Senin, 12 Januari 2009

Intelijen Dalam al-Qur'an (1)

GERAKAN ISLAM, DI DALAM ATAU DI LUAR SISTEM?
(Bagian Pertama)

Nabi Yusuf as dan Musa as hidup di wilayah yang sama, yakni wilayah kerajaan Mesir, namun Yusuf as hidup lebih dahulu ketimbang Musa as dengan jarak waktu sekitar 4 abad. Keduanya berhadapan dengan kerajaan yang sama-sama jahiliahnya. Hanya saja, Yusuf as adalah orang Islam pertama di tanah Mesir, sehingga hanya dia sendirilah pemeluk agama tauhid di wilayah itu , sedangkan Musa as hidup di kala umat Islam kaum keturunan Isroil (Ya’kub as) di wilayah itu jumlahnya telah sedemikian besar.

Sebagaimana diketahui, pertama kali sejak kedatangannya, Yusuf as mendapati orang-orang Mesir sebagai kaum penyembah berhala, sekalipun pada dasarnya mereka juga mengakui adanya Alloh . Yusuf bahkan sempat mendakwahi kedua rekannya di penjara untuk meninggalkan penyembahan berhala tersebut, di penjara itu pula Yusuf menjelaskan bahwa sebenarnya dia sama sekali tidak terikat (baro-ah) dengan sistem kehidupan yang dianut bangsa Mesir . Selepas dari penjara, Yusuf diangkat menjadi salah seorang pembesar (menteri raja) di negeri Mesir. Pengangkatannya ini semata-mata adalah karena kepandaiannya menta’birkan mimpi dan karena keluhuran budi pekertinya sebagaimana kesaksian wanita-wanita kelas penguasa yang dulu sempat menggodanya. Tidak jelas, apakah raja mengetahui Yusuf hanya sebatas kepandaian dan keluhuran budi pekertinya itu, ataukah juga mengetahui bahwa Yusuf adalah pembawa misi ajaran baru. Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa sang raja (Royyan bin Al Walid) akhirnya masuk Islam , wallohu ‘alam.

Namun, karunia kemudahan ini rupanya tidak membawa dampak yang berarti bagi dakwahnya. Penduduk Mesir tampaknya lebih menyukai dan menghormatinya sebagai seorang pembesar kerajaan yang jujur, adil, dan bijaksana, ketimbang mentaatinya sebagai nabi dan rosul Alloh. Karena itu, sepanjang riwayat kedudukannya ini, Yusuf tidak kuasa mengubah hukum kerajaan dengan hukum Alloh (syari’at Nabi Ya’kub as), sebagaimana terlihat pada ayat QS. 12:76 yang menyatakan ketidakpatutan Yusuf menghukumi saudaranya (Bunyamin) dengan undang-undang raja. Tampaknya, sepanjang kehidupannya di negeri Mesir, Yusuf melakukan dakwahnya secara rahasia; atau mungkin juga dia melakukan dakwahnya secara terang-terangan dengan asumsi sang raja memang betul masuk Islam, sehingga dia mendapatkan “perlindungan istimewa” dari sang raja. Barangkali juga karena jumlah pengikutnya yang sangat sedikit, maka tidak muncul perlawanan dari orang-orang musyrik yang memiliki kedudukan dan takut kedudukannya itu terancam. Kedudukan Yusuf sebagai menteri kerajaan jahiliah ini dengan demikian tidak membawa dampak merugikan bagi dakwahnya, atau dengan kata-kata lain, keterlibatannya di singgasana kerajaan Mesir tidak merupakan fitnah bagi dirinya sebagai salah seorang agen Darul Islam di bawah pimpinan Ya’kub as .

Sepeninggal Yusuf dan Ya’kub, bangsa Mesir tetap berada dalam keragu-raguan atas apa yang dibawa oleh kedua nabi tersebut; di mana setelah itu, berlalulah masa yang panjang atas bumi Mesir tanpa kehadiran seorang nabi. Kurang lebih 400 tahun kemudian, menurut para ahli sejarah, jumlah umat Islam di bumi Mesir yang kesemuanya itu adalah keturunan Ya’kub as (bani Isroil) telah mencapai angka 600-an ribu orang. Kala itu Mesir diperintah oleh Fir’aun. Sebagaimana yang dapat diperkirakan, ketika jumlah kaum muslimin sedemikian besar, muncullah kekhawatiran dalam diri penguasa bila kaum keturunan Isroil ini akan mengambil alih kekuasaan. Karena itulah bani Isroil akhirnya ditindas dan dijadikan budak oleh bangsa Mesir di bawah kendali Fir’aun. Maka, pada kondisi umat Islam tertindas (di bumi Mesir) inilah Alloh mengutus Musa as untuk membebaskannya.
Tampaknya, perbedaan jumlah umat Islam yang sedemikian menyolok inilah penyebab utama perbedaan perlakuan kalangan elit penguasa terhadap umat Islam di kala itu (bani Isroil). Di masa Yusuf as, umat Islam (keluarga Ya’kub as) mendapatkan kedudukan terhormat, sementara di masa Musa as, umat Islam ditindas dan diperbudak. Kepada bangsa yang tertindas inilah, dengan melalui lisan Musa as, Alloh swt menjanjikan kekuasaan di muka bumi. Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk bani Isroil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka. (QS. 7:137)

Dengan qudrotulloh, Musa yang semula dibesarkan di lingkungan kerajaan, setelah dewasa dan menerima wahyu, akhirnya menjadi pemimpin tertinggi front pembebasan bani Isroil dari belenggu penjajahan Fir’aun. Demikianlah, baik Yusuf as ataupun Musa as, keduanya berhadapan dengan kerajaan yang sama-sama jahiliahnya (Darul Kufr). Namun, Darul Kufr yang dihadapi Yusuf as bersikap damai terhadap Darul Islam, sementara Darul Harb yang dihadapi Musa as bersikap anti terhadap Darul Islam. Perbedaan sikap penguasa terhadap mereka inilah yang kemudian menyebabkan mereka menempuh jalan yang berbeda. Yang satu menjadi agen Darul Islam, menempuh upaya “parlementer” dengan berusaha mengarahkan kerajaan yang ditempatinya agar tunduk kepada Darul Islam, sementara yang satu lagi menempuh jalan “hijrah”, berdiri di luar tubuh pemerintahan yang ada, karena pada kasus yang kedua ini upaya “parlementer” tidak memungkinkan.

Kisah Yusuf as dan Musa as menjadi suatu presedens/sunnah yang berharga bagi menyatukan visi umat Islam bangsa Indonesia kini dan kelak. Kapan jalan “Yusuf”/parlementer itu ditempuh, tentunya adalah selama negara RI sebagai Darul Kufr tidak bersikap anti kepada Darul Islam, atau dengan kata-kata lain selama sistem perpolitikan RI memberikan peluang hidup kepada partai politik yang tujuan/cita-citanya (sebagaimana termuat dalam anggaran dasarnya) adalah mengubah RI menjadi republik yang berdasarkan Islam . Hal seperti ini mungkin bisa berlaku bagi umat Islam bangsa Indonesia sebelum tahun 1959. Tetapi setelah dikeluarkannya peraturan yang menindas umat Islam di jalur “Yusuf”, berupa Ketetapan Presiden No. 7/1959 (31 Desember 1959) , yang meniadakan kemungkinan bagi partai politik yang mencita-citakan Darul Islam untuk hidup dan tumbuh di dalam tubuh negara RI .

Di sini nampak sekali perbedaan antara kapasitas seseorang sebagai seorang muslim dan kapasitasnya sebagai kepala negara Darul Kufr, beberapa tahun sebelum dikeluarkannya peraturan itu, Soekarno pernah memberikan kuliah umum bertemakan Negara Nasional dan Cita-cita Islam di Universitas Indonesia pada tanggal 7 Mei 1953, di mana antara lain dia mengatakan: “…..jikalau ditanya adakah Islam bercita-cita terutama sekali pula di atas lapangan ketatanegaraan, jawabnya ialah dengan tegas: Ya. Islam mempunyai cita-cita ketatanegaraan, walaupun Islam bukan menghendaki theokrasi, ….” “….Negara ini, Negara sekarang ini, adalah Negara Nasional. Sebab tegas pula di dalam preambule (Mukaddimah) daripada konstitusi itu, baik di dalam konstitusi UUDS Negara Kesatuan sekarang ini tidak diubah akan sifat kenasionalan daripada Negara kita ini. Tetapi dalam pada aku berkata, Negara Republik Indonesia sekarang ini adalah Negara Nasional, aku tidak mengurangi sedikitpun haknya tiap-tiap warga negara untuk mempunyai faham sendiri untuk mempropagandakan faham-fahamnya itu sendiri. Orang Islam, kataku di Amuntai mempunyai hak penuh untuk mempropagandakan cita-citanya sebagaimana pun organisasi Komunis mempunyai hak penuh untuk mempropagandakan cita-citanya.”
Namun kemudian “hak penuh ummat Islam” itu dihapuskan Soekarno dalam kapasitasnya sebagai presiden RI, yang berkewajiban melaksanakan dan mengawal UUD 45 yang memang di awal sejarahnya pun, punya ‘prestasi’ mencoret syari’at Islam. Akibat Ketetapan Presiden tahun 1959 itu, maka partai politik Islam yang mencantumkan dalam anggaran dasarnya cita-cita untuk menjadikan RI sebagai republik yang berdasarkan Islam dapat segera dibubarkan oleh sang presiden. Karena itu, selama ketetapan tersebut tidak dicabut, mustahil akan ada partai politik Islam semacam itu di tubuh RI, terkecuali jika dan hanya jika yang menjadi Presiden RI itu adalah orang yang memiliki komitmen kuat terhadap cita-cita RI-Islam, sehingga ia tidak akan menggunakan tapres tersebut untuk membubarkan partai yang bersangkutan. Barangkali hal semacam ini pulalah yang terjadi di masa Yusuf as; sang raja (Royyan bin Al Walid) telah masuk Islam, sehingga Yusuf as yang berniat mengislamisasikan kerajaan Mesir mendapatkan “perlindungan istimewa” dari sang raja. Namun, karena tidak ada atau hanya sedikit rakyat Mesir yang mendukungnya, maka sampai akhir hayatnya, Yusuf as gagal mengislamisasikan kerajaan tersebut.

“Cara Yusuf” ini dengan demikian dapat saja ditempuh oleh partai-partai politik Islam saat ini dengan target utama menempatkan orang kepercayaan partai di kursi kepresidenan RI. Setelah target ini tercapai, langkah berikutnya adalah mendeklarasikan partai tersebut sebagai partai yang mencita-citakan Darul Islam di Indonesia. Namun, masalahnya adalah apa yang bisa menjamin bahwa orang yang diamanati membawa misi rahasia ke kursi kepresidenan itu tidak akan mungkir dari tugasnya (untuk islamisasi RI), mengingat tidak adanya bukti tertulis (berupa anggaran dasar partai) yang dapat mengikat orang tersebut untuk tetap konsisten dengan misi partainya setelah ia duduk jadi presiden? Dan satu hal lagi, orang yang akan diamanati untuk duduk di kursi kepresidenan itu bukanlah nabi yang dima’shum, bukan seperti Yusuf as yang seorang nabi, sehingga tanpa adanya bukti tertulis, jalan ini menjadi sangat riskan untuk dikhianati. Dari sejarah reformasi yang baru berusia balita ini kiranya telah dapat dilihat betapa sikap inkonsisten telah menjadi “trade mark” sikap para politisi Islam yang duduk di lembaga perwakilan rakyat republik ini, mulai dari sikap setengah hati mereka untuk memperjuangkan dikembalikannya Piagam Jakarta pada SUT MPR tahun 2000, hingga peng-halal-an Megawati menjadi presiden oleh partai-partai politik Islam yang semula mengharamkannya. Karena itu, kepada para politisi yang masih konsisten dengan cita-cita RI-Islam-nya hendaknya jangan sungkan-sungkan untuk mempertimbangkan alternatif perjuangan Darul Islam yang lain, yang telah ditempuh dengan “cara Musa”, yakni Negara Islam Berjuang, Negara Islam Indonesia. NII lahir sebagai suatu keharusan sejarah, mengingat situasi perpolitikan di tanah air saat itu. Penggagasnya sendiri, S. M. Kartosoewirjo, adalah seorang yang semula hendak menempuh “cara Yusuf as” dalam mewujudkan negara Islam, yakni dengan melibatkan diri dalam partai Masyumi, di bawah bendera Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada salah satu tulisannya semasa di Masyumi, Haloean Politik Islam , di mana antara lain ia menulis (pada point V. Ideologi Islam): Sari daripada soeara djiwa Oemmat Islam jang seroepa itoe mengalir kesatoe djoeroesan jang tetap dan tentoe, ialah: tjita-tjita Islam, atau ideologi Islam.

Dalam hal ketatanegaraan dan didalam masjarakat soeara djiwa Oemmat Islam ini bolehlah kami terdjamahkan, sebagai berikoet:

(1). Hendaklah Republik Indonesia menjadi Republik jang berdasar Islam; Menurutnya, Revolusi Nasional yang diawali dengan proklamasi RI itu mesti dilanjutkan dengan Revolusi Sosial; di mana dalam revolusi yang akhir ini, umat Islam mesti bersaing melawan kaum nasionalis dan kaum komunis untuk mengisi dan mewarnai negara yang baru berdiri itu. Hal seperti ini memungkinkan mengingat sistem perpolitikan RI saat itu yang masih dalam masa transisi, sehingga ideologi apa pun dapat mewarnainya. Karena kondisinya yang sedemikian itulah, dapat kiranya RI dianggap dan dipersamakan sebagai Darul Kufr (negara Pancasila) yang bersikap damai kepada Darul Islam, sehingga partai yang memiliki cita-cita radikal semacam Masyumi itu pun dapat tumbuh berkembang. Tentunya, “bersikap damai” yang penulis maksudkan di sini bukanlah damai dalam arti yang sesungguhnya, mengingat ulah mereka sebelumnya terhadap umat Islam, antara lain dengan pengkhianatannya terhadap kesepakatan Piagam Jakarta. Jadi, “sikap damai” yang demikian itu pada dasarnya adalah karena kalangan nasionalis sendiri belum memiliki cukup kekuatan untuk menumpas rival-rival politiknya itu (baik komunis ataupun Islam) dari percaturan politik nasional.

Ternyata situasi tidak seperti yang diperkirakan. Bahtera Republik karam, akibat kebodohan pemerintahnya dalam perjanjian-perjanjiannya dengan Belanda. Dalam perjanjian Renville, 17 Januari 1948, RI mengakui bahwa wilayahnya itu hanya meliputi 8 karesidenan di sekitar Yogya menurut batas demarkasi Van Mook. Sementara itu, umat Islam di Jawa Barat yang ditinggalkan pemerintah Republik mesti berhadapan dengan Belanda. Pada dasarnya, umat Islam secara politik masih memandang RI sebagai negaranya. Karena itu, mereka menyeru kepada pemerintah RI di Yogya untuk membatalkan Renville (konferensi Cisayong 10-11 Februari 1948) mengingat masih ada umat Islam di Jawa Barat yang bersedia mempertahankan wilayah ini (atas nama RI dan demi eksistensi RI) dari pendudukan Belanda. Seruan ini menunjukkan bahwa umat Islam di Jawa Barat saat itu masih bersedia diklaim sebagai rakyat Republik Indonesia. Umat Islam memandang serangan Belanda terhadap RI itu sebagai suatu fitnah , sesuatu yang menjauhkan umat Islam bangsa Indonesia dari jalan politik yang telah dipilihnya, yaitu RI cq Masyumi . Sayangnya, seruan ini tidak digubris oleh pemerintah RI. Padahal, perjuangan melawan Belanda, yang membuat “kekacauan politik” dengan membuat negara (boneka) Pasundan di Jawa Barat, mesti dilakukan dengan suatu definisi politik pula; sehingga perjuangan itu jelas definisinya, dilakukan untuk siapa dan atas nama siapa. Apa lacur! Pemerintah RI tidak bersedia mengakomodir niat baik umat Islam ini. Maka, umat Islam bangsa Indonesia membuat definisi politik baru untuk perjuangan sucinya itu, yaitu Negara Islam Indonesia. Nama NII mulai disosialisasikan Imam S. M. Kartosoewirjo bersamaan dengan dikeluarkannya Maklumat Imam NII No. 1 (25 Agustus 1948).

Sejauh itu, NII masih menganggap RI sebagai sahabat perjuangannya melawan Belanda. Sehingga setelah RI-Yogya hancur oleh agresi militer Belanda yang kedua, 18/19 Desember 1948, di mana pemerintah RI dikabarkan mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah, Imam NII melalui maklumatnya (No. 6) menyeru kepada kaum Republikeinen-TNI untuk melanjutkan perjuangan proklamasi 17 Agustus 1945 melalui wadah NII. Namun, entah syetan apa yang merasuki TNI sehingga TII yang telah berjuang secara gentle melawan Belanda itu malah dimusuhinya. Meletuslah perang segitiga pertama antara TII, Belanda, dan TNI pada tanggal 25 Januari 1949 di Antralina. Inilah kiranya titik awal permusuhan antara TII dan TNI yang berjalan terus hingga tahun 1962.

Bila umat Islam berusaha menjauhi fitnah dengan melaksanakan hijrah, maka kaum Republikeinen malah menjerumuskan dirinya ke dalam fitnah, sebagaimana diperlihatkan dalam “pertunjukan” Roem-Royen yang diputar pada tanggal 7 Mei 1949 itu, suatu perundingan antara pihak yang menawan (pemerintah Belanda) dan orang-orang yang ditawannya (pemerintah RI, ditangkap sejak Agresi Militer II). Dapatlah diprediksikan apa kiranya yang dirundingkan Belanda yang anti Islam dan sempat kalah melawan tentara Islam di Gunung Tjupu (17 Februari 1948) itu dengan orang-orang yang ditawannya . Disebutkan kemudian pada perjanjian Stikker-Hatta (pertengahan 1949) bahwa: RI dengan karena kesanggupannya sendiri, minta bantuan alat senjata kepada Belanda, untuk menghancurkan pihak NII.

Demikianlah kiranya garis perjalanan jihad S. M. Kartosoewirjo. Dia (S. M. Kartosoewirjo) bersikap sebagai “Yusuf” terhadap pemerintah RI (pra Renville), dan bersikap sebagai “Musa” terhadap pemerintah “Fir’aun” Belanda (pasca Renville). Dalam keadaan vacuum of power, nusantara Indonesia ini diproklamasikannya sebagai wilayah Darul Islam (NII), tempat diberlakukannya hukum Alloh, rumah bagi sekalian muslimin di tanah air. RI-musyrik menentang proklamasi ini dan berusaha menjahiliahkan (mem-Pancasila-kan) kembali umat Islam warga NII; maka Kartosoewirjo pun melanjutkan perannya sebagai “Musa” yang memimpin pembebasan “Baitul Maqdis” (Baitulloh, daerah tempat diberlakukannya hukum Alloh) dari tangan-tangan jahiliah penguasanya .

Barangkali kini sebagian orang bertanya, mengapa orang-orang NII tidak mencoba kembali menempuh jalan “Yusuf” sebagaimana founding father NII S. M. Kartosoewirjo pernah menempuhnya pada masa perang kemerdekaan? Perlu digarisbawahi bahwa seburuk-buruknya kondisi NII saat ini, keberadaannya sudah merupakan suatu kenyataan (realiteit) negara yang berlandaskan kepada ajaran Islam; ada pemerintahnya, ada rakyat yang mendukungnya, ada hukumnya, hanya saja wilayahnya lama dikuasai musuh . Sementara itu, sebaik-baiknya kondisi partai Islam di tubuh RI, republik (RI) yang berdasarkan Islam belumlah menjadi suatu kenyataan, ia masih berupa cita-cita (ideologi), atau bahkan mungkin hanya angan-angan belaka, mengingat tidak ada satu pun partai politik Islam di tubuh RI yang “terdengar” berniat mengubah RI menjadi republik yang berdasarkan Islam. Karena itu, sebodoh-bodohnya rakyat NII, ia tidak akan mungkin menukar kenyataan (NII) dengan suatu angan-angan (RI Islam), sepahit apa pun kenyataan itu. Sekarang tinggal kaum muslimin yang berwala di tubuh RI, apakah akan tetap hidup dengan cita-cita dan angan-angan kosong itu ataukah berjuang “mempercantik” realita NII yang kini dalam keadaan terjajah. Dalam Haloean Politik Islam bagian II. Tjita-tjita dan Kenjataan (Ideologi dan Realiteit), S. M. Kartosoewirjo sempat menyatakan: Poen sebaliknja, kita haroes poela bertjermin kepada pelbagai peristiwa, jang orang boleh demikian jakin kepada sesoeatoe ideologi, sehingga loepa kepada realiteit “tergila-gila kepada ideologi sendiri”, mabok kepada kebenaran sendiri, sehingga sering loepa – bahkan kadang-kadang tidak barang sedikit menaroeh perhatian atau penghargaan – kepada ideologi jang lainnja.

Anggaplah di tubuh RI itu memang ada orang yang betul-betul berniat menjadi “Yusuf”, sehingga harus dikatakan bahwa kini di wilayah yang sama (Indonesia), “Yusuf” dan “Musa” hadir dalam waktu yang bersamaan. Penulis meyakini bahwa sekiranya Yusuf as dan Musa as dulu (di masa bani Isroil) dihadirkan Alloh dalam waktu yang bersamaan, maka Yusuf as akan beriman kepada Musa as (QS. 3:81); ia akan berperan sebagai agen Musa as di tubuh pemerintahan Fir’aun, dan bertindak sebagai obstacle (penghambat) bagi gerakan pemusnahan yang dilancarkan Fir’aun terhadap Musa as; sebagaimana seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun: Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir'aun yang menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena ia menyatakan: ‘Tuhanku ialah Alloh’ padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu". Sesungguhnya Alloh tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (QS. 40:28). Karena itu, bagi rakyat NII, upaya Natsir (saat menjadi Perdana Menteri RI) memerangi TII menjadi tanda tanya besar; betulkah dia bercita-cita menjadikan RI sebagai republik yang berdasarkan Islam? Mengapa orang yang bercita-cita menjadikan RI sebagai republik yang berdasarkan Islam kok malah menghancurkan negara yang telah nyata-nyata berdiri di atas ajaran Islam? Sekiranya NII itu tidak ada, umat Islam bangsa Indonesia memang tidak punya pilihan lain selain mengupayakan negara RI menjadi republik Islam. Tetapi karena NII itu ada, maka apakah kita akan menolak negara Islam realita (NII) dan memilih negara Islam angan-angan (RI-Islam)? Penulis bukan hendak mengungkit-ungkit kesalahan di masa lalu, tetapi hendaknya apa yang telah terjadi itu dapat menjadi ibroh, jangan sampai kesalahan itu terulang lagi di masa sekarang; terutama karena mengingat pemerintah NII saat ini tengah mempersiapkan Idlharut Tandzim (Pendlohiran pemerintahan), yang tentunya sangat membutuhkan dukungan dari segenap lapisan bangsa Islam di tanah air ini.

Permasalahan ini hendaknya menjadi catatan tersendiri bagi kaum muslimin yang berwala kepada RI. Perlu dicatat bahwa pada masa Rosululloh saw pun ada kasus serupa. Ketika Rosululloh saw dan para sahabat hijrah ke Yatsrib, ada beberapa orang pemuda Islam yang merasa takut untuk pergi berhijrah, sehingga mereka tetap tinggal di Makkah. Akibatnya para pemuda ini ditangkap oleh militer Makkah dan dipenjarakan. Pada saat terjadi peperangan (di Badar) antara Makkah dan Madinah, mereka (para pemuda tadi) dibebaskan dan dipaksa untuk menjadi tentara Makkah. Akhirnya, mereka pun tidak punya pilihan lain kecuali turut bersama pasukan musyrik menggempur pasukan Islam. Diketahui, para pemuda ini akhirnya tewas dalam peperangan, terbunuh oleh tentara Islam (Madinah). Setelah berita ini sampai ke tangan Rosululloh saw, maka Alloh swt menurunkan ayat berikut ini: Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah dibumi itu”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali (QS. 4:97)

Sekali lagi, penulis ingin menegaskan bahwa orang yang menjadi “Yusuf” di zaman “Musa” sudah semestinya memerankan diri sebagai obstacle (penghambat) bagi gerakan pemusnahan yang dilakukan pemerintahan musyrik (RI) terhadap pemerintahan Islam (NII), dan bukannya ikut berpartisipasi menghancurkan “gerakan Musa” dengan dalih keamanan dan ketertiban. Toh Imam awal NII, S. M. Kartosoewirjo, pun menunjukkan niat baik dengan menyeru kepada pemerintah RI agar mengubah negaranya menjadi republik yang berdasarkan Islam , suatu seruan yang menunjukkan bahwa pada dasarnya NII ingin hidup berdampingan secara damai dengan RI-Islam.
Sebenarnya, baik Yusuf as ataupun Musa as, keduanya menempuh jalan hijrah. Sebagaimana diketahui, hijrah itu dilakukan semata-mata karena adanya fitnah dalam agama . Fitnah yang dialami Yusuf as berbeda dengan fitnah yang dialami Musa as. Yusuf as berhadapan dengan Darul Harb yang bersikap damai terhadap Darul Islam, sementara Musa as (dan pengikutnya) berhadapan dengan Darul Harb yang bersikap anti terhadap Darul Islam. Sehingga hijrah yang dilakukan Yusuf as sebatas hijrah dalam hal cita-cita (ideologi), sementara ia sendiri tetap bernaung di bawah pemerintahan jahiliah yang ada dengan suatu tekad untuk mengubahnya menjadi pemerintahan Islam. Sementara itu, hijrah yang dilakukan Musa as, di samping hijrah dalam hal cita-cita (ideologi), ia juga hijrah dalam kenyataan (realiteit), yakni meninggalkan pemerintahan yang berlandaskan kepada ideologi berhala itu. Barangkali inilah kiranya yang dimaksud dengan pernyataan bahwa hijrah itu bukan co dan bukan pula non-co . Sikap hijrah adalah sikap cerdas yang memerlukan keteguhan hati, keluwesan sikap, dan insting intelijen yang tinggi. Ia tidak harus selalu bermakna putus hubungan, tetapi lebih ditekankan pada hal berikut: kepada siapa kita setia dan untuk kepentingan siapa kita berbuat, ini lebih penting dari sekedar menyingkir belaka .

Baik Yusuf as ataupun Musa as, keduanya sama tujuannya, menegakkan kekholifahan Alloh di muka bumi, hanya saja yang satu tampak seolah-olah berpihak pada pemerintahan musyrik, sementara yang satu lagi secara terang-terangan menyatakan keberseberangannya. Penulis hanya meyakini bahwa orang yang mengawali jihadnya dengan “cara Yusuf”, bila ia tetap konsisten, maka mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, ia mesti menjadi “Musa”. Yang jelas, sikap penguasa terhadap “Yusuf” dengan sedikit pengikut akan berbeda dengan sikapnya terhadap “Yusuf” setelah memiliki banyak pengikut. Cobalah kita perhatikan bagaimana Soekarno telah berubah menjadi “Fir’aun” di kala melihat Masyumi mempunyai banyak pengikut. Tampaknya pepatah ini tetap berlaku untuk seorang “Yusuf”: “Tiada bayi yang lahir tanpa curahan darah, tiada Darul Islam ‘kan lahir tanpa darah syuhada”. ( Bersambung )

Tidak ada komentar: