Rabu, 31 Desember 2008

Syari'at Islam Sebuah Solusi

Lintas Wilayah Hukum Islam
Kecil atau besar, yang penting ada kesepakatan

Penerapan syariat Islam selain merupakan keharusan agama sebagaimana yang telah dinyatakan secara jelas dan tegas oleh al-Qur'an, dalam kehidupan bernegara juga mempunyai landasan hukum. Piagam Jakarta telah memuat tujuh kata yang kemudian dihapus untuk meredam kegalauan masyarakat minoritas non-muslim dari belahan timur Indonesia. Meskipun demikian, dalam diktum yang lain, secara tegas dinyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Selama 52 tahun Indonesia diperintah oleh para penguasa sekuler. Mereka berusaha untuk menghapus dan menghilangkan sama sekali aspirasi ummat Islam, termasuk menghilangkan jejak para pendahulunya. Pertama-tama mereka mendesak agar tujuh kata dalam piagam Jakarta dihapus dengan iming-iming bahwa nanti suatu saat bisa dikembalikan lagi pada posisinya. Karenanya kemudian mereka meneken bahwa Piagam Jakarta menjiwai Pembukaan dan seluruh pasal-pasal UUD 1945.

Setelah sukses, mereka mencoba untuk menghapusnya sama sekali. Pertama, melalui pelajaran sejarah. Di dalam buku-buku yang diterbitkan secara nasional, utamanya buku-buku pelajaran sekolah, Piagam Jakarta disembunyikan, nyaris tak terlihat. Kedua, mensakralkan Pancasila yang steril dari penjiwaan Piagam Jakarta. Ketiga, mengancam siapa saja yang mencoba-coba menghidup-hidupkan kembali Piagam Jakarta. Bahkan untuk sekadar mengkajinya saja harus berurusan dengan pihak penguasa.

Ketika angin reformasi berhembus, berbagai tuntutan bermunculan ke permukaan. Termasuk di antaranya untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Bagi generasi hasil didikan sejarah yang telah diselewengkan, tentu merasakan bahwa tuntutan itu mengada-ada. Bahkan mereka menuduhnya sebagai tuntutan yang tidak berdasar. Malah inkonstitusional.

Demikian juga bagi kalangan non-Muslim yang merasa telah berhasil mengubur Piagam Jakarta. Mereka terusik setelah ada tuntutan sebagian kaum muslimin untuk mengembalikan Piagam Jakarta. Bahkan mungkin saja mereka akan melakukan hal yang sama seperti pada tahun 1945, yaitu memberikan ancaman kepada parlemen yang mencoba-coba menghidupkan kembali piagam itu. Ancamannya jelas, yaitu memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Kaum sekuler, meskipun mengaku beragama Islam, sikap dan perilakunya hampir sama saja dengan golongan lain. Mereka akan menolak semua usaha yang mengarah pada berlakunya Piagam Jakarta. Sudah menjadi keyakinan mereka bahwa agama itu urusan pribadi yang tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan negara. Oleh karenanya, menurut mereka konstitusi negara harus steril dari anasir-anasir agama. Piagam Jakarta tentu saja tidak cocok bagi mereka, dan harus ditolak.

Kaum sekuler ini sebenarnya tidak konsisten terhadap keyakinannya sendiri. Semestinya, jika mereka benar-benar menghendaki negara steril dari urusan agama, maka tidak perlu ada lagi sumpah jabatan dengan tata cara agama. Para saksi di pengadilan tak perlu mengangkat sumpah dengan meletakkan al-Qur'an di atasnya, dan membaca "demi Allah", dan proses keagamaan lainnya. Tidak perlu setiap upacara dan acara resmi diakhiri dengan pembacaan doa.

Musthafa Kemal Attaturk, sang penggagas sekularisme Turki ketika matinya ternyata minta diurus secara Islam. Salah seorang ulama yang dimintai mengurusnya menolak, seraya berkata, "Uruslah jenazah ini dengan tata cara negara, sebab negara sudah melepaskan diri dari unsur-unsur agama." Ternyata negara yang paling sekuler, seperti Amerika dan beberapa negara Eropa tidak bisa benar-benar lepas dari agama. Inggris bahkan mendudukkan ratunya sekaligus sebagai pelindung dan pemimpin agama Kristen Anglikan. Ini merupakan realitas bahwa negara tidak bisa steril dari urusan agama.

Dalam ajaran Islam, negara itu tidak lebih dari sekadar alat untuk menjalankan berbagai aturan syariah. Negara diperlukan adanya jika di sana dimungkinkan pelaksanaan syariah. Jika misalnya, tanpa negara syariah bisa ditegakkan, maka tak perlu lagi yang namanya negara. Dalam al-Qur'anpun tak ada ketentuan yang tegas tentang perintah bernegara.

Dalam dunia yang semakin menggelobal seperti saat ini, siapa saja bisa melakukan komitmen-komitmen tertentu dengan orang lain yang berada di wilayah yang saling berjauhan. Komitmen-komitmen itu bisa saja akan menjurus pada terbentuknya konstitusi yang dianut oleh orang-orang tertentu. Orang-orang tersebut bisa berjumlah terbatas, tapi juga bisa berjumlah tak terbatas. Tanpa batasan wilayah tertentu, sebenarnya mereka ini telah bernegara. Tentu dalam definisi yang sedikit berbeda.

Dalam ajaran Islam, konteks negara itu tidak dibatasi oleh wilayah. Negara itu bisa hanya berupa rumah tangga, bisa berupa masyarakat dalam wilayah tertentu, bisa juga dalam wilayah yang sangat luas, yang biasanya disebut orang sekarang sebagai negara. Oleh karenanya, jika ada suatu keluarga yang komit menjalankan syariat Islam di wilayah keluarganya, maka sebenarnya mereka telah menerapkan syariat Islam.

Jika di suatu tempat tertentu masyarakat menghendaki berlakunya syariat Islam, maka kelompok itu bisa disebut sebagai masyarakat Islam. Adapun luasan wilayahnya itu tergantung dari usaha mereka untuk mempengaruhi orang-orang di sekitarnya.

Jika saat ini masyarakat Aceh menerapkan syariat Islam sebagai hukum yang mengikat seluruh masyarakat yang berada di wilayah itu, maka mereka telah disebut sebagai masyarakat Islam. Wilayah lain, dengan usaha para da'i dan muballighnya tentu saja akan menyusul. Agar tidak kaget, maka sosialisasi syariat Islam harus sudah dimulai sejak saat ini. Jika tidak diakukan sosialisasi secara intensif, bisa jadi akan ditolak oleh kaum muslimin sendiri. Nasibnya akan sama dengan UU PKB yang telah disetujui oleh DPR, ternyata ditolak oleh masyarakat, konon karena kurangnya sosialisasi.

Bagi kita, syariat Islam itu diakui atau tidak oleh negara, wajib hukumnya untuk diikuti. Syariat Islam merupakan hukum yang mengikat kita dan kehidupan ini. Bagaimanapun kita harus konsisten menyebarluaskannya, dan lebih penting lagi memberlakukannya pada diri kita dan orang-orang yang mau bersama-sama dengan kita. Jika orang-orang yang bersama-sama itu jumlahnya sudah cukup dalam suatu wilayah tertentu, tidak ada salahnya jika kemudian menuntut agar hal itu disahkan secara legal konstitusional. Jika masih belum berhasil, komitmen kita tidak boleh berkurang sedikitpun untuk mendakwahkannya, sampai suatu saat, insya-Allah akan berhasil.

Berkali-kali Allah swt telah menegaskan kepada kita untuk tetap istiqamah pada hukum syariat. Dengan nada tanda tanya Allah berfirman:"Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan? Padahal adakah yang lebih baik dari Allah dalam penentuan hukum, bagi orang-orang yang yakin?" (QS al-Maaidah: 50)

Telah banyak bukti kegagalan hukum di luar syariat Islam. Kegagalan itu dipicu oleh para penyelenggara hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara), juga oleh substansi hukum itu sendiri. Hukumnya sudah salah, para pelaksananya juga menyimpang. Jadilah sebuah kebodohan yang berlipat ganda.
Berbeda halnya jika yang diterapkan adalah syariat Islam. Hukum itu jelas benarnya, karena memang berasal dari Allah swt, dan tidak berubah-ubah. Jika ada kegagalan, kemungkinannya cuma satu, yaitu pada para penyelenggaranya. Meskipun demikian bukan berarti hal itu mudah, sebab untuk menerapkannya kita harus menghadapi tantangan besar, dari luar maupun dari dalam tubuh kaum muslimin. Itulah sebabnya Allah swt jauh-jauh sebelumnya sudah mengingatkan kita agar bersabar untuk tetap konsisten memperjuangkannya. Allah berfirman: "Maka bersabarlah bersama hukum dari Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau dalam pengawasan Kami. Dan sucikanlah dengan memuji Tuhanmu hingga kalian dibangkitkan." (QS ath-Thuur: 48)

Akhirnya, sebagai mukmin yang meyakini Allah sebagai Rabb dan Ilah, yang menciptakan dan memelihara alam ini, kita harus tunduk dan patuh kepada hukum-hukum-Nya. Dialah pemilik hukum, dan Dialah pula yang paling berhak menetapkan-Nya. Apalagi Dia telah menegaskan, "Kemudian mereka melapor kepada Allah, tuan yang sebenar-benarnya. Ingat, bagi-Nyalah hukum, dan Dialah sehebat-hebat penghitung." (QS al-An'aam: 62)

Tidak ada komentar: