa (Q.S.47:31) mana yang terus gigih berjuang dan mana yang mudah menyerah (Q.S.3:142 bandingkan dengan Q.S.9:42, Q.S.47:35).
iii. Adanya kesempatan untuk mendapat maqom, (kedudukan/grade) sebagai syuhada. Sebab kalau hari ini bersiap-siap, besok perang, kemudian sehari sesudah itu berkuasa, tanpa korban seorang pun, maka kedudukan semulia itu akan diberikan kepada siapa? Jangan ingin menangnya saja, tapi tidak mau kebagian syahid. Padahal godaan setelah menang itu jauh lebih besar daripada sebelumnya. Syahid seperti Hamzah ra. tidak sesusah adil seperti Abu Bakar ra. Jika kita dianugrahi syahid seperti Abu Yassir, jelas diampuni dosa dan disediakan syurga, tapi kalau anda sempat hidup di masa jaya, dianugrahi jabatan RT saja, tidak gampang masuk syurga, bila anda melalaikan rakyat.
iv. Ada tenggang waktu untuk membersihkan hati orang orang mukmin, anda rasakan sekarang atau barangkali lima tahun lalu, ketika kita pertama kali mengenal perjuangan, apa yang terbayang di benak anda kalau esok hari kita dianugrahi kemenangan ? Mungkin ratusan orang bisa dieksekusi sendirian, tangan kita akan berlumuran darah karena kebencian, dan dendam, padahal Allah sendiri sampai mewanti wanti dalam S.47:22. Dengan berjalannya waktu inilah, kita semakin sadar, bahwa kebanyakan mereka sebenarnya tidak tahu, harus dikasihani bukan dibenci. Kalau melihat akibat di akhirat, bukankah lebih baik dapat giliran sebagai yang teraniaya dari pada berperan sebagai penganiaya. Kemampuan bershabar dan tidak mengelompokkan semua orang sebagai musuh besar, nyata dimatangkan oleh usia perjuangan juga. Pada awal bergabung dengan front perjuangan, seseorang cenderung menganggap di luar kelompoknya sebagai musuh. Tetapi dengan matangnya perjuangan, maka akhirnya seseorang akan mulai bisa melihat, siapa sekutu dan kawannya.[6] Pada sisi lain, tertundanya kemenangan, memberi waktu buat kita untuk mematangkan diri guna pengelolaan di masa datang. Kita sadari mengelola warga di bawah 50 orang saja, sudah penuh liku liku, apalagi nanti kalau sudah jutaan.
v. Dengan panjangnya waktu mencapai kemenangan pun dikatakan Al Quran: “Agar binasa orang kafir dengan alasan yang nyata.” Artinya dengan tenggang waktu tadi, artinya bagi yang hari ini berada di front kafir, sedang dalam hatinya ada benih kebaikan yang belum tersembul, lewat proses waktu tadi, masih ada peluang bagi mereka untuk kembali melangkah menuju kebenaran dan berjuang di pihak Nya[7]. Sehingga akhirnya, yang binasa dari kalangan kafir, memang murni tinggal orang orang yang betul betul tidak bisa direparasi lagi hatinya. Inilah barangkali hikmah dari diaturnya peperangan dan kemenangan oleh Allah Azza wa Jalla : "Di hari ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh, sedang kafilah itu berada di bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran) pastilah kamu akan berselisih (yang satu menganggap sudah sa'atnya, yang lain menilai belum waktunya perang), tetapi Allah (mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar yang binasa itu binasanya dengan alasan yang nyata, dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan alasan yang nyata pula (jelas siapa yang berhak hidup, dan siapa yang harus mati ! -pen). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (Q.S.9:42)

3. Arti Kemenangan bagi Kafir
Adapun bagi kafir, tertundanya kekalahan mereka bisa bermakna:
i. Ungkapan kebijaksanaan Allah, memberi waktu bagi mereka kalau kalau bisa menyadari kekeliruan dirinya, bertaubat dan kembali ke jalan Islam. Dan penangguhan hukuman memang jadi bukti Rohman dan Rohimnya Ilahi, andai orang sekali salah langsung disiksa tentu habislah makhluq di muka bumi (Q.S.16:61). Sebab semua manusia, pernah bersalah, termasuk kita sendiri, hanya ada yang bertaubat, ada yang semakin kencang dalam makshiyyat. Untuk membedakan termasuk jenis yang mana manusia ini, jelas diperlukan waktu ....Jika si kafir tidak mau menyadari kekeliruannya, padahal dakwah telah sampai pada mereka (Q.S.13:30), maka jelas terhukumnya mereka, baik langsung oleh Allah atau melalui tangan mukminin (Q.S.9:14-15,52) bukanlah karena aniayanya Allah atau dzalimnya orang mukmin, tapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri !
ii. Jadi ujian bagi orang mukmin, apakah dengan berkuasanya mereka, mukmin akan pasrah menyerah rela diatur oleh mereka, atau bangkit berjuang menegakkan Amanah Syari'ah yang dititipkan pada mereka ? (Q.S.47 : 4, ujung ayat)
iii. Dan kemenangan bagi kafir, tertundanya kekalahan mereka, hakikatnya bukanlah kebaikan bagi mereka, tapi dibiarkan agar dosanya makin bertumpuk, untuk kemudian tidak tanggung tanggung mereka akan memikul dosanya dalam siksa yang berat di neraka ! (Q.S.3:178)

Sifat Negara dan Pemerintah
Negara Islam Indonesia yang lahir disaat Republik Indonesia sebagai negara mengalami krisis pemerintahan, ketika arah politik bergeser ke kiri-kirian. Disini pun kita melihat dimana sifat negara yang stabil, rigid dan inhuman tidak selalu sejalan dengan sifat pemerintahan yang labil, tergantung pada siapa yang berkuasa. Republik Indonesia yang telah stabil berdiri di atas dasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, kita melihat bagaimana kelabilan pemerintahan demi pemerintahan dalam melaksanakan dasar negaranya yang sudah tetap itu.
Demikian juga dengan Negara Islam Indonesia yang ditegakkan di atas dasar Islam serta menjadikan Quran dan Hadits yang shohih sebagai hukum tertinggi, dalam perjalanannya, pemerintahan Islam berjuang tidaklah selalu stabil seperti watak negaranya. Sebab negara sebagai wadah -bingkai organisatoris, pada prakteknya diisi oleh manusia-manusia yang beragam watak dan kemampuannya.
Sekalipun Negara Islam Indonesia, menjadikan Quran dan Hadits Shohih sebagai hukum tertinggi, ini sudah pasti sebagai sebuah negara. Namun bila dakwah tidak merata, bisa saja, di kalangan rakyatnya masih ada yang mengamalkan hadits dho’if, atau bahkan oknum aparat yang keliru dalam menjalankan keadilan pemerintahan Islam, apalagi di saat berjuang seperti saat sekarang ini.
Negara adalah satu hal, sedang rakyat dan pemerintah adalah hal yang lain. Demikian juga dengan Republik Indonesia, walaupun negaranya berdasar Pancasila, tidak demikian halnya dengan pemerintah, sejarah membuktikan betapa pemerintah RI cenderung miring ke kiri ketika NASAKOM dielu-elukan Presiden Sukarno.
Suasana Revolusi akan menapis setiap individu sehingga nyata emas dan loyang, hingga terbukti mana yang berjalan sesuai dengan asas dan hukum tertinggi negara, dan mana yang bergeser dengan berubahnya keadaan. Pengkajian sejarah membuktikan hal ini, sebagaimana Gustav Le Bon memaparkannya dalam Psychology of Revolution.
Peperangan antara RI dan NII melahirkan beragam potret psikologis anak manusia, mulai dari yang berjuang mempertahankan masing masing negaranya, hingga "kutu Loncat" yang mengambil keuntungan dari konflik ideologis tersebut. Kita pun melihat bagaimana sebuah solusi ditawarkan, bagaimana upaya mencapai tujuan dijalankan. Dari sini kata "heroik" dan "pembangkangan", menjadi amat relatif, tergantung di fihak mana orang itu tengah berpendapat. Namun sebagai kenyataan sejarah, pergulatan bathin di tengah guruh debu dan mesiu, terlalu berarti untuk dikesampingkan.
Di dalamnya kita melihat betapa persahabatan dan permusuhan menjadi sangat relatif, berhadapan dengan kepentingan memenangkan perjuangan. S.M. Kartosoewirjo yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden PSII, perumus Sikap Hijrah sebagai arah jihad PSII, akhirnya dipecat Presiden PSII sendiri, karena sang presiden ingin membawa PSII meninggalkan "sikap hijrah" dan bergabung dengan Gabungan Partai Partai Politik Indonesia lainnya guna menempuh kemerdekaan lewat jalur politik kooperatif. Akhirnya sikap konsisten S.M Kartosoewirjo, mendorongnya untuk membuktikan sendiri apa yang digagaskannya bersama para ulama yang istiqamah dan membangun Institut Suffah, sebuah perguruan tinggi Islam di Malangbong – Garut, tempat dilahirkannya kader negarawan yang ulama dan ulama yang negarawan, sebagai cikal bakal mujahid Negara Islam Indonesia.
Kekuatan perjuangan Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan oleh S.M. Kartosoewirjo sesungguhnya terletak dalam kemampuan untuk mengatur, menyusun dan menyelenggarakan susunan ketentaraan dan susunan organisasi kenegaraan NII. Pergerakan menuju berdirinya Negara Islam Indonesia, sudah dipersiapkan sejak tahun 1936, semenjak sikap hijrah dirumuskan. Namun mengapa pada akhirnya mujahid besar ini ditangkap lawan dan ditinggalkan para pengawalnya sendiri, ini merupakan hal yang menarik untuk dicermati.
Bila kita lakukan kilas balik, maka dalam sebuah konferensi di Cisayong, bersama para Ulama dalam Majlis Islam, telah disepakati bahwa langkah perjuangan haruslah melalui langkah langkah berikut :
1. Mendidik rakyat agar cocok menjadi warga negara Islam.
2. Memberikan penjelasan kepada rakyat bahwa Islam tidak bisa dimenangkan dengan Feblisit (referendum)
3. Membangun daerah daerah basis.
4. Memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia.
5. Membangun Negara Islam Indonesia sehingga kokoh ke luar dan ke dalam, dalam arti, di dalam negeri bisa melaksanakan syari’at Islam seluas luasnya dan sesempurna sempurnanya, sedang keluar, sanggup berdiri sejajar dengan negara negara lain.
6. Membantu perjuangan muslimin di negeri negeri lain sehingga cepat bisa melaksanakan wajib sucinya.
7. Bersama negara negara Islam membentuk Dewan Imamah Dunia untuk mengangkat Kholifah dunia.
Tahapan tahapan di atas demikian realistis, jauh dari kesan tergesa gesa, atau perlawanan sekedar karena tidak kebagian jatah kekuasaan, tetapi muncul dari kebeningan hati, keteguhan jiwa dan langkah langkah yang istiqomah dalam tahapan yang demikian sistematik.
Namun pada dataran praktis, kita lihat rencana tadi tidak berjalan dengan mulus, tragedi “Nabi Musa AS” dan kepedihan yang menimpa “Nabi Isa AS” dialami secara berbarengan. Jika Nabi Isa adalah sosok pembawa risalah, namun sayang didukung oleh Anshorulloh yang sangat sedikit. Dan bila Nabi Musa walaupun memiliki ummat banyak, namun kualitasnya demikian payah, sehingga banyaknya ummat bukannya membantu malah jadi beban dan membuat kinerja menjadi lambat. Maka demikian pula yang dialami Imam Kartosoewirjo dalam meneratas jalan jihadnya. Beliau berhasil mengkader sosok-sosok pilihan dalam Institut Suffah, figur-figur yang memiliki sebersih-bersih tauhid, setinggi-tinggi ilmu dan sepandai-pandai siasat. Namun sayang jumlahnya tidak banyak, dan sebagai pejuang, para pemimpin mujahidin tampil di gelanggang terdepan perjuangan, sehingga satu demi satu bunga Negara Islam Indonesia ini gugur sebagai Syuhada. Dan pada giliran berikutnya, ketika perang Totaliter terus berlanjut, banyak rakyat yang bersimpati pada Negara Islam ini, bahkan berbondong-bondong menjadi warga dan tentara Islam, namun pengkaderan berbobot semacam Institut Suffah tidak sempat lagi dilakukan. Pada akhirnya mereka yang berduyun-duyun meninggalkan Republik Indonesia di saat perjuangan bersenjata NII tengah naik daun ini, mereka itu pula yang berbondong-bondong kembali ke pangkuan ibu pertiwi mereka, di saat kekuatan NII terdesak.
Sebagai sebuah gerakan, perjuangan Negara Islam Indonesia memiliki karakteristik yang memperlihatkan sisi‑sisi kelemahannya dan kelebihannya. Dalam keterbatasan teori politik yang kini kita pelajari, kita mencoba membedah kedua jenis sisi‑sisi tersebut:
1. Sekalipun berhasil mempertahankan perlawanan cukup lama (13 tahun), namun tidak diimbangi dengan perjuangan diplomatik di luar negeri. Sehingga belum berhasil mendapatkan dukungan negara lain. Akhirnya mereka tetap dinilai sebagai pemberontak yang merupakan urusan dalam negeri NKRI sendiri. Sekiranya ada pejuang‑pejuang yang mahir, kemungkinan besar perjuangan NII akan mencapai hasil‑hasil sejak awal jihadnya, nampaknya diperlukan waktu untuk capai kematangan perjuangannya.
2. Banyak tokoh muslim yang anti negara Islam, karena sudah terlanjur memilih Republik Indonesia. Dalam Kabinet Natsir misalnya, meskipun M. Natsir adalah seorang politikus Masyumi, namun untuk menyesuaikan diri dengan menteri‑menteri dalam kabinetnya, ia memutuskan meningkatkan usaha militer untuk menumpas perlawanan Darul Islam.[8] Sebagai tokoh Masyumi, semula M. Natsir banyak berpidato tentang perlunya sebuah negara Islam bagi umat Islam, guna mempraktekkan nilai‑nilai agama. Namun M. Natsir malah tidak mendukung proklamasi Negara Islam Indonesia demi komitmentnya pada Republik Indonesia walaupun ia akhirnya kekecewaan pada pemerintah RI justru membuatnya terlibat dalam pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang bersifat lokal di Sumatera Barat.
3. Banyak diantara tokoh pejuang yang terbuai Janji‑janji pemerintah NKRI. Pekerjaan menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit memang tercela, tetapi itulah yang terjadi. Pemerintah NKRI berhasil membujuk beberapa orang yang lemah imannya untuk akhirnya mengkhianati perjuangan suci ini dari dalam. Banyak "tentara perlawanan" yang akhirnya menyeberang ke pihak NKRI seperti yang terjadi atas diri Hasan Saleh dari DI Aceh dan Bahar Mattaliu dari DI Sulawesi Selatan. Di samping itu utusan‑utusan pemerintah ke daerah pergolakan telah juga "mahir" menawarkan keuntungan material dan lambang duniawi kepada tokoh‑tokoh Darul Islam sekiranya mereka berhenti dari gerakan.
4. Kekurangan persenjataan yang dimiliki gerilyawan NII tidak membuat gerakan ini menjadi lemah, melainkan spirit Islam militan yang menjadikan kekuatan ini mampu bertahan lama walaupun akhirnya perlawanan itu dapat dipatahkan.
5. Strategi "pagar betis" (OKD, Opsir Keamanan Desa) yang dilakukan oleh TNI yang menyulitkan tentara DI untuk menembak TNI yang "berperisai daging dan tulang rakyat sipil", sementara TNI dengan mudah menembak tentara DI selagi turun gunung untuk mengambil makanan dari rakyat. Rakyat, dalam setting sejarah ini, terlihat membantu meski dengan sembunyi‑sembunyi dan takut. Meskipun secara fisik para pejuang Darul Islam telah musnah dimakan peluru dan mesiu angkatan bersenjata republik, namun kemunculannya kembali sebagai gerakan yang hendak mendirikan "negara Islam" di masa Orde Baru Indonesia, merupakan sisi penting yang meyakinkan penulis bahwa gerakan Darul Islam Indonesia belumlah berakhir.
6. Namun, berdasarkan konsep "ghazwul fikri" (perang pola pikir), bisa saja gerakan Darul Islam ini muncul kembali dalam bentuk dan strateginya yang baru. Meski tidak ada perjuangan di tingkat internasional, namun dengan keyakinan pemikiran tentang konsep perjuangan "di sini dan kini", maka kemungkinan besar masih ada dan terus berproses. Bahkan kini, Darul Islam menggejala sebagai gerakan bawah tanah, menggait siapa saja, dari berbagai golongan dan tingkatan, khususnya anak muda dengan modus baru yang lembut dan "membius".[9] Darul Islam ini tidak membutuhkan bantuan dana atau dukungan dari luar negeri pada awalnya. Mereka adalah kaum yang berperang tanpa henti berdasarkan kekuatan sendiri.[10] Sebagaimana diamanahkan Imam Asy Syahid :

WASHIJAT IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA S.M. KARTOSOEWIRJO
Bismillaahirrohmaanirrohiem

Washiyat Imam pada pertemuan dengan para Panglima/Prajurit (Mujahid) pada tahun 1959 diantaranya berbunyi begini : “Saya (Imam) melihat tanda tanda bencana angin yang akan menyapu bersih seluruh mujahid kecuali yang tertinggal hanya serah/biji mujahid yang benar2 memperjuangkan/mempertahankan tetap tegaknya Negara Islam Indonesia sebagaimana diproklamasikan tanggal 7 Agustus 1949. Disa’at terjadinya bencana angin tersebut ingatlah akan semua Washiyat saya ini :
1. Kawan akan menjadi lawan, dan lawan akan menjadi kawan.
2. Panglima akan menjadi prajurit, prajurit akan menjadi panglima.
3. Mujahid jadi luar Mujahid, luar mujahid jadi mujahid.
4. Jika mujahid telah ingkar, ingatlah; “Itu lebih jahat dari iblis”, sebab dia mengetahui strategi dan rahasia perjuangan kita, sedang musuh tidak mengetahui. Demi kelanjutan tetap berdirinya Negara Islam Indonesia, maka tembaklah dia.
5. Jika Imam berhalangan, dan kalian terputus hubungan dengan Panglima, dan yang tertinggal hanya prajurit petit saja maka Prajurit petit harus sanggup tampil jadi Imam.
6. Jika Imam menyerah tembaklah saya, sebab itu berarti iblis. Jika Imam memerintahkan terus berjuang, ikutila saya sebagai hamba Allah SWT.
7. Jika kalian kehilangan syarat berjuang, teruskanlah perjuangan selama Pancasila masih ada, walaupun gigi tinggal satu, dan gunakanlah gigi yang stu itu untuk mengigit.
8. Jika kalian masih dalam keadaan jihad, ingat rasa aman itu, sebagai racun.

Dalam wacana sejarah politik ummat Islam sebenarnya ide tentang Negara Islam adalah cita-cita seluruh ummat Islam, sebagaimana pernah dikatakan seorang tokoh Masyumi, Muhammad Isa Anshary pada tahun 1951: “Tidak ada seorang muslimpun, bangsa apapun dan dimanapun juga dia berada, yang tidak bercita-cita Darul Islam. Hanya orang yang sudah bejad moral, iman dan Islamnya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.”[11] Perbedaan-perbedaan yang ada hanyalah menyangkut masalah “kelompok Islam” mana yang memegang kekuasaan serta bagaimana dan siapa yang akan memperjuangkannya. Masalah kelompok Islam mana yang bakal berkuasa, menyedot banyak penggemar, hingga terbukti hingga sekarang, berbagai kelompok Islam bikin partai sendiri-sendiri menuju jenjang kekuasaan. Sebaliknya tentang bagaimana dan siapa yang rela berkorban demi tegaknya kedaulatan Islam, amat sedikit dari mereka yang mau terjun ke gelanggang jihad. Kalau toh mau, mereka lebih banyak mengambil jalan “kooperatif” –seperti yang dilakukan oleh para tokoh partai yang mengatasnamakan Islam, hanya sedikit yang mengambil jalan “hijrah” seperti yang dilakukan oleh para penerus perjuangan Negara Islam Indonesia . Inilah fenomena menarik jalan perjuangan ummat Islam Indoensia akhir-akhir ini. Tokoh-tokoh reformasi partai-partai Islam tersebut sebenarnya adalah orang-orang yang sangat setuju terhadap ide negara Islam, tetapi tidak mau sabar dan bersusah payah (struggle) meraih kekuasaan dengan perjuangan yang berat dan dahsyat.
Sebaliknya, orang-orang Darul Islam atau “orang-orang yang sejalan dengannya” adalah kaum yang siap mengorbankan diri mereka dalam perjuangan menegakkan Daulah Islam itu, kemudian setelah itu merekalah orang-orang yang paling siap untuk menyerahkan kekuasaan Islam itu kepada siapapun dari kalangan ummat Islam yang memiliki kemampuan untuk menjalankan pemerintahan Islam berjaya, termasuk para tokoh partai-partai Islam tersebut. Sebab bagi mereka, memimpin di masa perjuangan, tidak harus selalu menjadi pemimpin di masa kemerdekaan Islam. Sebab mereka tunduk pada sebuah hadits nabi saw: “Barang siapa yang mengangkat seorang pemimpin, padahal ia melihat ada orang lain yang lebih mampu dari orang yang diangkatnya. Maka mereka yang mengangkat pemimpin tadi telah berkhianat pada Ummat Islam secara keseluruhan”.
Syahid adalah impian dan cita-cita seluruh Ummat Darul Islam, seandainya mereka (orang-orang DI) tersebut seluruhnya gugur demi tegaknya Negara Karunia Allah, Negara Islam Indonesia, Demi Allah, mereka ikhlas melaksanakannya. Atau kalau tidak berhasil mencapai syahid di medan jihad, sekalipun tidak memegang kekuasaan, mereka lebih suka memilih hidup sebagai mujahid permanen, menjadi pejuang-pejuang —sepanjang hidupnya— yang gigih membebaskan negeri-negeri lain yang masih dikuasai hukum-hukum kufur.: Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya), supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S.33:23 – 24).


[1] Al Halul Islamiy, Muassatur Risalah, Beirut, thn 1974. Edisi Indonesia : Pedoman Ideologi Islam, Gema Risalah Press, Bandung, 1988 hal 195
[2] Al Harakah al Ba’ts Al Islam, edisi Indonesia : Gerakan Kebangkitan Islam, Studi Literatur Gerakan Islam Kontemporer dan Teori dalam Berbagai Reformasi Islam. hal 276.
[3] Sang Pemimpin, demikian Hafidz Muhammad Al ja’bari menyebut beliau.
[4] Ibid, hal 281.
[5] Ensiklopedi Ijmak, Sa’di Abu Habib, terj K.H. A. Sahal Mahfudz & H. A. Mustafa Bisri, Kata Pengantar K.H. Abdurrahman Wahid, Pustaka Firdaus, hal 312.
[6] Yang kalah cenderung shabar, yang menang cenderung rakus. DibuatNya kita kalah dahulu, agar bisa bersabar, hingga tidak rakus di sa'at menang. Insya Allah Aamiin. Lihat sejarah para shahabat pasca wafatnya Rosululloh SAW, orang orang yang kala bersama Rosul SAW merasakan getir perjuangan, lebih amanah dalam memegang pemerintahan daripada kaum Thulaqo, yang baru masuk Islam setelah menang. Ropohnya sendi sendi pemerintahan Islam, justru setelah jabatan jabatan strategis dipimpin oleh mereka yang tidak pernah dilatih shabar dengan 'kekalahan'. Sebab mereka tidak tahu harga sebuah kemerdekaan.
[7] Andai, Allah memberikan kemenangan pada Rosul SAW tepat ketika perang Badar, mungkin Khalid bin walid tidak sempat bertaubat, sebab waktu itu ia masih di front kafir dan terbunuh dalam kekafiran misalnya. Tetapi dengan adanya beberapa waktu berlalu, ia membelot ke Madinah dan berkiprah sebagai mujahidin yang berarti bagi Islam.
[8] bandingkan dengan karya Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca, 1962, hlm. 211.
[9]Lihat "Investigasi ke sarang NII", Tiras, No. 47/Thn. I/21 Desember 1995, hlm. 18‑29.
[10]Mungkin adalah tepat jika gerakan ini merupakan refleksi dari hadist nabi "kami adalah kaum yang berjuang tanpa bantuan kaum musyrikin".
[11] Lihat Majalah Hikmah, tahun 1951, sebagaimana dikutip Ir. Syamsu Hilal, Gerakan Dakwah Formal di Indonesia, Pustaka Tarbiatuna, Jakarta, 2002, hal 40.

Tidak ada komentar: