Sabtu, 16 Agustus 2008

Artikel (4)

REVOLUSI ISLAM
DALAM PANDANGAN IMAM
S.M. KARTOSOEWIRJO
DAN PERANG YANG DIPAKSAKAN ATAS NII
( Bagian Keempat )
Oleh : Ust. DR. Rahmat Abdullah, MA.

Aliran-Aliran Pemikiran di Masa Kebangkitan
Tidak hanya S.M Kartosoewirjo yang merumuskan cita cita negara merdeka, banyak para intelektual mulai memikirkan tentang sistem negara, ideologi atau haluan politik dan bentuk perjuangan yang kesemuanya mengambil konsep-konsep modern dari Barat. Keengganan para modernis Indonesia untuk memakai sistim Islam yang nantinya telah menyeret bangsa Indonesia yang akan diperjuangkan ke dalam lembah krisis yang berkepanjangan.[1] Kunci perkembangan pada masa ini, sebagaimana disebut M.C. Ricklefs, adalah "munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan dikenalnya definisi-definisi dan konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah didengar oleh sebagian besar masyarakat Indonesia waktu itu." Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk organisasi dan sistem kepemimpinan yang baru, sedangkan definisi yang baru dan konsep-konsep baru yang, mengutip Ricklefs, "lebih canggih mengenai identitas meliputi analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan ekonomi."[2]

Organisasi-organisasi kaum nasionalis itu terhimpun menjadi satu di dalam wadah yang bernama Perhimpunan Indonesia (PI). Di dalam perhimpunan ini terdapat banyak aliran pemikiran dan kecenderungan ideologis yang sedikitnya ada empat pikiran pokok dalam ideologi PI yang dikembangkannya sejak permulaan tahun 1925.[3] Ideologi perhimpunan menempatkan kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan politik utama dengan memperhatikan persoalan-persoalan sosial dan ekonomi serta politik. Keempat pemikiran pokok itu adalah:

Pertama, Kesatuan Nasional: perlunya bangsa Indonesia mengenyampingkan perbedaan-perbedaan sempit dan perbedaan etnis serta kedaerahan sehingga perlu ada kesatuan aksi melawan Belanda untuk menciptakan negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu.

Kedua, Solidaritas: kebulatan dan persatuan yang kukuh antara pribumi tanpa melihat perbedaan yang ada antara sesama orang Indonesia. Yang perlu disadari adalah antara "kita di sini" dan "mereka di sana" berbeda dan ada pertentangan kepentingan yang mendasar antara penjajah dan kaum nasionalis haruslah mempertajam konflik antara orang kulit putih dan sawo matang. Persatuan biasanya diperoleh karena ada musuh bersama dari luar.

Ketiga, Non-kooperasi: gerakan yang sama sekali tidak mau berkompromi dengan segala hal yang berbau kolonial. Tidak bekerjasama ini diartikan sebagai upaya menyadari bahwa kemerdekaan bukan hadiah sukarela dari Belanda tetapi harus direbut dan diperjuangkan oleh seluruh rakyat bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri, oleh kerena itu tidak perlu mengindahkan segala kebijakan yang dibuat oleh dewan perwakilan kolonial seperti Volksraad (Majelis Rakyat). Bahkan kaum nasionalis Islam lebih keras lagi dalam memandang Volksraad seperti Volkshuis (Rumah Rakyat) yang bertentangan "Rumah Tuhan" (Masjid).

Keempat, Swadaya: dengan swadaya gerakan kaum nasionalis dimaksudkan sebagai "gerakan yang tidak berkenan bersyarikat dengan penjajah"; mengandalkan kekuatan sendiri dan mengembangkan suatu struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum, yang kuat dan berakar dalam masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial.[4]
Yang jauh lebih penting dari pada kemenonjolan sementara dari sayap kooperasi gerakan nasionalis tahun 1930, adalah perpecahan yang terbuka antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam.
Organisasi jahiliyah pertama yang menjadi cikal-bakal semua organisasi sekuler adalah Perserikatan Nasional Indonesia. Pada tanggal 4 Juli 1927 Sukarno dan Algemeene Studieclubnya memprakarsai pembentukan sebuah partai politik baru, Perserikatan Nasional Indonesia, dengan Sukarno sebagai ketuanya. Namun sekitar bulan Mei 1928 nama partai ini diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).

Dari Sikap Hijrah Menuju Peduli Sosial
Setelah melakukan hijrah ke Malangbong, S.M. Kartosoewirjo kini hanya menjadi “tokoh regional” saja, karena sikap hidjrahnya yang benar-benar konsekwen. Dalam masa pendudukan Jepang dia tetap memfungsikan lembaga Suffah, namun kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah Perang, Hizbu’llah dan Sabili’llah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.

Pada tahun 1943 S.M. Kartosoewirjo kembali aktif di bidang sosial. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno,[5] sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut. Kegiatan yang dilakukannya ialah mengunjungi cabang-cabang Baitul-Mal di tiap daerah terutama di daerah Priangan.[6]

Dan pada bulan Mei 1943 S.M. Kartosoewirjo bersama-sama dengan Wondoamiseno dan Safei mendirikan cabang-cabang di lima kabupaten di Priangan atas izin dari residen Jepang Aseha di Bandung. Kegiatan lain yang dilakukannya menerbitkan sebuah artikel yang tidak berbau politik tentang Isra' dan Mi’raj Rasulullah,[7] dalam Soeara MIAI. Selanjutnya S.M. Kartosoewirjo berupaya untuk meneruskan gagasan awalnya yaitu suatu masyarakat Islam yang benar-benar sempurna baik secara ideologi maupun ide, yang disesuaikan dengan propaganda Jepang dengan membuat tulisan-tulisan. Salah satu tulisannya sebagai berikut: “bahwa semua orang dapat ikut membangunkan dunia baru yang memberi jaminan akan kemakmuran, bagi tiap-tiap bagian daripada “Keluarga Asia Timur Raya”, apabila mereka kembali kepada ajaran Rasulullah dan umat Islam sadar akan kedudukannya”.[8] Begitulah pandangan dan wawasan keIslaman yang ada pada diri seorang S.M. Kartosoewirjo, di mana setiap gerak langkah kehindupannya hanya untuk kesuksesan dunia Islam.

Organisasi ini hanya berjalan selama enam bulan saja, karena pada bulan Oktober 1943 dibubarkan yang selanjutnya mengadakan fusi ke Masjoemi (Madjlis Sjoero Moeslimin Indonesia) yang didirikan pada tanggal 11 November 1943, dan S.M. Kartosoewirjo sendiri masuk menjadi anggota organisasi baru ini.

Pendudukan Jepang, Dari Politik menuju Perjuangan Bersenjata

Ketika rahasia tentang rencana Jepang untuk melaksanakan politik devide and rule diketahui oleh kalangan politikus Indonesia. Dimana pemerintah Jepang memang sengaja menciptakan organisasi Masyumi dan Putera, yang hanya untuk diadu domba dengan sasaran ialah meredam keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka, dan juga untuk langgengnya kekuasaan Jepang di Indonesia. Oleh karena itu, Jepang menciptakan sebuah alat kontrol yang baru dengan mendirikan Jawa Hokokai, yaitu Perhimpunan Kebaktian Rakyat Jawa pada bulan November 1944 sebagai pengganti “Poetra” (Poesat Tenaga Rakyat),[9] semua para politikus Indonesia diintegrasikan pada organisasi buatan jepang ini, agar mereka dapat dikontrol lebih baik tanpa menimbulkan ekses yang buruk bagi kekuasaan Jepang. S.M. Kartosoewirjo sendiri bekerja di kantor pusat Djawa Hokokai (Djawa Hokokai Chuo Honbu) di bagian Chosaka yang mempunyai tugas untuk mengumpulkan data-data ekonomi dan informasi lainnya yang penting. Aktifitas rutin yang sering dikerjakan oleh S.M. Kartosoewirjo pada masa itu mengontrol penyerahan beras yang harus dilakukan rakyat setempat.

Di samping itu Jepang juga berusaha untuk memobilisasi rakyat pedesaan, terutama masyarakat Islam untuk kepentingan perang mereka, agar tercapai peningkatan produksi pertanian. Salah satu Program yang dibuat oleh Jepang berupa dipanggilnya 60 ulama dari seluruh pulau Jawa ke Jakarta untuk mengikuti “latihan ulama” sekali tiga minggu, yang pada akhir kursus tersebut mereka harus mengisi suatu angket yang berhubungan dengan kewajiban-kewajibannya terhadap Jepang.[10]

Pada dasarnya kehadiran pendudukan militer Jepang di Indonesia setali tiga uang dengan Kolonial Belanda. Di mana politik devide and rule yang mereka adakan hanya untuk menindasan rakyat Indonesia saja, dan dilaksanakan hanya untuk kepentingan mereka saja. Rakyat diperlakukan dengan tidak wajar, diperas tenaganya untuk bekerja Romusha mana kala tidak mau dibunuhnya. Apa yang mereka impikan selama ini dengan penuh antusias; Impian negeri yang merdeka dari belenggu penjajahan tidaklah semudah itu di alam nyata. Anak negeri harus menumpahkan darah dulu untuk mendapatkan apa yang menjadi dambaannya.

Ketika situasi perang Asia Pasifik mulai memburuk bagi pihak Jepang, apalagi dengan adanya pemboman dari pihak sekutu kedaerah Jepang di Hiroshima dan Nagasaki, akhirnya untuk lebih memanfaatkan para politikus Indonesia dalam mendukung usaha-usaha perjuangannya mereka bersedia untuk memberi konsesi (kepemilikan) yang lebih besar bagi rakyat Indonesia dari yang pernah dilakukan oleh Belanda sebelumnya. Orang Indonesia kini diperkenankan membentuk organisasi bersenjata sendiri. Pertama, pada bulan Oktober 1943, terbentuknya PETA (Pembela Tanah Air) dan kemudian, pada akhir 1944 dibentuklah Hizbullah (Tentara Allah), cabang bersenjata Masyumi Islam. Di samping itu, pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Koiso menjanjikan Indonesia “merdeka di kelak kemudian hari”. Dan pada 1 Maret 1945 janji ini diulangi, kali ini oleh Panglima tertinggi Jepang, yang sekaligus mengumumkan pembentukan “Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan”.

Berkat dibukanya keran kebebasan berupa konsesi dari pemerintah Jepang. Pada bulan Februari 1945, berkumpul sukarelawan Hizbullah di tempat pendidikan mereka untuk mendapatkan pendidikan dasar militer selama tiga bulan, setelah itu mereka ditugaskan untuk kembali ke tempat mereka masing-masing guna mengajarkan ilmunya kepada anggota yang baru. Hal inilah yang sejak lama ditunggu oleh S.M. Kartosoewirjo, bahwa rakyat Indonesia sangat berhak untuk menentukan nasib bangsanya sendiri tanpa diberikannya konsesi sekalipun, dia segera mengaktifkan kembali perguruan Suffah di Malangbong untuk melatih para pemuda berupa latihan kemiliteran dengan dipersenjatai tongkat bambu. S.M. Kartosoewirjo sendiri tidak terjun langsung menangani latihan tersebut karena dia ditugaskan oleh pemerintah Jepang sebagai pengamat latihan-latihan di Banten. Di mana daerah ini diumumkan menjadi daerah yang terlarang, karena di sini dikhawatirkan akan mendarat pasukan sekutu.[11]

Selama masa pendudukan Jepang, kegiatan S.M. Kartosoewirjo hanya kelihatannya saja bersedia untuk bekerja sama dengan pihak Jepang. Selama masa itu dia tidak pernah mengeluarkan pernyataan politik, juga di hadapan rekan-rekannya dalam Djawa Hokokai. Namun dia memanfaatkan kedudukannya dan memanfaaatkan sarana propaganda yang dibentuk oleh Jepang guna mencapai tujuannya tanpa sepengetahuan Jepang, seperti yang juga dilakukan banyak politikus Indonesia lainnya pada masa itu.[12] Terutama S.M. Kartosoewirjo tidak pernah memutuskan hubunganya dengan teman-temannya dari KPK-PSII yang masih tinggal di Jawa Barat. Tetapi dia tidak pernah mengambil bagian proses pengambilan keputusan di waktu-waktu sebelum proklamasi. Untuk itu dia tidak mempunyai kesempatan, karena dia telah menarik diri dari arena politik nasional karena sikap “Hidjrahnya” yang benar-benar konsekwen, dan juga hubungan Kartosuwisrjo dengan hampir semua tokoh organisasi Islam di tingkat nasional waktu itu sudah tidak akrab lagi. Pendapatnya tentang situasi selama masa pendudukan Jepang baru dinyatakan setahun kemudian dalam sebuah brosur di mana dia menulis sebagai berikut: “Pada zaman pendoedoekan Jepang, maka keadaannya lebih menjedihkan daripada zaman Belanda. Semoeanja pergerakan politik dengan tiada ketjoealinja disapoe bersih sampai ke akar-akarnja, atau diboenoeh mati. Hak politik beoat ra’iat noel, tidak barang sedikitpoen diberikan”.[13]

Dan kemudian dia melanjutkan: “Waktoe itoe praktis tiada hak politik bagi ra’iat Indonesia, melainkan semoea djedjak dan langkah haroes dilahirkan kepada Tokio, ialah peosat persembahan manoesia berhala, jang bernamakan Tenno Heika, dan kiblatnja semoea djepangisme dan kemoesjrikan ala Djepang.”[14]

Seterusnya tentang organisasi Islam ciptaan Jepang serta peranannya pada waktu itu, S.M. Kartosoewirjo menulis sebagai berikut: “Masjumi dan kemudian MIAI, kedua-duanja buatan Jepang, dengan perantaraan agen-agennja, kijai-kiaji a la Tokio, merupakan lembaga dan medan pertempuran. Oleh fihak Islam muda, fihak revolusioner dan progressif, lembaga ini dipakai untuk menjusun dan mengatur “gerakan di bawah tanah”, seperti juga jang dilakukan oleh kawan-kawan seperdjuangan lainnja di Hokokai dan lain-lain badan kebaktian, buatan saudara tua itu.

Benih-benih subversif di masa sangkar mas Jepang, jang sesungguhnja kamp konsentrasi, di masa nanti, mendjadi pendorong dan daja kekuatan jang hebat.”[15] Dan tentang Soekarno, S.M. Kartosoewirjo menggambarkannya bahwa pada saat itu Soekarno menjadi agen nomor satu Jepang: “Ibu pertiwi diselaraskan dengan Dewi Ameterasu, animisme Djawa (kedjawen) ditjampur dengan Sintoisme, marhaenisme disesuaikan dengan tjita-tjita kema’muran Asia Timur Raja dan dengan alat-alat itu atas perintah tuannja, ia siap memperdjepangkan diri dan kawan-kawannja dan kemudian UIBI (Umat Islam Bangsa Indonesia) pun menjadi sasarannja jang istimewa.”[16]

Pada bulan Agustus itu S.M. Kartosoewirjo berada di Jakarta, dan dia juga mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu bahkan dia mempunyai rencana kinilah saatnya rakyat Indonesia khususnya umat Islam merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah mempersiapkan untuk memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945.[17] Namun diurungkannya sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu S.M. Kartosoewirjomemposisikan diri sebagai warga Republik Indonesia, yang menginginkan sebuah revolusi sosial sehingga akhirnya Republik Indonesia bisa berubah menjadi sebuah negara Islam.

Memang S.M. Kartosoewirjo kecewa dengan dicoretnya ‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.[18] Peristiwa pencoretan itu merupakan ‘pukulan telak’ (KO, Knock out) bagi umat Islam yang sejak zaman penjajahan Belanda mendambakan diberlakukannya syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pandangan Kartosoewirjo pencoretan itu merupakan awal kekalahan politik Islam berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler di saat negara Indonesia baru saja dilahirkan. Benih-benih perlawanan terhadap RI pun mulai tumbuh. Namun demikian beliau tetap berusaha melawannya dari dalam struktur RI sendiri dengan menggalang kesadaran rakyat akan perlunya syari’at Islam ditegakkan.

Pada bulan oktober 1945 S.M. Kartosoewirjo beserta anggota-anggota Masjumi yang lain di antaranya Wahid Hasyim dan Moh. Natsir[19] mengadakan pembicaraan tentang akan menjadikan Masjumi sebagai partai politik. Namun tidak ada sepakat dalam pertemuan tersebut, maka pada tanggal 7-11-1945 di Yogyakarta partai Masjumi didirikan dengan memakai nama yang lama, dan partai Masjumi sekarang ini dijadikan sebagai wahana organisasi bagi semua kelompok Islam. Masjumi dimaksudkan agar menjadi partai politik kesatuan bagi semua Muslim, tanpa membedakan latar belakang agama, sosial pendidikan, dan ekonomi. Dalam organisasi ini S.M. Kartosoewirjo menduduki jabatan sebagai sekretaris pertama.[20] Pada kongres itu banyak keputusan yang dapat diperoleh di antaranya ditetapkan bahwa di samping Hizbullah, yaitu sebuah laskar Islam (di mana anggota masih muda) yang masih tetap berdiri, dibentuk lagi sebuah laskar yang dinamakan Sabilillah (yang anggotanya terdiri dari generasi lebih tua).[21] Keputusan yang lainnya adalah, bahwa umat Islam harus dipersiapkan untuk menjalankan Jihad.[22] Dalam programnya, Masjumi merumuskan tujuannya, yaitu untuk menciptakan sebuah negara hukum yang berdasarkan ajaran agama Islam.[23]

Setelah dibentuknya partai Masyumi ini banyak sekali didirikan kantor-kantor cabang partai, mulai dari tingkat provinsi sampai ke bawah yaitu tingkat desa. Karena itu pula S.M. Kartosoewirjo mengadakan perjalanan ke Jawa Barat untuk mempersiapkan pendirian kantor pusat Masyumi Daerah Priangan. Pada bulan Juni 1946, di Garut diadakan konferensi Masyumi Daerah Priangan dimana akan dipilih pengurus yang baru. S.M. Kartosoewirjo menunjuk K.H. Moechtar sebagai ketua umum dan dia sendiri menjadi wakil ketua. Sanusi Partawidjaja menjadi sekretaris badan pengurus, Isa Anshari dan K.H. Toha memimpin bidang informasi, sementara kepada Kamran diserahkan pimpinan Sabilillah.[24] Pada konferensi tersebut S.M. Kartosoewirjo mengucapkan sebuah pidato tentang haluan politik Islam tentang pertanyaan siapa yang akan berkuasa di Indonesia. Yang mengagumkan adalah, bahwa pandangannya ke depan sangatlah tepat, sebulan setelah itu, Indonesia memang menghadapi hari-hari kritis[25]

Di Garut – Jawa Barat itulah, S.M. Kartosoewirjomemberikan pidato dihadapan rapat lengkap Partai Politik Islam Masyumi daerah priangan, yang bukan saja dihadiri oleh anggota partai tersebut, tetapi juga perwakilan dari GPII, Hizbullah, Sabilillah, Muslimat, GPII Puteri dan undangan lainnya. Pidatonya yang terkenal tersebut kemudian diringkas sebulan kemudian dalam sebuah buku yang berjudul “Haloean Politik Islam” yang diterbitkan Dewan Penerangan Masjoemi daerah Priangan[26]. Dari buku ini tampak jelas apa yang dimaksud S.M. Kartosoewirjotentang cara melaksanakan Syari’at Islam di Indonesia secara menegara, diawal lahirnya RI yang disebut S.M. Kartosoewirjosebagai Jembatan Emas, sebelum beliau memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Ini dapat kita telusuri dengan sikap dan pandangan Imam sejak tahun 1945 yang memberikan dukungan penuh terhadap RI. Apa yang Asy Syahid lakukan adalah sikap matang seorang negarawan dalam membela rakyat, dan mempertahankan sebuah negara. Mari kita lihat pandangannya atas bayi Republik Indonesia saat itu :

1. S.M. Kartosoewirjo menerima keberadaan RI sebagai sebuah awal kebaikan, yang harus dipelihara dan dipertahankan, sebagai sebuah suasana yang kondusif untuk memasyarakatkan Islam sebagai rahmat bagi semesta : Sekarang, Negara dan Ra’yat Indonesia soedah merdeka, hampir tjoekoep setahun oemoernja. Kini baroe merdeka de facto (njata menurut boekti) dan tidak lama lagi insja Allah menjadi merdeka de jure bila mana waktoe waktoe salah satoe negeri loear mengesahkan kemerdekaan negara kita. Pada sa’at itoelah kemerdekaan Indonesia menjadi boelat 100 pct penoeh, tidak lebih dan tidak koerang, sehingga dalam ikatan dan persatuan bangsa bangsa di doenia, negara kita akan mendapat kedoedoekan jang sederadjat dan sedjadjar dengan negara2 merdeka lainnya[27].

2. S.M. Kartosoewirjomengajak muslimin untuk terus bersetia pada perjuangan politik, dengan tetap berpegang pada dua hal : ideologi dan realita. Tetap harus setia dengan apa yang diinginkan (sebagai hamba Alah tentunya Darul Islam di dunia dan Darus Salam di akhirat), dan tidak buta dengan kemungkinan kemungkinan yang bisa dilakukan untuk menghantarkankeinginan itu di alam nyata : Seorang ahli perdjoeangan jang berideologi tidak pernah terhenti ‑-djangankan sengadja menghentikan diri-- dalam oesahanja mendekati dan mentjapai tjita-tjitanja. Moemkin pada soeatoe waktoe ia tampak lari milir-moedik, melompat kekanan dan kekiri, terbang kebarat atau ketimoer -‑karena keadaan dan kenjataan masjarakat tidak memberi kemoemkinan atau kelapangan lebih daripada itoe--, tetapi dalam pada ia terombang-ambing oleh gelombang masjarakat dan terdampar diatas pantai kesengsaraan, maka mata-hatinja tidak pernah lepas dari Ideologi. Tiap-tiap langkah dan geraknja selaloe diarahkan kepada tertjapainja ideologi. Ia hidoep dengan ideologinja dan ingin mati poen dalam djalan dan oesaha menoedjoe tertjapainja ideologi itoe. Djiwa perdjoeangan jang seroepa itoe tiadalah ternilai harganja. Djiwa jang seroepa itoe adalah moestika bangsa, jang mendjadi benih kemoeliaan dan keloehoeran sesoeatoe Oemmat dan Agama.

3. S.M. Kartosoewirjo pun mengingatkan jangan sampai terjebak dalam dua sisi ekstrim, berideologi tapi tidak melihat kenyataan, atau pasrah pada kenyataan dan kehilangan ideologi. Bahkan kesadaran ideologi ini pun tidak boleh membutakan diri akan adanya ideologi lain yang harus dihadapi sebagai competitor[28] yang disikapi secara cerdas dan cermat. Jangan sampai semangat memperjuangkan ideologi Islam di tengah perkembangan negara muda RI yang masih rentan itu, melahirkan konflik horizontal antara sesama warga RI, yang akhirnya menjadi perlemahan ke dalam dan membuka peluang pada musuh untuk kembali menjajah RI:

· Poen sebaliknja, kita haroes poela bertjermin kepada pelbagai peristiwa, jang orang boleh demikian jakin kepada sosoeatoe ideologi, sehingga loepa kepada realiteit “tergila-gila kepada ideologi sendiri”, mabok kepada kebenaran sendiri, sehingga sering loepa‑ bahkan kadang-kadang tidak barang sedikit menaroeh perhatian atau penghargaan kepada ideologi jang lainnja.
· Penjakit “fanatisme” jang seroepa inilah jang moedah sekali jang membahajakan persatoean bangsa dan persatoean perdjoeangan, jang kesoedahannja bernatidjahkan kepada perpetjahan dan pertjideraan jang tidak diharapkan, teroetama sekali pada masa genting-roenting seperti sekarang ini, dimana tiap-tiap warga Negara seharoesnja merasa wadjib ikoet serta menjempoernakan perdjalanan Revolusi Nasional, jang lagi tengah kita hadapi bersama. Lebih-lebih lagi, kalau kita jakin, bahwa tiap-tiap perpetjahan antara kita dengan kita, adalah satoe keoentoengan bagi moesoeh. Tentang hal ini, lebih landjoet akan kami sadjikan dibagian jang lain.

· Wal-hasil, keterangan dan penerangan ringkas diatas tjoekoeplah kiranja menoendjoekkan tentang wadjib kita, selaloe haroes berpegangan kepada kedoea “akidah politik itoe” djika kita hendak melaloei djalan jang sebaik-baiknja dalam perdjoeangan, menoedjoe dan mentjapai kemoeliaan dan keloehoeran Noesa, Bangsa dan Agama, tegasnja: Menegakkan Repoeblik Indonesia.

4. S.M. Kartosoewirjo mengingatkan bahwa ada dua jenis revolusi yang harus dilangsungkan, pertama revolusi nasional, yang bertujuan mempertahankan RI dari pencaplokan kembali bangsa asing, dan terus membangunnya hingga berdiri sejajar dengan bangsa bangsa lain. Dan kedua adalah revolusi sosial, yakni perubahan di dalam negara RI sendiri, dimana dengan menyadari besarnya pengaruh dukungan rakyat, setiap pejuang ideologi harus berusaha menarik dukungan rakyat, dan membuka kesadaran rakyat pada ideologi yang ditawarkannya. Dan tanggung jawab muslimin adalah mengembangkan ideologi Islam sehingga memperoleh kesempatan menerima kepercayaan rakyat untuk menjalankan kekuasaan negara berdasarkan Syari’at Islam. Beliau mengingatkan agar ummat Islam tampil memimpin, jangan hanya mau dijadikan alat bagi para ideolog Komunis maupun Nasionalis-Sekuler dalam mencapai tujuan-tujuan mereka[29]. Pada saat itu, dalam pandangan S.M. Kartosoewirjo, keterlibatan kalangan politisi Islam dalam percaturan politik Republik Indonesia, hanyalah sebagai “alat” saja untuk menggolkan usaha-usaha dua kubu yang bertikai tadi.

· Pada waktoe itoelah orang berdjoeang dengan sepenoeh-penoeh kekoeatannja, oentoek membela dan mempertahankan kejakinan dan ideologinja masing-masing. Tiap-tiap golongan dan party berichtiar dan berdaja-oepaja dengan segenap oesahanja, oentoek mengembangkan ideologi dalam kalangan ra’jat. Dan oleh karena Repoeblik Indonesia berdasarkan Kedaulatan ra’jat, maka soeara ra’jat jang terbanjak itoelah, jang akan memegang kekoeasaan Negara. Djika kommunisme, jang diikoeti oleh seba-gian besar daripada ra’jat, maka pemerintah Negara akan mengikoeti haloean politik, sepandjang adjaran kommunisme. Dan bila Sosialisme atau Nasionalisme jang “menang soeara”, maka Sosialisme dan Nasionalismelah jang akan menentoekan haloean politik Negara.

· Demikian poela, djika Islam jang mendapat koernia Toehan “menang dalam perdjoeangan politik” itoe, maka Islam poelalah jang akan memegang tampoek Pemerintahan Negara. Sehingga pada waktoe itoe terbangoenlah Doenia Islam atau Dar-oel-Islam, jang tetap bersendikan kepada kedaulatan Ra’jat, jang tidak menjimpang seramboet dibelah toedjoeh sekalipoen daripada adjaran-adjaran Kitaboellah dan soennatoen-Nabi Moehammad Clm.

· Pada sa’at itoelah kita hidoep didalam Doenia Baroe, jang boleh kita gelari: “Al-Daulatoel-Islamiyah”. Selandjoetnja, tentang hal ini akan kami bentangkan dibagian lain. Oleh sebab itoe, maka dalam perdjoeangan kedoea ini bolehlah dinamakan: ‘Alam perdjoeangan ideologi.

5. Target Revolusi sosial itu adalah :
i. Hendaklah Republik Indonesia menjadi Republik jang berdasar Islam;
ii. Hendaklah pemerintah dapat mendjamin berlakoenja hoekoem sjara’ Agama Islam; dalam arti jang seloeas-loeas dan sesempoerna-sempoernanja;
iii. Kiranja tiap-tiap Moeslim dapat kesempatan dan lapangan oesaha, oentoek melakoekan kewadjibannja, baik dalam bagian doeniawy maoepoen dalam oeroesan oechrowy;
iv. Kiranja ra’jat Indonesia, teristimewa sekali Oemmat Islam, terlepaslah daripada tiap-tiap perhambaan jang mana poen djoea.

· Dengan ringkas tapi tegas bolehlah kita katakan, bahwa tjita-tjita Oemmat Islam (Ideologi Islam) ialah: hendak membangoenkan Doenia Baroe, atau Doenia Islam, atau dengan kata-kata (terminologi) lain: Dar-oel-Islam.

· Sebab, sepandjang kejakinan dan pendapat Oemmat Islam, maka hanya dengan Islam didalam bangoenan Dar-oel-Islam sadjalah masjarakat Indonesia choesoesnja dan segenap perikemanusiaan oemoemnja dapat terdjamin keselamatannja, baik jang behoeboengan dengan hidoep dan peripenghidoepannja maoepoen jang bersangkoetan dengan kepentingan dan keperloean kedoeniaan jang lainnja.

· …….(dihapus –pen)

· Tjita-tjita jang seroepa itoe tertanam dalam-dalam dan berakar koeat-koeat dalam kalboe Oemmat Islam, sehingga tiap-tiap Moeslim dan Moe’min menganggap hidoepnja tiada berguna (moebadzir), bahkan ia merasa menanggoeng dosa jang sebesar-besarnja, djika ia menghentikan ichtijar dan oesahanja, bagi mentjapai Dar-oel-Islam, Dar-oes-Salam!

6. S.M.S.M. Kartosoewirjo mengamanatkan agar revolusi sosial ini dilakukan secara hati hati, sehingga tidak merusak tatanan yang sedang dibangun :

· Djawa pada dewasa ini, Revolusi Sosial moemkin dapat berlakoe ‑-bersamaan dengan waktoe berlakoenja Revolusi Nasional--, djika keadaan ditempat atau daerah itoe menoen-toet dan menghendakinja. Dan bilamana terpaksa terdjadi jang seroepa itoe, maka hendaknja didjaga beberapa perkara, diantaranja ialah:

1. Peliharalah eratnja persatoean antara Pemerintah dan Ra’jat, dan djagalah persatoean antara golongan dengan golongan, antara berbagai-bagai Lapisan ra’jat, sehingga moemkin terdjadi pertjideraan, pertikaian atau pertengkaran, jang kadang-kadang menimboelkan koerban. Sebab, setiap oesaha jang mereng-gangkan kita sama kita, tiap-tiapnja itoe mendjadi keoentoengan moesoeh, maka hendaknja kita haroes lebih tambah berhati-hati, tertib dan teliti dalam tiap-tiap gerak dan langkah kita.

2. Revolusi Sosial itoe djangan hendaknja hanja memberi keoentoengan kepada tempat atau daerah itoe sendiri sadja, tetapi djoega menimboelkan keoen-toengan nasional. Tegasnja, Revolusi Sosial jang berlakoe itoe dapatlah kiranja menambah pesatnja kekoeatan, boeat menjelesaikan Revolusi Nasional.

· Sebaliknja, djika disoeatoe tempat terdjadi Revolusi Sosial, dan ternjata meroegikan kepada tempat atau daerah itoe sendiri, djangankan meroegikan perdjoeangan Oemmat (nasional), teranglah, bahwa Revolusi jang seroepa itoe boekanlah Revolusi jang kita harapkan, jang boleh membawa ra’jat bangsa kita kepada Kemerdekaan jang sedjati.

· Adapoen Revolusi jang kita harapkan ialah Revolusi jang membangoen (konstruktif) dan boekan Revolusi jang membongkar (destruktif), jang menoemboehkan “hoeroe-hara” atau “perang saudara” dalam kalangan bangsa kita sendiri. Padahal tiada-lah mara-bahaja jang lebih hebat dan dahsjat, jang boleh menimpa Oemmat dan Negara, melainkan toemboehnja “hoeroe-hara” dan “perang saudara” itoe, teristimewa sekali pada masa jang segenting ini, dimana nasibnja bangsa dan Negara kita hanja tergantoeng kepada kekoeatan diri sendiri semata-mata dan pada hakikatnja hanja terkandoeng kepa-da tolong dan koernia Ilahy.

· Oleh sebab itoe, kami berharap, moega-moega kejakinan jang seroepa ini dan taktik perdjoeangan jang kita lakoekan itoe, tidak hanja mendjadi milik kita sendiri sadja, miliknja Party Politik Islam Masjoemi dan Oemmat Islam oemoemnja, melainkan djoega merata kepada sekalian ahli perdjoeangan, jang sama-sama menghendaki kemoeliaan noesa, bangsa dan teroetama Agama, dalam melakoekan wadjib kita bersa-ma, menegakkan Kedaulatan Repoeblik Indonesia. Kalau kita selaloe mendjaoehkan masalah ‑masalah jang ketjil (far’iyah) dari pandangan kita dan melihat kewadjiban2 jang besar (oesoel), jang selamanja menantikan kita, insja Allah segala sesoeatoe akan dapat kita selesaikan bersama-sama, dengan tjara jang sebaik-baiknja.

Dari uraian di atas tampak S.M. Kartosoewirjo menghendaki bahwa Revolusi Islam yang dicita citakannya bersifat membangun, sejalan dengan pembangunan negara RI yang baru berdiri. Barangkali bisa disamakan dengan I’tikad baik pemuda Muhammad, sebelum menjadi nabi (Saw) yang bergabung dengan Hilful Fudlul, untuk menggalang kebaikan bagi segenap penduduk Makkah.

Pada konferensi tersebut S.M. Kartosoewirjo mengucapkan sebuah pidato tentang haluan politik Islam tentang pertanyaan siapa yang akan berkuasa di Indonesia. Masih juga ia menganjurkan persatuan dalam cita-cita perjuangan, ia memperingatkan para pendengarnya sekaligus pendukungnya bahwa konflik antara sesama bangsa Indonesia hanyalah akan menguntungkan Belanda, dan ia mendesak menghentikan perbedaan-perbedaan ideologi. Segera setelah tercapai kemerdekaan penuh, perbedaan-perbedaan ini dapat dicari penyelesaiannya secara demokratis, menurut kedaulatan rakyat.

S.M. Kartosoewirjo, tidak hanya menyerukan pada rakyat tentang perlunya perbaikan pada tubuh Republik Indonesia, dengan apa yang beliau namakan sebagai Revolusi sosial itu. Tapi beliau pun menyiapkan kekuatan real di lapangan. Untuk lebih mempersiapkan perjuangan tersebut, di Suffah, tempat yang beliau bangun beliau menerapkan prisnsip hijrah di taun 1940 an, diadakan penggemblengan/pelatihan kemiliteran oleh Ateng Djaelani seorang perwira PETA, karena dalam perhitungan S.M. Kartosoewirjo akan terjadi perjuangan senjata. Dan untuk mencapai koordinasi yang lebih baik dari lasykar-lasykar tersebut, maka pada tanggal 15 September 1946 didirikan di Bandung Markas Daerah Pertahanan Priangan (MDPP).[30] Yang menjadi anggotanya adalah lasykar Hizbullah di bawah pimpinan Zainal Abidin, Kadar Solihat, dan Kamran. Juga lasykar dari Sabilillah di bawah pimpinan kalangan politikus Masjumi di antaranya Isa Anshari, Ajengan Toha, Kiai Jusuf Taudjiri, yang dulu bersama-sama dengan S.M. Kartosoewirjo mendirikan KPK-PSII.

Tanggal 10 November 1946 diparaf naskah Persetujuan Linggarjati yang pokok pokoknya sebagai berikut :
1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengna nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
3. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan ratu Belanda sebagai ketuanya[31].

DR. H.J. Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang kemudian diangkant sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dengan gigih memecah RI yang tinggal 3 pulau ini, bahkan sebelum naskah itu ditandatangani[32], ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur, dengan presiden Sukowati. Lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 – 24 Desember 1946.

Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, S.M. Kartosoewirjo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh Pemerintah Republik dan Belanda pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak. Kepergian S.M. Kartosoewirjo ini dikawal oleh para pejuang Hizbullah dari Jawa Barat, karena dalam rapat tersebut kemungkinan ada dua kubu yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni antara sayap sosialis (diwakili melalui partai Persindo), dengan pihak Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin agar KNPI menyetujui naskah Linggarjati tersebut, sedang pihak Msyumi dan PNI cenderung ingin menolaknya. Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S.M. Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo.[33]

Terlihat sekali bahwa pada saat itu perjuangan politik umat Islam dikendalikan oleh tangan- tangan kelompok sayap kiri, yaitu PKI dan sosialisme.[34] Terbukti ketika Amir Syarifudin menjabat sebagai Menteri Pertahanan, dia berprogram mengharuskan setiap laki-laki yang berusia 15 tahun ke atas untuk masuk kedalam Inspektorat Perjuangan yang dikordinir oleh orang komunis, namun usaha Amir Syarifudin itu ditentang oleh R. Oni selaku ketua Sabilillah yang dilantik pada bulan April 1947 dengan alasan bahwa usaha-usaha yang dilakukan oleh Amir Syarifudin tersebut untuk membuat umat Islam menjadi Sosialis.[35] Dan berawal dari akar sejarah ini pula lah, banyak pemuda pemuda berideologi komunis yang berhasil menyusup ke tubuh TNI kelak, tidak heran bila kelak banyak anggota TNI yang malah berdiri di belakang Revolusi Komunis, baik tahun 1948 maupun di tahun 1965. Dan fakta ini pulalah yangmembuat anggota perjuang dari front Sabilillah dan Hizbullah sulit diterima untuk masuk TNI. Bahkan lebih jauh Amir Syarifudin berusaha dengan berbagai cara untuk melucuti senjatan dari kedua laskar tersebut. Untuk menghindari kemungkinan ini R. Oni segera memulangkan anggota lasykar pengawal ini ke tempat masing-masing.[36]

S.M. Kartosoewirjo sendiri termasuk para politikus Masyumi yang menolak persetujuan Linggarjati tersebut tanpa kompromi. Karena memang jelas sekali bahwa dengan diadakannya perundingan Linggarjati itu sangat menguntungkan pihak Belanda dalam usaha-usahanya menancapkan kuku penjajahannya kembali. Betapapun Belanda tidak menunjukkan I’tikad baik untuk memelihara perjanjian ini (seharusnya para elit Republik Indonesia berwaspada dengan deklarasi berdirinya Negara Indonesia Timur, yang sudah dinyatakan, padahal Naskah Linggarjati itu belum resmi diakui dan mengikat kedua negara. Artinya sebelum ditandatangani, Belanda belum sepenuhnya berhak bertindak sesuka hati di wilayah Indonesia yang sudah diklaim RI dalam proklamasinya. Sekalipun itu di luar Jawa-Sumatra dan Madura), namun akhirnya para petinggi Republik[37] tetap menandatangani Naskah tersebut pada tanggal 25 Maret 1947. Belanda[38] menolak tuntutan RI atas Irian Barat, yang ketika itu masih di luar klaim NIT, dengan alasan bahwa penduduk Irian Barat ingin berdiri sendiri[39].

Dan kelicikan Belanda tidak berakhir sampai di NIT, dua bulan setelah itu, Belanda berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria Kartalegawa, memproklamasikan Negara pasundan Pada tanggal 4 Mei 1947, secara militer negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI hengkang dari Jawa barat[40]. Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakbitkan perang. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet).[41]

Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisional' mereka yang pertama. Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali, dari beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.[42]

Tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari berisi :
1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama.
2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama.
3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerah daerah yang diduduki Belanda.
4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama) dan ;
5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor.

Perdana mentri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol parpol di Republik da berakibat jatuhnya Kabinet Sjahrir. Pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Namun apa jawaban S.M. Kartosoewirjo? Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Sjarifudin, dia menolak kursi menteri karena “ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi”.[43] S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Bangsa Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda, di samping itu S.M. Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Sjarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik Nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat, bahwa Amir Syarifudin membawa arah politik Indonesia kepada arah Komunisme.[44]

Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang pertama[45]. Situasi yang kacau pada saat itu yang diakibatkan oleh agresi militer Belanda membuat S.M. Kartosoewirjo lebih memfokuskan perjuangannya. Dalam suatu rapat Masjumi di Garut, yang dipimpin oleh S.M. Kartosoewirjo sendiri dan di mana semua organisasi yang bergabung dalam Masjumi harus mengirimkan wakilnya, diputuskan, bahwa Masjumi tjabang Garut diganti namanya menjadi Dewan Pertahanan Oemat Islam (DPOI).

Dengan ditanda-tanganinya perjanjian Renville (17 Januari 1948) antara pemerintah Republik dengan Belanda. Dimana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik adalah bahwa tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai oleh pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah.[46] Wilayah RI tinggal Yogya dan 8 keresidenan berdasarkan Perjanjiian Renville. Bung Hatta juga sedih Perjanjian Renville menyebabkan Jawa Barat di-tinggalkan TNI. Hatta menilai hijrah TNI akibat ulah Perdana Menteri Amir Syarifuddin (PKI) yang tanpa pikir panjang menyerahkan Jawa Barat begitu saja kepada Belanda.[47] Dan begitu sekitar 35.000 tentara Divisi Siliwangi meninggalkan Jawa Barat[48], sehingga daerah-daerah yang telah ditinggalkan menjadi daerah vacum of power (kosong kekuasaan). Dan kemudian pihak Belanda yang menguasai daerah koloninya dengan mengokohkan cengkraman negara-negara “boneka” buatannya sendiri. Bukan hanya Dr. Moh. Hatta, Letnan Jendral Oerip Soemohardjo pun sangat kecewa dengan hal ini, sehingga akhirnya ia mengundurkan diri dari TNI[49].

Adalah sangat beralasan bila S.M. Kartosoewirjo memilih untuk tetap mempertahankan Jawa Barat, karena secara geopolitik Jawa Barat adalah wilayah yang sangat strategis, sehingga kehilangan Jawa Barat bisa berarti kehilangan Indonesia. Perhatikan pertumbuhan awal kekuasaan politik di Pulau Jawa terjadi di Jawa Barat, Tarumanegara yang merupakan kerajaan Hindu pertama di Jawa. Belanda VOC menjadikan Jayakarta atau Batavia sebagai central rendezvous (sentral pertemuan), dan modal dasar penguasaannya atas Indonesia. Jawa Barat sebagai core area (wilayah inti) menjadikan lahirnya nama kepulauan Indonesia terbagi dalam dua bagian. Pertama, Sunda Besar yang meliputi pulau Jawa, Sumatra. Kalimantan, Irian. Kedua, Sunda Kecil yang meliputi pulau Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur. Dasar laut pun dinamakan Paparan Sunda. Pembagian ini tentu didasarkan analisis geografi politik dari Bandung. Dari pembagian ini, memberikan gambaran Jawa Barat sebagai inti sentral Nusantara atau sebagai core area of Nusantara[50].

Untuk melihat betapa pentingnya posisi politik Jawa Barat, kita terlebih dahulu harus memahami beberapa pergantian kekuasaan politik di Indonesia yang bermula dari wilayah ini. Makna Jawa Barat, khususnya Kota Blitar, Cilacap, Bandung dalam geopolitik Jepang, belajar dari pengalaman sejarah Belanda, adalah sangat penting. Demikian strategisnya Jawa Barat sehingga kita menyadari mengapa Belanda menyerah di Kalijati Subang, 8 Maret 1942, berdampak seluruh Nusantara berbalik jatuh ke tangan penjajahan Jepang Seluruh potensi militer Jepang ada di sekitar Bandung dan daerah-daerah Sunda lainnya sangat penting artinya bagi dasar-dasar revolusi Islam bersenjata pada akhirnya. Terutama kekuatan infanteri Jepang yang luar biasa terdapat di Cimahi, kavaleri dan udaranya di Bandung, dan pabrik senjata dan mesiunya di Bandung. Departemen perangnya pun di Bandung. Dengan terkuasainya Bandung, maka Tentara Jepang dapat menguasai seluruh Nusantara.[51]. Hal ini tidak lain karena Jawa Barat merupakan jantungnya kekuatan untuk menguasai Nusantara. Maka memahami kondisi Jawa Barat yang demikian strategis inilah maka dipakai oleh S.M. Kartosoewirjo sebagai wilayah hijrah.

Paska perjanjian Renville (1948), semua kekuatan gerilya TNI yang berada di kantong-kantong pertahanan Jawa Barat diwajibkan hijrah (mengungsi) ke Yogyakarta. Ibu Kota negara pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Bagi para pejuang DI hal itu mengecewakan tidak hanya karena menunjukkan sikap kompromistis RI dan TNI kepada pihak Belanda, tapi juga membiarkan rakyat Jawa Barat tidak terproteksi. Hijrah TNI ini dianggap ‘penghianatan’ yang kemudian membang-kitkan amarah rakyat Jawa Barat. Apalagi yang mengungsi itu adalah Divisi Siliwangi, tentara kebanggaan rakyat Jawa Barat. Kartosoewirjo dan laskar bersenjatanya menolak hijrah ke Yogyakarta dan tetap bertahan di kantong-kantong gerilya di hutan-hutan Jawa Barat. Dari sinilah awal munculnya simpati rakyat Jawa Barat terhadap perjuangan heroik-patriotik Kartosoewirjo dan DI. Apalagi selama itu Kartosoewirjo dikenal sangat tidak kompromistis terhadap Belanda, khususnya menyangkut eksistensi Negara Pasundan.[52]

Natsir, ketika itu menteri penerangan mengomentari hijrah TNI: “Hubungan kami dengan Kartosoewirjo pada masa sebelumnya rapat sekali. Bung Hatta juga selalu berhubungan dengannya. Soalnya, Persetujuan Renville telah mengusir TNI “hijrah” dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Orang-orang Jawa Barat merasa ditinggalkan dalam perjuangan. Waktu itu Kartosoewirjo pulang balik ke Yogyakarta dan langsung menemui Bung Hatta. Bung Hatta memberi bantuan supaya Kartosoewirjo bisa sedikit mendinginkan orang-orang Jawa Barat yang merasa ditinggalkan Republik.”[53] Menurut pengakuan Natsir, tidak hanya Kartosoewirjo dan rakyat Jawa Barat yang kecewa dengan hijrah TNI itu. Bung Hatta juga sedih Perjanjian Renville menyebabkan Jawa Barat di-tinggalkan TNI. Hatta menilai hijrah TNI akibat ulah Perdana Menteri Amir Syarifuddin (PKI) yang tanpa pikir panjang menyerahkan Jawa Barat begitu saja kepada Belanda.[54]

Mundurnya RI ke Jogja sebagai konsekwensi logis dari perjanjian renville yang mengakui bahwa Jawa Barat bukan lagi daerah Republik. Karena persetujuan ini Tentara Republik resmi “Divisi Siliwangi” mematuhi ketentuan-ketentuannya. Hal yang berbeda dengan pasukan gerilya Hizbullah dan Sabilillah bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat (lebih dari 4000 personil), menolak untuk mematuhinya[55].

Adapun reaksi S.M. Kartosoewirjo dengan adanya perjanjian Renville itu membuat suatu pernyataan bahwa “Amir Sjarifoedin la’natoellah” dituduh telah berbuat khianat dan menjual Jawa Barat kepada Belanda dan mengangkut semua senjata ke daerah Republik “soepaya Oemat Islam khoesoesnja dan rakjat Djawa Barat semoeanja tidak dapat mengadakan perlawanan terhadap Belanda”.[56] Analisa ini benar benar tepat sebab Belanda memang hendak mengokohkan posisi Negara Bonekanya di Jawa Barat “Negara Pasundan” dimana pada tanggal 26 April 1948 R..A.A Wiranata Kusumah dipilih menjadi Wali Negara[57] disaksikan Dr. H.J. Van Mook[58].

Untungnya, jauh sebelum semua itu terjadi, pada tanggal 10 -11 Februari 1948 di desa Pangwedusan Distrik Cisayong, pada saat itu Dahlan Lukman menerangkan, bahwa persatuan di masa lampau merupakan “persatuan ayam dan musang”, dan kini ummat Islam memerlukan pimpinan yang baru dan kuat, yaitu seorang Imam. Pimpinan ini harus meliputi seluruh Jawa Barat[59]. Affandi Ridhwan dari GPII mengusulkan supaya pemerintah di Yogyakarta didesak agar Jawa Barat diserahkan kepada ummat Islam. Dan dia usulkan kepada Pengurus Besar Masjumi di Yogyakarta “soepaja Soekarno ditoereonkan, baik sandiwara atau tidak kalau perloe “Coup d’etat.[60]

Menanggapi hal tersebut S.M. Kartosoewirjo menjawab sebagai berikut, Jawa Barat bukanlah Shanghai, bukan negara internasional, dan kudeta hanya didjalankan oleh golongan ilegal, sedangkan Masjumi adalah sebuah partai yang legal. Lihat, S.M. Kartosoewirjo memiliki wawasan yang sangat matang dalam urusan perjuangan menegara, beliau menolak bentuk bentuk pemberontakan atau kudeta, secara bertanggung jawab beliau malah terus mempersiapkan negara alternatif, sebagai langkah antisipatif bila RI yang banyak mengkhianati ummat Islam itu akhirnya harus mati di tangan Belanda.

Keputusan terpenting yang diambil dalam konferensi di Cisayong adalah membekukan Masjumi di Jawa Barat dan semua cabangnya dan “membentuk pemerintah daerah dasar di Jawa Barat yang harus dita’ati oleh seluruh umat Islam di daerah tersebut”,[61] ini merupakan keputusan yang tepat, sebagai jawaban terhadap Belanda. Bahwa sekalipun Jawa Barat ditinggalkan RI, Ummat Islam tidak sudi berada di bawah pengaturan Negara Pasundan (Boneka Belanda) itu. Dengan tegas penolakan ini dibuktikan dengan membentuk pemerintahan sendiri, bahkan mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII).

Pada tanggal 1-2 Maret 1948 diadakan konferensi di Cipeundeuy/Banturujeg di daerah Cirebon, kemudian dari hasil rapat tersebut juga ditetapkan suatu “Program Politik Umat Islam” yang terdiri dari butir-butir berikut ini:
1. Memboeat brosoer tentang pemetjahan politik pada dewasa ini ja’ni perloenja lahir satoe negara baroe, ja’ni Negara Islam. Pengarang S.M. Kartosoewirjo (oentoek disiarkan ke seloeroeh Indonesia).
2. Mendesak kepada pemerintah Poesat Repoeblik Indonesia agar membatalkan semoea peroendingan dengan Belanda. Kalau tida’ moengkin, lebih baik Pemerintah diboebarkan seloeroehnja dan dibentoek soeatoe pemerintah baroe dengan dasar Democratie jang sempoerna (Islam).
3. Mengadakan persiapan oentoek membentoek soeatoe Negara Islam jang akan dilahirkan, bilamana: Negara Djawa Barat a la Belanda lahir, atau Pemerintah Repoeblik Indonesia boebar.
4. Tiap-tiap daerah jang telah kita koeasai sedapat-dapat kita atoer dengan peratoeran Islam, dengan seidzin dan petoendjoek Imam.[62]

Selain itu dibuat juga suatu “Daftar Oesaha Tjepat” yang harus menerangkan kepada rakyat bahwa perjanjian dengan Belanda tidak akan membawa kemerdekaan bagi Indonesia. Juga seluruh pegawai Republik dan semua Umat Islam yang bekerja untuk Belanda, begitu juga semua kepala desa yang berada atau tidak berada dibawa kekuasaan Belanda, supaya secepat mungkin “berjiwa Islam”.

Ditetapkan juga untuk memperhebat penerangan tentang tauhid, amal saleh dan semangat berkorban hingga rakyat patut menjadi “warga negara Islam”. Selain itu dengan segala daya upaya paham Jihad dan ‘amal saleh harus diperdalam dan dipertinggi. Sampai pada saat itu S.M. Kartosoewirjo beserta umat Islam masih berharap untuk dapat merealisasikan cita-citanya, yaitu pendirian Negara Islam secara legal, walaupun belum diproklamasikan secara terang-terangan, namun tidak pernah lenyap dari rencana umat Islam Jawa Barat yang akan dipersiapkan kelahirannya[63]. Struktur militer dan pemerintah yang disusun S.M. Kartosoewirjo dan Oni, jelas dimaksudkan sebagai sebuah pemerintahan Islam yang akan menggantikan Pemerintahan Republik jika kalah dalam perang melawan Belanda.[64]

Pada tanggal 1-5 Mei 1948 kembali diadakan konferensi yang ketiga di Cijoho, hasil terpenting yang diputuskan dalam rapat tersebut adalah perubahan nama Madjelis Islam Pusat menjadi Madjlis Imamah (kabinet) di bawah pimpinan S.M. Kartosoewirjo sebagai Imam. Madjlis Imamah itu terdiri dari lima “kementerian” yang dipimpin oleh masing-masing seorang kepala Madjlis, kelima Madjlis tersebut adalah:
1. Madjlis Penerangan di bawah pimpinan: Toha Arsjad.
2. Madjlis Keuangan di bawah pimpinan: S. Partawidjaja.
3. Madjlis Kehakiman di bawah pimpinan: K.H. Gozali Tusi.
4. Madjlis Pertahanan di bawah pimpinan: S.M. Kartosoewirjo.
5. Madjlis Dalam Negeri di bawah pimpinan: S. Partawidjaja.[65]

Anggota Madjlis Imamah adalah Kamran sebagai Komandan Divisi TII Syarif Hidajat dan Oni sebagai Komandan Resimen Sunan Rachmat. Di samping itu dibentuk pula Madjlis Fathwa yang dipimpin oleh seorang Mufti Besar, dan anggota-anggotanya terdiri dari para Mufthi. Tugas Madjlis Fathwa ini sebagai penasehat Imam. Keputusan penting lainnya adalah mendirikan dan menguasai satu “Ibu Daerah Negara Islam”, yaitu suatu daerah di mana berlaku “kekuasaan dan hukum-hukum agama Islam”, yang mana daerah ini dinamakan Daerah I (D.I), daerah di luar Daerah I dibagi-bagi menjadi Daerah II (D.II) yang hanya setengahnya dikuasai oleh umat Islam dan Daerah III (D.III), ialah daerah yang masih dikuasai oleh pihak bukan Islam (Belanda). Untuk lebih jelasnya lagi diberi keterangannya sebagai berikut: Nilai‑nilai suatu agama, meski pun memiliki kesamaan ajaran, namun dalam hal implementasi dan pemahaman jarang ada yang sama. Rancangan alternatif berikut ini, adalah bagian dari sistemmatika yang sudah ada dalam teori politik.[66] Beberapa nilai dan norma serta ajaran‑ajaran dan tuntunan ritualnya memiliki suatu kesamaan. Kesamaan inilah yang pada umumnya membawa suatu perasaan atau emosi yang sama serta keterikatan satu pemeluk agama. Emosi keagamaan inilah yang kemudian sering menggerakkan solidaritas,[67] khususnya dalam aksi politik.

Gerakan Darul Islam[68] mengartikan agama secara sangat politis. Nilai‑nilai agama menjadi begitu terlihat sangat konkrit karena tafsiran dan terjemahannnya yang sederhana dalam wujud kehidupan sehari‑hari. Jauh sebelum perdebatan‑perdebatan tentang sistem politik Islam atau apakah Islam memiliki sistem pemerintahan, S.M. Kartosuwirjo, ─sang Proklamator Negara Islam Indonesia─ telah terlebih dahulu membuat rumusan konkrit dalam bentuk Undang‑Undang Dasar, Proklamasi dan maklumat‑maklumat lainnya.

Sungguh suatu hal yang luar biasa pada saat perang sedang berkecamuk dan suasana politik yang tidak menentu, ternyata S.M. Kartosuwirjo dan beberapa tokoh lainnya yang duduk dalam Dewan Imamah Negara Islam Indonesia telah menyusun konsep‑konsep yang sangat matang tentang berbagai hal menyangkut pengaturan pemerintahan, tentara, demokrasi dalam lembaga legislatif dan hal‑hal spesifik lainnya seperti bai'at dan sumpah prajurit (sapta subbayah).[69]

Struktur kekuasaan Negara Islam Indonesia tergambar dalam qanun azazi (Undang‑Undang Dasar). Struktur Kekuasaannya menggabungkan antara elemen sipil dan militer sekaligus di dalam suatu komandemen. Kepentingan Negara Islam Indonesia ketika itu juga disesuaikan dengan keadaan politik dan militer ketika itu. Sehingga Kartosuwirjo memerintahkan, "ahli politik harus dipermiliterkan, dan ahli militer harus diperpolitikkan."[70] Sementara itu, lembaga legislatifnya tetaplah yang tertinggi dan sekaligus memimpin negara.

Bentuk Negara Islam Indonesia adalah republik (jumhuriyyah) yang menggabungkan antara prinsip‑prinsip demokrasi dan religi dengan susunan lembaga kekuasaan yang rapi dan rijik.[71] Lembaga legislatif ialah Majelis Syuro yang memegang kekuasaan membuat hukum di Negara Islam Indonesia. Ketika itu hak Majelis Syuro, berhubung negara sedang berada dalam keadaan perang, maka dipegang oleh Imam (presiden). Lembaga Majelis Syuro ini memiliki Badan Pekerja, yang disebut Dewan Syuro yang melakukan segala sesuatu sebagai wakil Majelis Syuro dalam menghadapi pemerintah (eksekutif). Lembaga eksekutifnya dipimpin oleh seorang Imam yang diangkat oleh Majelis Syuro dengan mencukupi baiat‑nya. Untuk menjalankan fungsinya, lembaga eksekutif ini membawahi dua dewan yang anggota‑anggotanya diangkat oleh Imam, yaitu (1) Dewan Fatwa yang dipimpin seorang Mufti Besar dan (2) Dewan Imamah. Dan di bawah Dewan Imamah inilah birokrasi pemerintahan diatur, terutama untuk urusan (a) pembagian daerah dari Provinsi hingga desa/kelurahan, kemudian (b) lembaga‑lembaga keuangan negara seperti kantor pajak dan urusan perdagangan serta yang lainnya, juga (c) lembaga kehakiman untuk memproses persoalan akhlaq, dan pelanggaran hukum‑hukum Islam oleh masyarakat. Baru kemudian kedudukan warga negara. Kemudian (d) lembaga pertahanan dan (e) lembaga pendidikan serta (f) lembaga ekonomi swasta.[72]

Di bawah Dewan Imamah ini terdapat Madjelis Imamah[73] (kabinet) yang ketika itu baru 6 Madjelis atau kementerian, yaitu (1) Madjelis Keuangan[74], (2) Madjelis Penerangan[75], (3) Madjelis Pertahanan[76], (4) Madjelis Kehakiman[77], (5) Madjelis Luar Negeri[78], dan (6) Madjelis Dalam Negeri.[79]

Kepemimpinan struktural dan teritorial dalam Negara Islam Indonesia di bawah Dewan Imamah ialah Gubernur, Residen, Bupati dan Camat. Akan tetapi berdasarkan sifatnya untuk cepat berubah sesuai dengan kemajuan perang, maka struktur ini kemudian berganti nama dan tingkat. Selain itu, Negara Islam Indonesia sendiri membuat suatu Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana tersendiri sebagai tafsiran dari ayat‑ayat al‑Qur'an.[80] Hukum Pidana ini merupakan suatu kemajuan pemikiran yang luar biasa, Republik Indonesia saja hingga kini belum mampu membuat hukum pidananya sendiri, masih mencontoh burgerlich‑wetboeknya Belanda.

Organisasi Negara Islam Indonesia dalam masa perang tersebut adalah organisasi yang darurat, namun masih menjalankan fungsi‑fungsi organisasi secara sangat mantap. Gerakan ini merupakan gerakan yang sangat rapi dalam hal dokumentasi, birokrasi dan administrasinya. Pelaksanaan hukum (termasuk hukum pidana), mulai tahun 1949 adalah hukum Islam dalam masa perang sesuai dengan Al Qur'an Surah Al Baqarah ayat 216.[81] Oleh karenanya Negara Islam Indonesia ketika itu masih disebut sebagai Darul Islam fi waqtil Harbi.[82] Dalam masa pembentukan struktur pertama pun, struktur organisasi Negara Islam Indonesia bermula dari sebuah titik kekuasaan dan manajemen, baru kemudian terbagi dalam komandemen.

Organisasi Negara Islam Indonesia merupakan organisasi yang kaku dengan perubahan‑perubahan yang mirip sebuah metamorfosa yang pada akhirnya menuju pada suatu konvergensi "sebuah negara" dengan luas wilayah meliputi seluruh Indonesia. Sejak dari awal Kartosuwirjo merencanakan agar negara Islam yang dia dirikan suatu waktu akan meliputi seluruh wilayah Indonesia.[83] Juga seluruh skema organisasi kenegaraan dan administrasi dicocokkan dengan rencana tersebut sehingga gerakan DI Kartosuwirjo merupakan gerakan Darul Islam dengan organisasi dan administrasi yang paling baik.[84]

[1] Tentang hal ini, lihat Federspiel, Howard M. "Islam and Development in the Nations of ASEAN," dalam Asian Survey, 25, No. 8, August 1985, hal. 805-821.
[2] Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (terj.), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.
[3] Lihat John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Kaum Nasionalis Indonesia 1927-1934, (terj. Zamakhsyari Dhofier), Jakarta: LP3ES, 1983.
[4] Ibid., hal.5.
[5] Soeara MIAI I, No. 13, 1-7-2603, hlm. 5, Asia Raya, 19-6-2003. Pembentukan Baitul’Mal yang pertama, yaitu sebuah organisasai Islam yang otonom yang menerima zakat dan selanjutnya membagikannya bagi fakir miskin didirikan oleh Bupati Bandung, Wiranata Kusuma, pertengahan 1942. Tujuannya ialah untuk memperbaiki situasi ekonomi penduduk di daerah Priangan. Pada bulan April 1943, Baitul Mal Bandung diambil alih oleh Dewan Baitul Mal MIAI di Jakarta. Untuk itu lihat H.J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hlm. 179.
[6] Lihat Asia Raya, 18-5-2603.
[7] S.M. Kartosoewirjo, "I’tibar Majazy dan Ma’ani dari pada perdjalanan Isra dan Mi’radj Rasoeloellah Çlm.", Soeara MIAI No.11, 2603, hlm. 5-7.
[8] S.M. Kartosoewirjo, "Menjelenggarakan Benteng Islam", Soera MIAI I, No.11, 2603, hlm. 5-7. Di dalam artikel itu Kartosoewirjo menulis, bahwa menurut laporan resmi pemerintah, mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam. Karena itu setiap orang Islam memikul tanggung jawab untuk membuktikannya melalui perbuatannya dan harus melaksanakan ajaran-ajaran Islam.
[9] N.P. Soedarno, Poetra (Poesat Tenaga Rakyat): Wadah Perjuangan Soekarno-Hatta Beserta para Perintis Kemerdekaan Lainnya dalam Zaman Jepang, Jakarta: Tinta Mas, 1982, hlm. 79, sebagaimana dikutip dalam Holk H. Dengel, Darul Islam…, Op.cit., hlm. 40.
[10] Lihat Algemene Secretarie Batavia 1942-1949, le zending, Box XXV-33/1, Latihan Oelama Kramat 61, Djakarta, Karangan kesan kijai-kijai, Latihan Oelama V, 2604; Procureur Generaal bij het Hooggerechtshoft in Nederlands Indie 1945-1950, Kist 6-522, Verslag Madjlis Islam, sebagaimana dikutip dalam Holk H. Dengel, Darul Islam…, Op.cit., hlm. 42.
[11] Lihat Indonesia Merdeka I, No. 1, 25-4-2605, hlm. 6.
[12] Lihat W.F. Werheim, Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change, The Hague: W. van Hoeve, 1959, hlm. 226.
[13] S.M. Kartosoewirjo, Haloean Politik Islam, Malangbong: Dewan Penerangan Masjoemi Daerah Priangan, 1946, hlm. 8.
[14] Ibid., hlm. 8.
[15] S.M. Kartosoewirjo, Salinan Pedoman Dharma Bakti, Jilid II, Menggalang Negara Kurniah Allah Negara Islam Indonesia, oleh Karma Yoga, tjetakan ke lima, 25-5-1955, Bandung: Sudam I KODAM VI/ Siliwangi, 1960, hlm. 277.
[16] Ibid., hlm. 272.
[17] Lihat Republik Indonesia, Propinsi Djawa Barat, Jilid I, Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1953, hlm. 215.
[18] Hatta merasa perlu mencoret tujuh kata itu setelah ia, menurut versi Hatta, didatangi seorang opsir Jepang. Opsir ini menyatakan bahwa bila tujuh kata itu tetap tercantum dalam Piagam Jakarta maka orang-orang Kristen di kepulauan Indonesia Timur akan memisahkan diri dari Republik Indonesia. Tidak semua sepakat dengan kisah pencoretan tujuh kata versi Hatta itu. Yusril Ihza Mahendra meragukan kebenaran kisah versi Hatta itu karena opsir Jepang itu, Letnan Kolonel Shegetada Nishijima yang menjumpai Hatta sore hari tanggal 17 Agustus 1945 itu merasa tidak pernah menjadi ‘kurir’ golongan Kristen Indonesia Timur. Jadi Hatta lah yang mengambil inisiatif pencoretan itu, setelah dirinya membicarakan hal itu dengan empat tokoh yang dinilainya mewakili kelompok Islam. Keempat tokoh itu adalah Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Mohammad Hasan, Kasman Singodimedjo dan Wachid Hasyim. Mengenai kisah pencoretan versi Hatta, lihat Hatta, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Tintamas, 1969, sedangkan versi Yusril, lihat Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tatanegara Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal., 68-72.
[19] Lihat Komando Daerah Militer VI Siliwangi Team Pemeriksa, Berita Atjara Interogasi III, 20 Juni 1962, Op.cit., hlm. 3. Holk H. Dengel, Darul Islam...., Op.cit., hlm. 54.
[20] S. Soebardi, Kartosoewirjo and the ..., Op.cit., hlm.116, Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dam Karangan Tersiar, disusun oleh H. Aboe Bakar, Jakarta: Panitia Buku Peringatan alm. K.H.A. Wahid Hasjim, 1957, hlm. 353.
[21] S. Soebardi, Loc.cit.
[22] Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim..., Op.cit., hlm. 353.
[23] Pedoman Perdjoeangan Masjumi, Jakarta: Pimpinan Partai Masjumi Bagian Keuangan 1945, hlm. 60.
[24] Sedjarah Goenoeng Tjoepoe, Djilid I, (Cisayong: 1948), hal. 1, sebagaimana dikutip Holk H. Dengel, Kartosuwiryo dan Darul Islam (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1996).
[25] Pertengahan bulan Juli 1946 adalah hari hari tegang atas nasib Republik Indonesia, dimana Dr. H.J Van Mook memprakarsai Konferensi Malino di sebuah kota kecil Sulawesi Selatan 15 – 25 Juli 1946) dimana dibahas rencana pembentukan negara negara bagian dari suatu Negara Federal. Konferensi ini dihadiri 15 utusan utusan daerah. Lihat 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945 ~ 1949 PT. Tira Pustaka, Jakarta, 1981 hal 103.
[26] S.M. Kartosoewirjo, Haloean Politik Islam, (Malangbong: Penerbit Poestaka Daroel-Islam, 1946).
[27] Selanjutnya kutipan kutipan ini diambil dari buku “Pengantar Pemikiran Proklamator Negara Islam Indonesia Data dan Fakta sejarah Darul Islam …Edisi Revisi Jumadil Ula 1420 H, Darul Falah, Jakarta, lihat Lampiran berjudul “Haloean Islam” halaman 533 – 545.
[28] Menarik untuk dicermati S.2:145 – 148, dimana kata “fastabiqul Khoyrot” mengacu pada perintah “jangan kalah cepat” dalam mencapai “mission” yang telah ditetapkan Allah bagi Muslimin. Sebab jika tidak, Sekalipun Kalian telah berada di jalan yang benar; Maka di jalan yang benar itupun engkau akan tertinggal, jika kalian hanya diam saja. Dengan sesama muslim yang harus dilakukan bukanlah “fastabiqul khoyrot” tapi Ta’awun, lihat ujung ayat S.5:2.
[29] Tentang hal ini lihat Basuki Gunawan, "Political Mobilization in Indonesia: Nationalists Against Communists" dalam Modern Asian Studies, London, Vol. 7/4. Oktober 1973, hal. 707-715.
[30] Djen Anwar, Bandung Lautan Api (Bandung: Dhiwantara, 1963), hal. 97; lihat juga John R.W. Smail, Bandung in the Early Revolution 1945-1956: A Study in the Social History of the Indonesian Revolution (Ithaca: New York, Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Departement of Asian Studies, Cornell University, 1964), hal. 129.
[31] 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945 ~ 1949 opcit., hal 119.
[32] Diparaf tanggal 10 November 1946 dan ditandatangani tanggal 25 Maret 1947, dalam dunia diplomatik, diparaf dengan ditandatanganinya sebuah perjanjian sangat lah berbeda.
[33] Sutomo, Sebuah Himbauan (Jakarta: U.P. Balapan, 1977), hal. 8. Di dalam buku ini disebutkan bahwa yang setuju dengan Perjanjian Linggarjati adalah PKI, PSII, Pesindo dan Lasykar Rakyat. Sedangkan yang kontra adalah BRI, BPRI, PNI, KRIS, Masjumi, Barisan Banteng, dan Lasykar Djawa Barat.
[34] Sedjarah Gunung Tjupu, op.cit., hal. 3.
[35] Ibid., hal. 4, lihat Holk H. Dengel, op.cit., hal. 59.
[36] Sedjarah Gunung Tjupu., op.cit., hal. 6.
[37] Delegasi Indonesia diwakili oleh Perdana Mentri Sutan Syahrir, Mr. Moh Roem, Mr. Susanto T dan dr. A.K. Gani.
[38] Diwakili Prof. Schermerhorn, DR. H.J. Van Mook dan Van Poll.
[39] 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945 ~ 1949 PT. Tira Pustaka, Jakarta, 1981, hal 138.
[40] 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945 ~ 1949 opcit., hal 140.
[41] Ibid. hlm. 338.
[42] Ibid.
[43] Merdeka, 19 Juni 1947; tentang hal ini lihat juga Susunan dan Program Kabinet Republik Indonesia Selama 25 tahun 1945-1970, Jakarta: Naskah Departemen Penerangan, Pradnja Paramita, 1970, hal. 7.
[44] Sekretariat Negara Republik Indonesia, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994.
[45] Tentang Agresi Militer, lihat H.L. Zwitzer, Documenten Betreffende de Eerste Politionele Actie: (20/21 Juli-4 Agustus 1947)'s Gravenhage: Sectie Militaire Geschiedenis van de Landmachtstaf, 1983, sebagaimana dikutip oleh Holk H. Dengel, Kartosuwiryo dan Darul Islam (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1996).
[46] Tentang Perjanjian Renville yang sangat merugikan Indonesia dan memperlihatkan betapa bodohnya pejuang-pejuang diplomasi RI, lihat Ide Anak Gede Agung, Renville, Jakarta: Sinar Harapan, 1983.
[47] Natsir, ‘Politik Melalui Jalur Dakwah, dalam Memoar, hal., 93.
[48] 30 tahun Indonesia Merdeka 1945 ~ 1945, opcit., hal 165.
[49] Ibid.
[50] Periksa hans W. Weigert et al 1957. Op.cit., hlm. 142 tentang Political Core Areas, Capital Cities, Communications. Ahmad Mansur Suryanegara, Pemberontakan...., Op.cit., hlm. 224.
[51] Ahmad Mansur Suryanegara, Pemberontakan ...., Loc.cit.
[52] Sikap tidak kenal kompromi Kartosoewirjo inilah membedakan dirinya dengan tokoh-tokoh Republik lainnya. Misalnya Natsir yang kompromistis terhadap Negara Pasundan. Dalam suatu wawancara Natsir, karena diperintah Bung Karno, mengakui sering ke Negara Pasundan untuk menjalin hubungan akrab dengan negara bentukan Belanda itu. Lihat M. Natsir, ‘Politik Melalui Jalur Dakwah.’ Memoar, Senarai Kiprah Sejarah, Buku Kedua, Jakarta: Grafiti, 1993, hal., 91.
[53] Natsir, ‘Politik Melalui Jalur Dakwah,’ dalam Memoar, hal. 92-93.
[54] Natsir, ‘Politik Melalui Jalur Dakwah, dalam Memoar, hal., 93.
[55] Segera setelah persetujuan Renville, pada tanggal 30 Januari 1948 R. Oni berangkat ke Peuteuynunggal dekat Garut untuk berunding dengan Kartosoewirjo tentang masalah situasi politik dan militer dewasa itu. Keduanya sepakat, bahwa pasukan-pasukan Islam harus tetap berada di Jawa Barat untuk melanjutkan perjuangan bersama-sama dengan rakyat melawan Belanda dan “anggota-anggota Sabilillah dan Hizbullah yang turut mengundurkan diri harus dilucuti senjatanya dengan damai atau dengan paksa”. Sedjarah Gunung Tjupu, Djilid I, (Cisayong: 1948), sebagaimana dikutip Holk H. Dengel, Kartosuwiryo dan Darul Islam (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1996), hal. 40.
[56] Ibid., hal 40
[57] 30 tahun Indonesia Merdeka 1945 ~ 1945, opcit., hal 171.
[58] Van Mook ialahkepala Netherland Indies Civil Administration, yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ia berjuang untuk mengembalikan kedaulatan Belanda atas Indonesia, dimana sesuai perjanjian Kerajaan Inggris dan Belanda “Civil affairs agreement” bahwa kekuasaan di Indonesia akan dikembalikan pada kerajaan Belanda. (Ibid., hal 34.)
[59] Holk H. Dengel, Kartosuwiryo dan Darul Islam (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1996), hal. 44.
[60] Ibid., hal. 45.
[61] Landjoetan Sedjarah Gunung Tjupu, Cisayong: 1948, hal. 1, sebagaimana dikutip Dengel, Ibid.
[62] Ibid., hal. 49.
[63] Sesungguhnya tanggal 14 Agustus 1945, Kartosoewirjo sudah siap memproklamasikan Negara Islam Indonesia yang merdeka di bekas koloni Belanda ini. Namun dengan adanya kompromi antara kaum Nasionalis Islam dengan kaum Nasionalis Sekuler untuk memberlakukan Syariat Islam bagi kaum muslimin, ia memihak proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta dengan bentuk Republik Indonesia. Henri J. Alers, Om een Rode of Groene Merdeka (Endhoven (?), 1956), hh. 73, 240, dst. dalam B.J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), h. 60.
[64] Pinardi, S.M. Kartosuwirjo, Op.cit., hal. 58-59; lihat juga C. van Dijk, Darul Islam..., Op.cit., hal. 78.
[65] Landjutan Sedjarah Gunung Tjupu, Op.cit., hlm. 38. Keterangan mengenai Dewan Fatwa, dalam buku Nieuwenhuijze dan Pinardi, tidak berhubungan dengan struktur Negara Islam setelah sidang Dewan Imamah pada bulan Mei 1948, melainkan berhubungan dengan struktur yang direncanakan setelah proklamasi NII. Bandingkan dengan C.A.O. Nieuwenhijze, Aspects of Islam in Post-Colonial Indonesia, hlm. 171, Pinardi, Sekarmadji…, Op. cit., hlm. 60.
[66] Rajni Kotari, Footsteps into Future; Diagnosis of the Present World and Design for an Alternative, The Free Press, New York, 1974.
[67] Menurut Ibn Khaldun, solidaritas (asabiyah) merupakan "perasaan kelompok" (group feeling) dan "kesadaran kelompok" (group consciousness) yang membentuk cikal‑bakal sebuah negara. Dan, a powerful 'asabiyah achieves predominance over other groups in a dynasty or a state (daulah). Lihat Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, (Diterjemahkan dari Bahasa Arab oleh Franz Rosenthal dan diedit oleh N.J. Dawood), Routledge and Kegan Paul in association with Secker and Warburg, London dan Henley, 1967, hlm. xi.
[68]Hingga tahun 1995, ternyata gerakan Darul Islam masih ada di Indonesia bahkan meluaskan wilayah kegiatan mereka ke daerah‑daerah yang dulunya merupakan basis PKI. Lihat Gatra, 14-10-1995, hlm. 35.
[69]Lihat lampiran dalam buku Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan ..., terutama untuk naskah‑naskah proklamasi Negara Islam Indonesia, Strafrecht, Qanun Azazi (Undang‑Undang Dasar NII) serta Maklumat‑Maklumat yang dikeluarkan oleh Komandemen Tertinggi (KT) NII.
[70]Lihat Salinan Pedoman Dharma Bhakti Jilid I, hlm. 19‑22 sebagaimana dikutip oleh Holk Harald Dengel, Ibid., hlm 114.
[71]Lihat Karl D. Jackson, Ibid., hlm. 340.

[72]Namun kesemua lembaga‑lembaga ini belumlah efektif berjalan karena suasana masih dalam darurat perang sehingga Imam memberlakukan martial law dan semua fungsi berada di tangan Imam. Lihat Ibid.,hlm. 341‑342.
[73] Kabinet pertama yang dibuat pada Konferensi Madjelis Islam Pusat di Cijoho tanggal 1‑5 Mei 1948 menghasilkan kabinet dengan 5 menteri untuk pertama kalinya, yaitu Madjelis Penerangan di bawah pimpinan Kiyai Toha Arsjad, Madjelis Keuangan di bawah pimpinan Sanusi Partawidjaja, Madjelis Kehakiman di bawah pimpinan K.H. Ghozali Tusi, Madjelis Pertahanan di bawah pimpinan S.M. Kartosuwirjo dan Madjelis Dalam Negeri di bawah pimpinan Sanusi Partawidjaja. Lihat Hold H. Dengel, Op.cit, hlm. 74.
[74]Madjlis Keuangan ini dipimpin oleh Oedin Kartasasmita dan setelah meninggal diganti oleh Soelaiman Purnama.
[75]Madjelis Penerangan ini dipimpin oleh Toha Arsjad dan setelah meninggal tahun 1952/1953 tidak ada penggantinya.
[76] Madjelis Pertahanan ini dipimpin oleh Raden Oni dan setelah meninggal dalam pertempuran tahun 1952/1953 tidak ada penggantinya.
[77]Madjelis Kehakiman ini diketuai oleh Ghozali Tusi, setelah tertawan oleh pihak Republik Indonesia, tidak ada penggantinya.
[78]Madjelis Luar negeri ini dipimpin oleh Sanusi Partawidjaja, namun karena kemudian diketahui sedang menyusun suatu rencana untuk meng‑coup d'etat kepemimpinan Kartosuwirjo, maka dihukum mati oleh Kartosuwirjo dan tugas ini diambil alih oleh Kartosuwirjo. Lembaga kementrian luar negeri ini pernah menjadi harapan ketika Van Kleef kabarnya pernah menghubungkan Darul Islam dengan lembaga‑lembaga dana di Eropa dan Amerika serikat.
[79]Jabatan Majelis Dalam negeri dirangkap oleh Sanusi Partawidjaja, mungkin karena besarnya bidang otoritas ini dia kemudian berniat mengkudeta Kartosuwirjo, dan setelah dihukum mati oleh Kartosuwirjo, jabatan ini diambil alih oleh Kartosuwirjo.
[80]Ibid., hlm. 349.
[81]Lihat pasal 2 Kitab Undang‑Undang Negara Islam Indonesia, Tutunan No. III, dalam Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan, bagian lampiran.
[82]Artinya: Negara Islam pada masa perang. Lihat penjelasan no. 6 dari Proklamasi Berdirinya Negara Islam Indonesia tertanggal 12 Syawal 1368 Hijriah/7 Agustus 1949 dalam Lampiran buku K.D. Jackson, Op.cit.
[83]Hold H. Dengel, Ibid., hlm. 222.
[84]Loc.cit.

Tidak ada komentar: