Sabtu, 17 Januari 2009

Politik Islam

PERAN NEGARA DALAM MEMELIHARA AKIDAH UMMAT
(Oleh Abu Fillah Rabbani)

Akidah Islam merupakan perkara paling vital bagi kaum Muslim. Sayangnya, dalam negara yang mendasarkan ideologinya Pancasila seperti di Republik Indonesia justru akidah Islam ini diabaikan walau umat Islam mayoritas, terbukti banyaknya aliran atau faham yang menyimpang dari akidah Islam masih bebas dan keberadaannya dilindungi. Negara baru akan turut campur kalau dirasa hal tersebut meresahkan warga dan dapat merongrong kedaulatan negara.

Berbeda dengan itu, Islam telah menggariskan pemimpin sebagai penggembala yang mengurusi rakyatnya. “Dan imam yang memimpin manusia adalah laksana seorang penggembala, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya”, sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Lebih dari itu, kepala negara (khalifah/imam) berfungsi sebagai benteng bagi rakyatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan: ”Sesungguhnya imam/ khalifah itu adalah benteng. (Umat) berperang di belakangnya, dan dilindungi olehnya. Apabila ia memerintahkan takwa kepada Allah azza wa jalla dan berlaku adil maka baginya pahala, sebaliknya apabila ia memerintahkan selainnya maka (celaka) atasnya” (HR. Muslim).

Salah satu fungsi Negara dalam Islam sebagai benteng adalah menjaga dan memelihara akidah umat dari berbagai penyimpangan dan kesyirikan, serta mengokohkannya. Karena itu setiap faham atau aliran yang menyimpang dari akidah Islam, Negara wajib membasmi dan menindak tegas terhadap orang yang menyebarkannya. Banyak peran yang dapat dilakukan kepala Negara (imam) dalam rangka menjaga akidah umat Islam, diantaranya ;

Pertama, pendidikan. Sistem pendidikan didasarkan kepada Islam. Pela-aran keislaman terkait akidah, syariah (termasuk akhlak), dan sejarah Islam diberikan sejak dini, bukan hanya di rumah melainkan juga di sekolah. Metode pendidikannya pun dilandasi oleh dasar keimanan dan disampaikan dengan metode pemikiran (fikriyah) sehingga para pembelajar benar-benar paham. Arah pendidikan ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam dan menguasai sain dan teknologi.

Untuk mewujudkan kepribadian Islam ditanamkan akidah Islam, cara berpikir Islam ('aqliyah islamiyah) dan sikap jiwa Islam (nafsiyah islamiyah) yang akan melahirkan perilaku islami. Sementara, untuk menguasai sain dan teknologi diberikan sesuai kebutuhan dengan tetap didasarkan pada akidah Islam. Jadi, perlu perombakan sistem pendidikan menjadi sistem pendi-dikan Islam.

Kedua, penerapan aturan-aturan (undang-undang) Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits Shohih. Melalui penerapan peraturan Islam dalam perundang-undangan sadar atau tidak sadar berarti sedang terjadi proses penyatuan akidah dengan syariah.

Ketaatan kepada syari’at Islam akan mengokohkan akidah Islam, dan penanaman akidah Islam akan semakin membuat orang mentaati syari’at Islam. Namun, bila perekonomian didasarkan pada kapitalisme dengan sistem ribawinya, kebudayaan dilandaskan pada liberalisme, beragama bersifat sinkretisme (campuran / tidak totalitas), dan lain-lain berarti sedang terjadi penggerusan akidah umat. Sejarah mencatat sepanjang masa kekhalifahan Islam diterapkan, akidah umat pun tetap terpelihara.

Ketiga, tinggalkan paham-paham yang merusak akidah ummat. Misalnya, hak asasi manusia (HAM). Sebab, HAM yang berasal dari Barat itu berarti bebas untuk apapun, termasuk menghina agama, memutarbalikkan agama, menghancurkan akidah, memberikan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mem-biarkan umat Islam untuk berpindah agama atau tidak beragama sama sekali, dll.

Tengoklah, para pembela aliran Lia Eden, Moshadeq, Ahmadiyah, semuanya atas nama HAM. Apalagi, Amerika Serikat (AS) dengan menggunakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seringkali menggunakan isu kebebasan beragama dalam HAM untuk menekan negeri Muslim agar tidak menjaga akidah umat Islam.

Keempat, pembinaan umat. Pembinaan ini dilakukan dengan pengaturan televisi, misalnya. Hal-hal yang merusak akidah harus dilarang ditayangkan. Juga, negara mendukung setiap upaya pembinaan umat. Gerakan dakwah Islam harus didukung dan dilindungi. Sikap konsisten terhadap akidah dan syariah harus dibela, bukan malah dicurigai dan dituduh dengan teroris atau Islam fundamentalis.

Kedudukan mereka (Gerakan dakwah) yang membina umat dengan Islam dipandang sebagai pengamalan ayat: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran:104).

Kelima, melarang murtad serta menetapkan sanksi hukuman mati bagi pelakunya jika tidak mau bertobat kembali kepangkuan Islam. Orang dikatakan murtad bila ia keluar dari akidah Islam secara qath'iy, misalnya keluar dari rukun iman, rukun Islam, tidak mengimani al-Quran, inkar sunnah, mengaku sebagai Nabi/Rasul setelah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, dll. “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam keka-firan, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqa-rah:217).

Orang yang murtad harus diminta bertaubat dan kembali kepada ajaran Islam. Bila tidak, sanksinya adalah hukuman mati. Kata Nabi, “man baddala dinahu faqtuluhu”, barangsiapa meng-ganti agamanya (murtad) maka bunuh-lah. Dan orang yang mengaku Nabi termasuk murtad.

Terhadap kasus seperti ini penguasa Islam bersikap tegas. Sebagai contoh, pada masa kekhalifahan Abu Bakar para sahabat memerangi Musailamah al-Kadzdzab, nabi-nabi palsu, kaum murtad, dan para penolak zakat. Panglima perang yang ditunjuk oleh khalifah Abu Bakar untuk memerangi Musailamah al-Kadzab adalah Khalid bin Walid [lihat al-Hafidz al-Suyuthiy, Taariikh al-Khulafaa', hal. 55-59].

Keenam, mencegah adanya upaya pemurtadan, termasuk kristenisasi atau westernisasi dalam keyakinan. Jangan sampai dengan alasan membela minoritas, akidah rakyat mayoritas tergadaikan.

Sekalipun demikian, Islam tidak memaksa orang untuk masuk Islam sesuai firman Allah, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui“ (QS al-Baqarah: 256).

Melalui hukum syariat seperti ini kaum muslim terjamin akidah dan ajaran agamanya. Demikian pula orang non-muslim bebas untuk menjalankan agamanya tanpa ada paksaan dari siapapun.

Ketujuh, mewaspadai pihak asing. Asing ingin menguasai negeri-negeri Muslim. Salah satu caranya adalah menjauhkan umat Islam dari Islam melalui dimasukkannya ide-ide yang justru menjungkirbalikkan akidah dan syariat Islam.

Pengamat A.C Manullang menyatakan bahwa kelahiran al-Qiyadah yang pemimpinnya mengaku Nabi/Rasul baru-baru ini tidak lepas dari aksi intelijen Israel, Mossad. George Tenet, mantan Direktur CIA, memberikan pengakuan dalam buku The CIA at War bahwa memang ada upaya untuk memunculkan 'tokoh-tokoh' Islam yang justru menikam Islam.

Penguasa Islam harus memandang negara asing imperialis dengan waspada. Karenanya, dalam mensikapi negara asing, Islam menetapkan istilah kafir harbi hukman dan kafir harbi fi'lan yang keduanya disikapi dengan waspada. (Wallahu A'lam).

Tidak ada komentar: